Saya dapat kiriman Kang Iip koran lawas “KAOEM MOEDA” terbit di Bandung tertanggal 27 Juni 1922 atau 30 Syawal 1340.
Intinya berupa usulan dari seseorang yang bernama Muslimin kepada Bupati Bandung agar khutbah di Masjid Agung Bandung juga bisa memakai bahasa Sunda, sebagaimana dicontohkan Kiai Wahab Chasbullah. Berikut petikan aslinya:
“Bestuur dari Comite Ta’wiroel Masdjid (kata Kang IIP, mungkin maksudnya Ta’miroel Madjid. Kata Ustadz Arif mungkin maksudnya Jam’iyah Ta’mirul Masajid yg dipimpin Kiai Wahab di Surabaya pd awal tahun 1920-an. Kiai Wahab tercatat sbg ketuanya mnurut sumber data yg lain) memberitakan pada kita bahwa hari Djemaat di depan ini di masdjid Kemajoran dalam ini kota akan diadakan kotbah, jang diterangkan djoega dalam bahasa Djawa oleh Kijahi Abdul Wahab jang telah terkenal namanja. Bahwa Redactie Kaoem Moeda soedah kasih noot dibawah kabaran terseboet diatas katanja “Kalau di Soerabaja bisa, kenapakah di Bandoeng tida’?!
Hal yang menarik adalah progresivitas Mbah Kiai Wahab ini mendapat sambutan hangat dari luar kota seperti di Bandung atas. Namun ternyata 9 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1931 di majalah Nahdlatul Ulama terekam adanya polemik para kiai antara yang membolehkan dan yang melarang.
Hal itu bisa dibaca dari sikap Kiai Qusyairi (Pasuruan) dan Kiai Abdullah Yasin (Pasuruan) yang mengharamkan khutbah dengan bahasa Jawa.
Walau NU secara organisasi membolehkan khutbah Jum’at dg bahasa Jawa atau bahasa lainnya, asal bukan rukunnya. Sikap NU ini diikuti oleh para kiai pada umumnya, termasuk Kiai Mahfudz Shiddiq Jember (saudara kandung Kiai Qusyairi), juga Kiai Muhammad Yasin Pasuruan (kakak kandung Kiai Abdullah Yasin), dan Kiai Abdullah Ubaid.
Hal menarik lain adalah polemik para kiai yang alim tersebut menggunakan nadhom berbahasa Arab. Suatu polemik yang tidak asal bunyi, karena jangankan membuat nadhoman berbahasa Arab, bagi sebagian orang menyusun kata bersastra dalam bahasa Indonesia saja juga sulit.
****
Terima kasih atas kiriman koran lawasnya oleh Kakang Iip Dzulkipli Yahya dan kiriman soft majalah NU oleh Ustadz Dr. Miftakhul Arief Fathh. Tentu terima kaish pula kalau ada masukan tambahan atau bahkan koreksi.
No responses yet