KH. Mansur adalah putra Aryo Redjo (makamnya ada di Sekaru Gudo Jombang). Kalau diurut ke atas, silsilah KH. M Mansur bin Arya Reja bin Arya Kromo bin Arya Penangsang bin Pangeran Sekar Seda Lepen bin Raden Patah.

Nampak ada sambungan yang terputus dari dari Aryo Kromo ke Aryo Penangsang. Dan ini diakui oleh keluarga besar Kiai Mansur karena memang tidak mungkin Aryo Kromo bersambung langsung (anak-ayah). Tapi yang jelas kata Anis Bachtiar saat pertemuan keluarga besar, Kiai Khozin bin Mansur pernah berkata bahwa kita adalah keturunan Aryo Penangsang, tapi tidak usah ditelusuri akar sejarahnya, khawatir menimbulkan problematika sejarah kelam.

KH. Mansur yang juga bernama samaran Linet pada masa mudanya pernah menjadi santri KH. Khozin, pengasuh Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo. Selanjutnya mondok di Pesantren Wonokoyo di bawah pengasuh KH. Abdul Hamid.

Beliau adalah pengasuh generasi ketiga di Pondok Pesantren Midanut Ta’lim Mayangan yang berdiri sekitar tahun 1830 M. Pendirinya adalah Kiai Hafidz yang juga dikenal dengan sebutan Mbah Kampil. Sepeninggal Mbah Kampil, pengasuhnya adalah KH. Nur Syam yang mengasuh sekitar tahun 1860 hingga tahun 1902. Setelah wafatnya KH. Nur Syam, kepengasuhan pesantren dilanjutkan oleh menantunya yaitu KH. Manshur mulai tahun 1902 hingga tahun 1936.

Beliau mempunyai dua istri. Pernikahan dengan Hj Maimunah (istri pertama) melahirkan 1. Hj Masyirotun, 2 Hj Masamah 3. KH Ma’shum 4. KH. Kasmuni 5 KH Minhadj 6. KH Nursalim 7. Hj Muminah 8. KH. Khudlori 9.

KH Khozin Mansur. Sedang pernikahan dengan Hj Shobihah (istri kedua) melahirkan 1. Hj Ruqoiyah 2. KH Yasin Mansur 3. Hj Shofiyah 4. KH. Abdul Hadi.

Dalam kisah yang beredar seperti di buku Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: moderasi, keumatan, dan kebangsaan karya Zuhairi Misrawi, atau di situs tirto.id, republika.co.id dan termasuk buku masterpiece tentang NU yang ditulis oleh cucu Kiai Mansur sendiri, yakni Drs. H. Choirul Anam dalam karyanya Pertumbuhan dan Perkembangan NU (tentu buku Cak Anam ini tetap terbaik dalam penggalian data serta banyak dirujuk penulis luar) dijelaskan bahwa Kiai Hasyim pernah mondok di Wonokoyo Probolinggo. Penyebutan Wonokoyo Probolingo ini yang dominan menyebar ke publik dan di buku buku yang ditulis tentang KH. Hasyim Asy’ari.

Kalau ditelusuri, rujukannya adalah buku karya Akarhanaf (KH. Abdul Karim Hasyim Nafiqoh) yang berjudul Kiai Hasjim Asj’ari, Bapak Ummat Islam Indonesia.

Buku yang ditulis pada tahun 1949 atau dua tahun setelah Kiai Hasyim wafat ini nampaknya yang disalahpahami terkait dengan Wonokoyo dan Probolinggo. Padahal redaksi buku tersebut di halaman 22 adalah, “Mula-mula ditjobanja pergi ke Pondok Pesanteren Wonokojo, Probolinggo, Pelangitan, Terenggilis, Madura dan lain-lainnja.”

