Di Magelang, ada Kiai Asrori Ahmad (1923-1994), pengasuh PP. Raudlatut Thullab, Tempuran. Ulama dengan penampilan sederhana namun memiliki karya tulis berjibun.

Dari sekian banyak buah hatinya, yang hafal Al-Qur’an hanya satu, Bu Nyai Hj. Shinto Nabilah, yang kini menjadi pengasuh PP. Al-Hidayah, Salaman, Magelang.

Uniknya, cucu-cucu Kiai Asrori kebanyakan menghafal Al-Qur’an. Itupun tanpa diminta, apalagi dipaksa. Mereka menghafal tanpa ada tekanan orangtuanya. 

Saya bertanya ke Kiai Ma’ruf Asrori salah satu putra Kiai Asrori Ahmad. Kebetulan dua putri Abah Ma’ruf, Mbak Lina dan Mbak Shofi, juga berproses menghafal Al-Qur’an.

“Setahu saya, Abah dulu itu sangat memuliakan para penghafal Al-Qur’an. Pokoknya, kalau ada seorang hamilul Qur’an singgah di rumah, Abah memilih meladeni mereka ini dengan tangannya sendiri.” kata direktur penerbit Khalista ini.

Dari membuatkan kopi, mengantarkan suguhan, mempersiapkan makan, hingga memijit kaki penghafal Al-Qur’an, dan lantas memberi berbagai hadiah kepada mereka. Pokoknya, di hadapan para pemilik wahyu itu, Kiai Asrori Ahmad tunduk. Kuthuk. Manut. Hormat takzim.

“Saya menduga, cucu-cucu beliau tergerak hatinya untuk menghafalkan Al-Qur’an itu ya karena khidmah Simbah mereka dalam rangka muliakan para penghafal Al-Qur’an ini.” kata Abah Ma’ruf, sapaan akrabnya.

—-

Sekali lagi, kita belajar ngelmu urip. Ilmu kehidupan yang seringkali luput tak tercatat dalam teks resmi. Tak tertulis dalam buku. Tapi bisa dibuktikan secara rasional. 

Ada contoh istimewa lagi. Lebih dari satu milenium silam, ada seorang pria awam bernama Muhammad. Profesinya pemintal benang. Tapi ada satu hal yang membedakannya dengan orang lain. Dia mencintai ulama. Kalau ada ulama lewat, dia pasti mempersilahkan untuk singgah di kediamannya yang sederhana. Dia menjamunya. Melayaninya dengan hormat. Dia juga senantiasa menyempatkan diri hadir di majelis ilmu dengan mengajak dua putranya, Muhammad dan Ahmad. 

Pola semacam ini: mencintai ilmu, mengenalkan anak kepada ulama, serta hadir di majelis ilmu, telah membuat dua anaknya terberkati. Muhammad, putra sulung, kelak masyhur Dengan sebutkan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, sang raksasa ilmu, tukang racik fiqh dan tasawuf, dan penulis buku-buku yang mengabadi. Adiknya, Ahmad bin Muhammad, meski tidak terlalu populer dibandingkan dengan sang kakak, namun reputasi kewaliannya membuat saudaranya hormat dan berguru lelaku.

Dari orang-orang ini, kita belajar. Ada banyak hal yang terkadang tampak irasional namun berjalan dengan unik sesuai kaidah ketuhanan: engkau membantu orang lain, niscaya Aku memudahkan urusanmu. 

Kita berbuat baik hari ini, mungkin Allah tidak langsung membalasnya kontan, namun menyimpan balasan kebaikan untuk anak cucu kita.

Cerdik

KH. Asrori Ahmad ini cerdik. Selain menjadi kiai, petani, mubaligh, serta penulis puluhan kitab, beliau juga menjadi “pawang jin”. 

Biasanya, ketika berceramah keliling di berbagai daerah, atau bertamu ke rumah sahabatnya, di antara pertanyaan yang diajukan adalah, “Apakah di daerah sini ada pohon angker?”

Sebagaimana biasanya, jawabnya ada. Tuan rumah akan bercerita kalau di desanya ada pohon yang diwingitkan. Dipercaya ada penunggunya, dan siapa yang mau menebang akan sakit, gila, atau menuai tulah. Biasanya, pohon itu sudah berusia ratusan tahun dengan ukuran yang sangat besar, dan beraura mistik di sekitarnya. Ada sejajen, contohnya.

Dari situ, kemudian Kiai Asrori menawarkan dirinya untuk menebang dan membeli pohon tersebut. Biasanya pemiliknya menolak. Tak menyerah, Kiai Asrori merayunya beberapa kali hingga akhirnya diperoleh izin. Itupun dengan jaminan bahwa Danyang alias jin penunggu pohon tidak ngamuk setelah rumahnya dirobohkan.

Garansi disepakati. Oleh Kiai Asrori, jin pohon itu dievakuasi, lebih tepatnya direlokasi ke rumah barunya. Dikumpulkan dengan komunitasnya. Baru setelah itu, pohon ditebang. Setelah tumbang dan dibeli, dengan cerdik Kiai Asrori menggergajinya hingga menjadi serpihan yang bisa dijual lagi. Sebagian dipakai untuk membangun kamar santri.

Keuntungannya, secara aqidah, masyarakat terbebas dari paham animisme-dinamisme yang mengarah pada kemusyrikan. Jin penunggu juga tidak mengganggu lagi atau minta diistimewakan lagi karena sudah dilobi dengan baik. Secara ekonomi, Kiai Asrori bisa mendapatkan bahan baku murah berkualitas. 

Cerdik, bukan?

Foto : Kiai Asrori Ahmad dan sewaktu saya berziarah ke makam beliau, didampingi Gus Cholil Mustamid Asrori, Agustus 2017.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *