Saya nukilkan dari buku yang selesai ditulis tahun 1949. Penulisnya adalah putra dari KH. Hasyim Asy’ari. Sang penulis berkisah, saat lalu masyarakat Jombang dikenal biadab dan setengah buas. Pertumpahan darah, perkelahian dan pembunuhan acapkali terjadi. Entah karena mereka belum mengenal ilmu pengetahuan dan peradaban atau karena darah keturunan Majapahit yang panas. Berjudi, mencuri dan sejenisnya adalah soal biasa bahkan dianggap sebagai mata pencaharian. Ringkasnya, fenomena jahiliyah Arab tumbuh subur di Jombang.
Namun lambat laun seiring berjalannya waktu, berubahlah tabiat penduduk yang asalnya buas dan liar menjadi lunak dan jinak. Beriringan dengan itu memang berdiri pesantren pesantren sederhana yang terbuat dari teratak (anyaman bambu?) sebagai suraunya dan sebagian untuk tempat tinggal kiai, serta sebagian yang lain untuk tinggal santri.
Saat itu pondok yang dikenal di Jombang adalah pondok-pondok kecil seperti pondok ngGedang, pondok Keras, pondok Tambakberas, pondok Denanyar, pondok Sambong, pondok Sokopuro, pondok Paculgowang, pondok Watugaluh, pondok ngGayam, pondok Swaru, pondok Tegalsari, pondok mBanjarsari, pondok Mojodadi, pondok Ngemplak, pondok mBalungrejo, pondok Kwaringan, pondok Wonokoyo, pondok mBalung Gading, pondok Pojok Kulon, pondok Semelo, pondok Rejoso, pondok nDukuhsari, pondok Seblak dan lainnya. Lalu pada 26 Rabiul Awal tahun 1899 lahirnya pondok Tebuireng.
Pondok Tebuireng besarnya hanya beberapa meter saja yang berdiri di tempat bekas kedai-kedai lacur. Pondoknya terdiri dari dua buah, yang satu untuk tempat sembahyang dan yang satunya untuk tempat tinggal KH. Hasyim Asy’ari dengan istrinya yang ke-7. Awalnya, pengikutnya hanya segelintir santri yang ngajinya di tempat sembahyang itu. Semakin lama, santrinya bertambah menjadi 28 orang.
Sekalipun sikap liar dan buas di sekitar Jombang sudah semakin berangsur, namun sisa sisanya masih ada. Terutama benggolan-benggolan dari kaum pencuri dan penjudi yang menganggap KH. Hasyim Asy’ari sebagai lawan besar.
Mereka melakukan vexatie-vexatie (gangguan-gangguan) seperti setiap malam terjadi penusukan dengan pisau ke dinding mushola yang terbuat dari anyaman bambu dimana para santri tidur. Maka para santri yang berjumlah 28 itu kalau tidur harus di tengah tidak mepet dinding agar tidak terkena tusukan pisau.
Gangguan-gangguan tersebut diterima secara sabar oleh para santri selama dua setengah tahun. Baru setelah itu Kiai Hasyim Asy‘ari mengutus santri untuk pergi ke Cirebon, Jawa Barat, guna menemui Kiai Saleh Benda, Kiai Abdullah Panguragan, Kiai Syamsuri Wanantara, dan Kiai Abdul Jamil Buntet, Kiai Saleh Benda Kerep.
Akhirnya fitnah, ancaman, penghinaan berangsur hilang. Bahkan KH. Hasyim Asy’ari sudah biasa mengadakan ronda seorang diri untuk ketentraman para santrinya. Terutama setelah KH. Hasyim Asyari selama delapan bulan mendapatkan pelajaran silat dan kuntau dari para kiai yang dari Ceribon tersebut.
***
Saya tidak mengenal seluruh pondok pondok lawas yang ditulis putra KH. Hasyim Asy’ari di atas. Hal yang jelas, kayak pondok NgGedang yang jaraknya dengan rumah saya hanya 100 meter saat ini hanya tinggal masjid dan makam pendirinya, yakni KH. Usman (kakek KH. Hasyim Asy’ari).
No responses yet