Tanda koma setelah Wonokojo dianggap sebagai penjelas kabupaten dimana Wonokojo berada. Padahal tanda koma dalam tulisan di atas menjelaskan nama-nama pondok atau daerah dimana pondok itu berada. Jadi kalau diuraikan dari redaksi buku di atas: KH. Hasyim pernah mondok di pesantren Wonokoyo, pesantren Probolinggo, pesantren Pelangitan (Langitan), pesantren Trenggilis, pesantren Madura, dan lain-lainnya. Hal ini diperkuat dalam buku yang sama di halaman 35 saat menyebut pesantren yang ada di Jombang antara lain adalah Wonokoyo.

Kediaman KH Mansur dan dua Pohon Sawo di depannya

Terlebih lagi nama pesantren atau nama desa Wonokoyo di Probolinggo itu tidak diketemukan. Justeru yang ada nama Wonokoyo di Pasuruan, tapi di Pasuruan tidak ada situs atau informasi masyarakat yang menjelaskan bahwa dahulu terdapat pesantren yang mengisahkan tentang Kiai Hasyim Asy’ari.

Hal ini berbeda dengan Wonokoyo di Mayangan, selain ada situs musholla, makam, dan masyarakatpun masih tahu bahwa dahulu di situ terdapat pondok.

Penjelasan tersebut didukung dari informasi yang saya peroleh bahwa Kiai Hasyim Asy’ari berjalan kaki kalau mau mengaji ke Wonokoyo.

Nalar yang mudah dipahami kalau jalan kaki berarti jaraknya tidak terlalu jauh. Bisa jadi jalan kaki dari Pondok Keras (Kiai Asy’ari) ke Wonokoyo (ada sumber yang menyampaikan demikian), atau jalan kaki dari Wonokoyo ke Mayangan (sumber lain mengatakan demikian. Dalam riwayat ini dijelaskan bahwa Kiai Hasyim gotakan pondoknya ada di Wonokoyo yang hingga sekarang mushollanya masih ada. Beliau kalau mau mengaji ke Kiai Mansur jalan kaki menuju Mayangan yang jarak antara Wonokoyo dan Mayangan hanya ratusan meter).

Memposisikan Wonokoyo ini menjadi penting untuk menyambung mata rantai pesantren Midanut Ta’lim dengan jejak pengembaraan keilmuan KH. Hasyim Asy’ari. Dalam riwayat,

Hadratus Syaikh pernah berkata sebagaimana diceritakan oleh KH. Khozin kepada H. Aflah dan M. Solehuddin pada hari minggu 25 November 2007, “Saya dulu pernah mondok di Wonokoyo, malahan yang mengajar adalah abahmu (Kiai Mansur) dan saya mengaji Ibnu ‘aqil. Pada saat itu jarang sekali orang yang mengaji kitab Ibnu ‘aqil, yang mengajar adalah abahmu”.

Kisah KH. Hasyim mengaji kitab Ibn Aqil ini selaras dengan tuturan sumber lain bahwa fan atau keahlian KH. Mansur adalah fiqih dan nahwu.

Selain alim, Kiai Mansur adalah pribadi yang tawadlu. Hal tersebut dapat ditelusuri dari kisah di bawah ini.

Kiai Munib dapat kisah dari Kiai Amar Lamongan (santri Kiai Mansur yang wafat pada usia 125), dan Gus Karim mendapatkan kisah dari KH. Muhammad Khozin bin Mansur (pengasuh pesantren Mambaul Hikam Putat Tanggulangin Sidoarjo). Kisah ini menunjukkan ketawadluan Kiai Mansur (nama sebelum haji adalah Abdul Bakir). Saat Kiai Mansur naik haji, beliau dibaiat oleh Mursyid Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di Jabal Abu Qubais. Dalam sumber lain yakni dari Gus Yon Mahmudi, Kiai Mansur berangkat ke Makkah dengan Kiai Cholil Juremi Rejoso. Dua kiai ini dibaiat dan masing-masing diberi 7 batu.

Menurut KH. Munib, tujuh batu itu melambangkan tujuh lathoif dalam tarekat. Yakni:

  1. Latifatul qolbi (terletak di ukuran dua jari di bawah susu kiri)
  2. Latifatur ruh (terletak di ukuran dua jari di bawah susu kanan)
  3. Latifatus sirri (terletak di ukuran dua jari di atas susu kiri)
  4. Latifatul khofi (terletak di ukuran dua jari di atas susu kanan)
  5. Latifatul akhfa (terletak di tengah dada di antara dua susu)
  6. Latifatun nafsi/fikri (terletak di tengah di antara dua alis)
  7. Latifatul qollab/jismi (terletak di seluruh tubuh).

Sepulang dari Makkah, Kiai Mansur mengamalkan tarekat tersebut untuk dirinya sendiri tanpa banyak yang tahu. Dalam penilaian penulis, hal tersebut bukti bahwa beliau adalah pribadi khumul yang tidak ingin diketahui sebagai pengamal tarekat. Beliau lebih senang dianggap orang biasa. Bahkan tujuh batu milik Kiai Mansur selanjutnya diberikan kepada Kiai Cholil yang juga sahabatnya itu. Penyerahan batu ini dimaknai lambang kepemimpinan tarekat diberikan kepada Kiai Cholil.

Bukti beliau lebih senang dianggap sebagai orang biasa ini diperkuat oleh kisah Kiai Khozin bahwa suatu saat ada orang yang mau nyantri.

Saat itu Kiai Mansur justeru menyarankan agar orang itu mondok ke Tebuireng atau ke Rejoso saja. Beliau lebih suka seperti petani, pergi ke sawah dan pulang nyunggi suket.

Sekalipun demikian, tetap ada santri yang mondok dengan ikut membantu di sawah. Gemblengan santri yang langsung life skill juga dibarengi gemblengan ngaji yang ketat. Diceritakan Kiai Mansur sekedar mengajari fatihah santri saja membutuhkan waktu selama tujuh hari.

Bukti ketawadluan terakhir dari Kiai Mansur adalah seperti dikisahkan Kiai Khozin bahwa selesai mondok di Tebuireng, Kiai Khozin diminta oleh Kiai Hasyim Asy’ari agar mengajar di Madura. Namun Kiai Hasyim berpesan agar meminta izin dulu ke abahnya (Kiai Mansur). Oleh Kiai Mansur tidak diperkenankan sambil dawuh (berkata), “Tidak usah mengajar dahulu, kalau ilmu belum banyak (matang) lalu mengajar, nanti malah yang keluar adalah sombongnya.”

Ikatan Kiai Hasyim dengan Kiai Mansur sangat kuat. Terbukti saat Kiai Khozin mondok di Tebuireng, beliau dipesani oleh Kiai Hasyim,

“Khozin, kamu tidak usah memasak nasi, kalau mau makan ke dapur saja. Dulu sewaktu saya ngaji di Abahmu (Kiai Mansur), saya tidak boleh memasak, tapi disuruh makan di dapur.”

Selain alim dalam kitab, Kiai Mansur juga pendekar kanuragan beladiri yang ilmunya diwarisi para putra-putranya seperti KH. Chudlori, KH. Ma’shum, KH. Minhadj, dan KH. Nursalim.

Ketertarikan beliau kepada ilmu kanuragan karena posisinya sebagai salah satu penerus perjuangan laskar Diponegoro. Ini ditandai dengan ditanamnya pohon sawo di pondok Mayangan yang sampai sekarang masih berdiri tegak. Tentu Kiai Mansur tidak ikut berperang bersama laskar Diponegoro karena ketika Perang Diponegoro (1825-1830) beliau belum lahir. Beliau lahir tahun 1850. Ayah Kiai Mansurlah yaitu Aryo Rejo yang merupakan pengikut Diponegoro yang melakukan pelarian dan menetap di Sekaru Gudo. Makam Mbah Aryo Rejo dianggap masyarakat setempat sebagai makam keramat yang sering dikunjungi oleh para peziarah dari kalangan tertentu.

Di antara kelinuwihan Kiai Mansur adalah para jin tunduk kepada beliau. Dikisahkan dua pohon sawo yang sampai sekarang masih berdiri adalah tempat dimana jin ditaklukkan dengan “dilokalisir” agar bertempat di pohon sawo itu saja, tanpa mengganggu santri dan masyarakat sekitar.

