Hujjatul Islam Imam al-Ghazali, Ulama Sunni bermadzhab syafi’ie
Dalam Ihya Ulumuddin Juz II Hujjatul Islam Imam al-Ghazali berkata : “Sesungguhnya kerusakan masyarakat disebabkan oleh kerusakan penguasanya. Kerusakan penguasanya disebabkan oleh kerusakan ulamanya dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan. Barangsiapa yang dikuasai oleh ambisi duniawi, ia tidak akan mampu mengurus masyarakat apalagi mengurus (menasehati) penguasanya”
Selain itu, dalam pandangan al-Ghazali, penguasa tidak boleh jauh dari ulama. Ulama tidak boleh jauh dari penguasa sebagaimana negara tidak boleh jauh (dipisah) dari agama. Ulama harus senantiasa memberikan arahan dan nasehat bagi penguasa.
Dari gambaran ini bisa kita pahami bahwa yang menjadi tauqifi menurut al-Ghazali bukanlah sistem sebuah pemerintahan. Apapun sistem yang dipilih, yang penting ada ruang yang besar bagi ulama untuk terus mengawal jalannya kekuasaan. Artinya al-Ghazali menolak sekularisme tapi tidak juga menescayakan formalisasi agama dalam sistem pemerintahan.
Dari sini pentingnya kita memahami maqhosid syariah sehingga jalannya sebuah kekuasaan bergerak menuju pemenuhan maqhosid syariah, dan disitulah peran penting ulama untuk terus mengawal penguasa.
Dalam at-Tibr al-Masbuk Fi Nasihatil Muluk, al-Ghazali menjelaskan secara khusus bahwa, kepemimpinan (al-wilayah) adalah anugerah (amanah) yang diberikan Allah untuk kemaslahatan umat. Jika seorang pemimpin tidak memahami hakikat ini, maka ia akan dikendalikan oleh hawa nafsunya dan ini termasuk sebuah kedzaliman yang nyata. Jika pemimpin (penguasa) berjalan diatas jalur kemaslahatan umat, maka ia sudah menjalankan kekhalifahan Allah dalam hidupnya. Sebaliknya jika ia larut dalam pengaruh hawa nafsunya, ia akan menjadi musuh Allah.
Syechul Islam Ibnu Taymiyah, Ulama Rujukan Salafi bermadzhab Hanbali
Untuk membahas fiqih siyasah ini, Ibnu Taymiyah menyusun sebuah kitab bernama Siyasah Syar’iyah. Yang menarik kitab ini membahas kerangka administratif sebuah negara tanpa menyinggung bentuk sebuah negara tertentu.
Ibnu Taymiyah mengkritik sebuah negara yang jauh dari landasan norma agama. Demikian juga agama yang tidak didukung sebuah institusi negara. Baginya, negara memiliki misi suci sebagaimana agama yang juga memiliki misi suci. Bahkan negara dan agama memiliki misi suci yang sama yaitu sebagai salah satu perangkat mendekatkan diri kepada Allah. Agama dengan segala normanya dan negara dengan segala pengabdian dan pelayanannya untuk umat.
Satu hal yang harus dipahami bahwa Ibnu Taymiyah menolak konsep negara Islam yang universal, tunggal, sebagaimana konsep yang menjadi dasar teori khilafah yang didengungkan sebelumnya. Sebaliknya, ia sepakat dengan kemerdekaan (otonomi) berbagai negara yang penting diikat dengan satu ikatan keimanan (ukhuwah islamiyah)
Ibnu Taymiyah meragaukan validitas pendapat bahwa kekhalifahan memiliki dasar yang qoht’ie dalam agama (al-Qur’an dan Sunnah). Sebuah pemikiran yang ekstrim dari Ibnu Taymiyah sekaligus menentang arus pemikiran teori kekhalifahan yang dianggap sakral saat itu.
Syech Abul A’la al-Maududi, Ulama Harokah Islamiyah Tokoh dibalik Republik Islam Pakistan
Al-Maududi mengarang sebuah kitab berjudul al-Khilafah wal Mulk. Dalam pandangannya, suatu negara yang merdeka harus memposisikan dirinya sebagai wakil (khalifah) yang menjalankan misi suci agama. Dan karenanya harus tunduk dibawah kekuasaan (norma) Allah SWT.
Diantara pemikirannya yang sangat popular adalah konsep teo-demokrasi. Bagi al-Maududi, sistem syuro yang dikenal dalam Islam tidaklah kontradiksi (yang harus dilawankan) dengan demokrasi. Sebuah negara bisa dikelola dengan prinsip dan konsep tertentu asalkan bisa memahami dan menerima gagasan dasar yang dirumuskan.
Diantara gagasan dasar yang cukup prinsip bagi al-Maududi adalah :
- Dasar negara harus dijiwai oleh ahlak dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
- Negara wajib melaksanakan keadilan sosial, menebarkan kebajikan, mencegah kemungkaran serta memberantas kejahatan yang ada.
- Negara bukanlah pemilik kekuasaan yang mendistribusikan hak dan kewajibannya kepada setiap individu, akan tetapi agama harus berada diatas segala kekuasaan.
Al-Maududi tidak sependapat jika kekuasaan murni berada dibawah kedaulatan rakyat. Akan tetapi al-Maududi juga tidak menerima konsep negara (Islam) yang berbentuk monarki, tunggal, dan multinasional. Disinilah uniknya pemikiran al-Maududi tokoh sentral Jama’at Islami yang dianggap Ikhwanul Muslimiennya Pakistan.
No responses yet