Kiai Munib yang juga cucu Kiai Mansur, saat nyantri di Mayangan di bawah pengasuh Kiai Minhadj bin KH. Mansur sejak tahun 1968 menyaksikan sendiri bahwa Kiai Minhadj diwarisi tujuh minyak oleh Kiai Mansur. Di antara nama minyaknya adalah minyak Qur’an, minyak arjuna, minyak tolo dan lain-lain.

Kalau membawa minyak arjuna harus digabung dengan minyak tolo supaya kaum wanita tidak gampang terpikat. Ada minyak yang kalau digunakan, maka efeknya tubuh harus sering dibacok pedang, karena kalau tidak dibacok, tubuhnya bisa gatal.

Kiai Mansur juga meninggalkan kitab aurad yang tebal yang diwariskan kepada Kiai Minhadj. Saat Kiai Munib menanyakan kepada Kiai Minhadj dimana kitab itu berada, jawab Kiai Minhadj bahwa kitab itu diberikan Kiai Minhadj kepada modin Mayangan yang dulu adalah santri yang merawat Kiai Mansur (silakan para keturunannya untuk melacaknya).

Kiai Munib juga mendapat doa dari Kiai Minhaj dan Kiai Amar yang berasal dari Kiai Mansur. Dua doa yang sampai sekarang masih diingat adalah:

  1. Doa keselamatan dari riwayat Kiai Minhadj (Allohumma ala wahjubni min ‘aduwwin wa hasidin bihaqqi samahin sallamat sumat). Nampaknya doa ini bahasanya campuran.
  2. Doa kesehatan dari Kiai Amar (Allohumma sihhatan qolbi wal jismi minal hauli was saqmi). Doa ini disebut juga doa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.

Tidak hanya Kiai Munib, Cak Anam (Drs. H. Choirul Anam) juga mendapat wirid dari Kiai Minhadj yang bersambung ke Kiai Mansur dengan doa campuran Jawa-Arab. Wirid itu bermanfaat agar mempunyai kekuatan seperti Sayyidina Ali. Kata Cak Anam, “Wirid itu panjang, di akhir dari wirid kekuatan sayidina Ali adalah…… bijaahi sayyidina muhammad njogo Ali teguh Allah kuat Muhammad laailaha illallah Muhammadur Rasulullah.”

Sumber:

  1. Wawancara dengan KH. Munib (71 th) bin KH. Yasin bin KH. Mansur di Jatipandak Jatiduwur, Kesamben Jombang pada 15 Pebruari 2019.
  2. Wawancara dengan KH. Ahmad Mustain bin KH. Yasin bin KH. Mansur pada 15 Pebruari 2019 di Sapon Kesamben.
  3. Telepon dengan Drs. Choirul Anam putranya Hj Shofiyah binti KH. Mansur pada 16 Pebruari 2019.
  4. Wawancara dengan Gus Abdul Karim (keturunan Kiai Mansur) di Mayangan pada 7 Pebruari 2019.
  5. Wawancara dengan Gus Yon Mahmudi bin Yasin bin Mansur di Peterongan pada tanggal 10 Pebruari 2019.
  6. M. Zainuddin (Gok Din) yang dapat kisah dari keluarga Paculgowang yakni KH. Muhaimin Syuhadi bin Nyai Khodijah binti KH. Anwar Alwi.
  7. Buku Silsilah Bani KH. Mansur Aryo terbitan tahun 2007
  8. http://alumnimanbaulhikamputat.blogspot.com/…/kh-moh…
  9. https://hikamasfa-wordpress-com.cdn.ampproject.org/…/…
  10. http://asramaminhadj.blogspot.com/…/sejarah…
  11. Akarhanaf, Kiai Hasjim Asj’ari, Bapak Ummat Islam Indonesia
  12. Wawancara dengan Gus Anis Bachtiar pada 2 Mei 2019

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *