Categories:

Oleh: Nilna Nur Afifah – UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung

nilnanurafifah97@gmail.com

Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang mencangkup berbagai aspek kehidupan, tidak hanya sebatas pada satu segi. Sumber dari ajaran-ajaran yang mengandung berbagai aspek itu adalah Al-Qur’an dan Hadis. Islam mengajarkan pada umatnya untuk hidup teratur dalam aspek kehidupan, baik dalam hal berucap, berbuat maupun berprilaku. Sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita beradab dan meneladani segala sesuatu yang telah Nabi Muhammad perintahkan. Kedudukan seseorang disisi Allah dan kedekatannya dengan Rosululloh pada hari kiamat kelak, dapat dilihat dari sejauh mana seseorang tersebut beradab dan meneladani Nabi Muhammad saw. Salah satu upaya Islam untuk mengarahkan kehidupan seorang muslim adalah permasalahan tentang rambut. Islam mengatur adab-adab tentang rambut dan aspek lain dari kehidupan sehari-hari, karena agama Islam merupakan pedoman lengkap yang mengatur semua aspek kehidupan manusia.[1] Oleh karena itu, islam memberikan arahan tentang menjaga kebersihan, kesopanan dan kerapian rambut. Adab-adab tentang rambut juga berkaitan dengan nilai dan prinsip Islam, seperti kesederhanaan, ketertiban dan menjaga aurat. Selain mengajarkan untuk mejaga penampilan yang bersih dan sopan, Islam juga melarang dan memerintahkan untuk menghindari kemewahan berlebihan (melampaui batas).

Seiring dengan bertambahnya usia seseorang, lambat laun rambut mereka akan mengalami perubahan warna. Rambut yang mulanya berwarna hitam pasti akan berubah menjadi putih keperakan (beruban). Perubahan warna rambut umumnya terjadi pada orang tua, namun terkadang uban juga muncul pada seseorang yang masih muda.[2] Kemunculan uban biasnya membuat seseorang merasa tidak nyaman, karena bagi mereka munculnya uban akan merusak penampilan sehingga banyak orang yang berupaya untuk menghilangkannya dengan cara mencabutinya. Uban adalah cahaya, kewibawaan, kelembutan dan keteguhan. Seseorang yang gemar mencabut uban artinya sama dengan orang yang tidak suka mendapat pahala, baik itu uban yang berada dirambut kepala, jenggot, kumis maupun bulu pipi. Oleh sebab itu terdapat nash yang melarang mencabutnya. Ibnu Al-Arabi berkata yang dilarang hanyalah mencabut uban bukan mewarnainya, hal ini karena mencabutnya sama dengan mengubah ciptaan Allah dari aslinya.[3] Adapun hukum mencabut uban adalah makruh menurut pandangan mayoritas ulama’, dan dianut oleh empat madzhab. Namun ada pendapat yang mengatakan bahwa, jika uban tersebut terdapat di jenggot atau pada rambut yang tumbuh di wajah, maka hukumnya jelas haram karena perbuatan tersebut termasuk an-namsh yang dilaknat. Dengan seiring berjalannya waktu, banyak dari kalangan masyarakat pada zaman sekarang, menganggap bahwa mencabut uban adalah tindakan yang umum dilakukan oleh masyarakat saat ini bahkan banyak yang menganggap sebagai hal yang biasa-biasa saja serta tidak ada yang melarangnya. Seperti contoh dikalangan masyarakat, khususnya kaum ibu-ibu yang sudah tumbuh uban pada rambutnya, mereka menganggap bahwa mencabut uban hanya dinilai sebagai pekerjaan untuk mengisi waktu kosong. Selain itu dalam masyarakat modern, ada banyak perawatan dan prosedur kosmetik yang tersedia untuk mengubah penampilan, termasuk mencabut uban. Masyarakat sering menganggap uban sebagai tanda penuaan dan beberapa orang memilih untuk menghilangkannya dengan alasan uban sangat mempengaruhi penampilan. Padahal kebiasaan itu sejak pada zaman Nabi Muhammad saw sudah dilarang.

Dari permasalahan diatas diperlukan adanya analisis menggunakan pendekatan hermeneutik Hassan Hanafi mengenai hadis larangan mencabut uban. Hermeneutika Hasan Hanafi ini mencoba memahami makna dari teks hadis. Setelah memahami makna dari sebuah teks hadis kemudian diaplikasikan secara relevan dalam konteks modern. Hermenutika dalam pandangan Hassan Hanafi diartikan sebagai teori pemahaman (interpretasi), ataupun penjelasan proses turunnya wahyu mulai dari tingkat perkataan sampai mendunia.[4] Hasan Hanafi mengembangkan pendekatan hermeneutik dengan memadukan tradisi filsafat Barat dengan pemahaman Islam. Pendekatan hermeneutik Hassan Hanafi bertujuan untuk mengatasi tantangan kontemporer dalam memahami teks-teks keagamaan dan menghubungkannya dengan realitas sosial dan budaya yang berubah. Hermeneutika Hassan Hanafi dan pemikirannya secara umum adalah kecondongan ideologisnya yang dikemas dengan maksud praksis. Langkah-langkah metode hermeneutik Hassan Hanafi yakni ada tiga, yang pertama Kritik Historis, bertujuan untuk untuk melihat secara cermat tentang perjalanan teks atau hadis dari sejak keasliannya sampai pada kodifikasinya. Yang ke-dua, Kritik eidetik, bertujuan untuk menganalisis fenomena teks seutuhnya sebagaimana yang ditangkap oleh kesadaran penafsir untuk memperoleh pemahaman yang benar mengenai fenomena tersebut. Dan yang terakhir kritik Praktis, membumikan hasil-hasil penafsiran menjadi suatu realitas agar dalam kehidupannya bisa memberi manusia pada kemajuan dan kesempatan yang lebih baik.[5] Berikut langkah analisis kontekstualisasi hadis larangan mencabut uban perspektif hermeneutika Hassan Hanafi yaitu:

  1. Kritik Historis.

Pada langkah yang pertama ini, dilakukan pentakhrijan hadis tentang larangan mencabut uban, dengan menggunakan kitab sembilan hadis (kutubut tis’ah). Dari penelusuran kitab tersebut ditemukan beberapa hadis yang membahas mengenai larangan tersebut, diantaranya yaitu: HR. Bukhari nomor 4777, HR. Abu Daud nomor 3670, HR. An-Nasa’i nomor 4982, HR. Ibnu Majah nomor 3711, serta HR. Ahmad nomor 6358 dan 6694.  Hadis yang dijadikan acuan adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitabnya Sunan Abu Daud nomor 3670, Adapun lafalnya sebagai berikut:

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى ح و حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ الْمَعْنَى عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَشِيبُ شَيْبَةً فِي الْإِسْلَامِ قَالَ عَنْ سُفْيَانَ إِلَّا كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَقَالَ فِي حَدِيثِ يَحْيَى إِلَّا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِهَا حَسَنَةً وَحَطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةً

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata: telah menceritakan kepada kami Yahya. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata: telah menceritakan kepada kami Sufyan secara makna, dari Ibnu ‘Ajlan dari Amru bin Syu’aib dari Bapaknya dari Kakeknya ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian mencabut uban, tidaklah seorang muslim tumbuh uban padanya dalam Islam” -disebutkan oleh Sufyan dalam riwayatnya- “Melainkan ia akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat.” Dalam riwayat lain (oleh Yahya) disebutkan: “Melainkan dengannya Allah akan menuliskan satu kebaikan dan dihapuskan darinya satu dosa.” (HR. Abu Daud 3670)

Setelah dilakukan penelitian, hadis tersebut memiliki dua jalur periwayat adapun kualitas dari hadis tersebut adalah hasan sahih karena riwayat Muhammad bin ‘Ajlan yang dinilai shaduq oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani. Adapun asbabul wurud atau sebab-sebab yang melatarbelakangi lahirnya hadis-hadis tentang uban, khususnya hadis tentang larangan mencabut uban. Yakni, sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Jami’ dari riwayat Thariq bin Habib, pada masa Rosululloh sewaktu tukang Hijamah hendak menghijamah dia melihat di kepala (dalam riwayat lain di janggut) Rasul sehelai uban, maka diangkat tangannya lalu dia hendak mencabut uban tersebut tetapi Rasul menahan tangan orang itu sambil bersabda: “Barangsiapa yang tumbuh uban di kepalanya sedang dia dalam keadaan Islam maka baginya cahaya di hari kiamat.” Dari peristiwa inilah, sebab-sebab yang melatarbelakangi Rosululloh mengucapkan sabdanya.

  • Kritik Eidetis.

Dengan pendekatan bahasa dapat diketahui bahwa adanya perbedaan redaksi hadis-hadis tentang larangan mencabut uban, meskipun semua rawi berasal dari satu jalur yang sama. Walaupun adanya perbedaan dari segi matan, namun hal tersebut masih bisa diterima, karena tidak bertentangan dengan kandungan makna hadis. Perbedaanya hanya terletak pada lafadznya saja namun maknanya tetap sama. Adapun dari perbedaan tersebut,diantaranya:

  • Ada yang menggunakan lafadz نَهَى  seperti  نَهَى عَنْ نَتْفِ الشَّيْبِ yang artinya Rosululloh saw melarang dari mencabut uban.
  • Ada juga yang menggunakan lafal  لا,  seperti  لَ تَنْتِفُوْا الشَّيْبَ  yang artinya janganlah kalian mencabut uban.

Lafadz نَهَى diartikan sebagai larangan untuk tidak mencabut uban, sedangkan lafadz لا bisa diartikan dengan mencegah, yaitu mencegah para sahabat pada masa itu untuk tidak mencabut uban. Dari lafadz-lafadz tersebut sebenarnya maknanya semua sama yaitu Nabi tidak menganjurkan untuk mencabut uban.[6]

Dalam kritik eidetis juga terdapat analisis konteks masa lalu, yang dalam pemahaman hadis adalah memahami hadis dengan memperhatikan kondisi psikologis Nabi saw dan masyarakat yang dihadapi nabi ketika hadis tersebut disabdakan. Larangan ini diberlakukan, karena Nabi sudah memperhatikan kondisi psikologi sahabat ketika mengucap sebuah hadis, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abu Daud diatas yang artinya “Barangsiapa yang beruban di dalam Islam adalah baginya nur di hari kiamat. Maka ketika itu seorang laki-laki berkata, “Sesungguhnya banyak orang yang mencabuti uban”. Maka Nabi bersabda, “siapa yang mau, silahkan mencabut nur-nya”. Dalam hadis ini disebutkan bahwa “Sesungguhnya banyak orang yang mencabuti uban” Dengan sebab inilah ada kemungkinan bahwa larangan tersebut disampaikan pada para sahabatnya yang di zaman itu sangat sering mencabut uban.[7] Yang dimaksud dalam hadis tersebut bukan hanya uban yang ada pada jenggot saja, namun semua uban yang ada pada bagian manapun, karena didalamnya tidak terdapat pengkhususan uban yang ada dikepala. Karena pada saat itu tukang hijamah hanya melihat uban pada jenggot saja. Jadi semua uban dibagian manapun merupakan cahaya diakhirat.

  • Kritik Praktis.

Selain berbicara tentang agama, ḥadis juga berbicara mengenai pengetahuan empiris. Dahulu, umat Islam hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi tanpa mengetahui apa manfaat dan bahaya di balik perintahkan dan larangan Nabi mengenai hadis larangan mencabut uban. Namun seiring dengan berkembangnya zaman, telah banyak penelitian yang dilakukan berkaitan dengan dilarangnya mencabut uban. Seperti yang kita ketahui sekarang bahwa mencabut uban tidak dianjurkan baik dalam agama maupun dalam kesehatan. Dalam agama mencabut uban dilarang karena dalam hadis diterangkan bahwa uban merupakan cahaya bagi umat muslim dihari kiamat.[8] Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum larangan mencabut uban, ada yang menghukumi makruh dan bahkan ada yang menghukumi haram. Larangan mencabut uban disini bukan merupakan suatu yang haram dan akan mendapatkan dosa jika dilanggar, melainkan larangan dalam hal ibadah.

Dalam ilmu kedokteran mencabut uban juga tidak dianjurkan karena mencabut uban bisa menyebabkan infeksi pada kulit bahkan yang lebih parah lagi bisa menyebabkan kebotakan. Selain itu bahaya yang mungkin muncul dari pencabutan uban tersebut adalah menyebabkan kelainan pembentukan batang rambut, kelainan endokrin atau penyakit sistemik lain yang mempengaruhi pertumbuhan rambut. Faktor mekanik yang dapat merusak rambut seperti mencabut atau mengkriting, proses inflamasi yang dapat merusak folikel rambut, atau berbagai penyakit lain yang berlangsung mengenai folikel rambut. Larangan mencabut uban dalam hadis tidak hanya pada bagian rambut kepala, rambut kumis, ataupun rambut jenggot saja, namun di bagian lainnya yang tumbuh uban, karena dalam hadis tidak menentukan di bagian mana saja yang dilarang untuk dicabut. Begitu pula dalam pandangan sains, mencabut uban di bagian manapun akan berakibat buruk bagi kesehatan. Karena ketika uban dicabut pori-pori terbuka, dengan terbukanya pori-pori tersebut akan memudahkan kuman atau virus untuk masuk ke dalam kulit.[9]

Selain manfaat dari larangan mencabut  uban tersebut, terdapat hikmah yang dapat kita ambil dari dilarangnya mencabut uban dimasa kini, diantaranya yaitu: Yang pertama, uban mengingatkan seseorang akan dekat dengan ajalnya. Hal ini dikarenakan uban sering muncul saat manusia mulai menua, hal ini lah yang dapat menjadi pengingat akan datangnya kematian yang tidak disangka-sangka. Yang ke-dua, uban menjadikan seseorang agar tidak rakus terhadap dunia dan agar mendorong manusia untuk lebih giat beramal, karena dunia ini hanya bersifat sementara. Secara kontekstual, uban bagi seorang muslim bukanlah suatu kehinaan maupun keburukan, tetapi merupakan kemuliaan yang Allah berikan. Segala larangan dan perintah yang diucapkan oleh Nabi pasti terdapat hikmah didalamnya, seperti manfaat larangan mencabut uban dimasa sekarang. Sudah sepatutnya kita meneladani dan mengerjakan apa yang telah diperintahkan, mengingat Nabi saw sebagai suri tauladan umat Islam.

Mengenai kontekstualisasi hadis larangan mencabut uban perspektif hermeneutika Hassan Hanafi, dapat ditarik kesimpulan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud nomor 3670 yang berisi tentang larangan mencabut uban, digolongkan sebagai hadis hasan shahih. Hal ini dikarenakan riwayat Muhammad bin ‘Ajlan yang dinilai shaduq oleh Al-Asqalani. Mengenai kritik eidetis, dengan pendekatan bahasa dapat diketahui adanya perbedaan redaksi hadis tentang larangan mencabut uban, walaupun semua rawi berada pada satu jalur yang sama. Namun perbedaan tersebut hanya terdapat pada lafadznya saja bukan maknanya. Dalam kritik eidetis juga terdapat analisis konteks masa lalu, yang dimana dalam memahami hadis harus memperhatikan kondisi psikologis Nabi saw dan masyarakat yang dihadapi nabi ketika hadis tersebut disabdakan. Larangan ini diberlakukan karena Nabi melihat kondisi masyarakat Arab pada saat itu, yang sering mencabut uban, sehingga Rosululloh bersabda tentang larangan mencabut uban tersebut. Namun dalam konteks sekarang, dengan seiring berkembangnya zaman telah banyak penelitian tentang larangan mencabut uban. Dahulu, umat Islam hanya mengikuti apa yang dilakukan dan diperintahkan oleh Nabi tanpa mengetahui apa manfaat dan bahaya di balik perintah dan larangan Nabi mengenai hadis larangan mencabut uban. Dalam ilmu kedokteran larangan mencabut uban ternyata memiliki manfaat bagi kesehatan, karena mencabut uban dapat mengakibatkan infeksi pada kulit bahkan yang lebih parah lagi bisa menyebabkan kebotakan, selain itu seringnya mencabut uban juga dapat menjadikan penyakit-penyakit lain yang mempengaruhi pertumbuhan rambut. Hikmah yang dapat kita ambil dari larangan mencabut uban dimasa kini adalah, uban sebagai pengingat akan datangnya ajal manusia, karena dengan kita melihat adanya uban dikepala, kita akan berfikir semakin hari, umur kita pasti akan berkurang. Sehingga dapat mendorong manusia agar bisa beramal dengan giat, sebagai bekal diakhirat kelak. Mayoritas ulama’ berpandangan bahwa mencabut uban rambut adalah makruh, pandangan ini dianut oleh empat madzhab.

DAFTAR PUSTAKA

Halil, Hermanto. “Hermeneutika Al- Qur ’ an Hassan Hanafi ; Memadukan Teks Pada Realitas Sosial Dalam Konteks Kekinian.” al-Thiqah 1, no. 1 (2018): 54–74.

Husin, Achmad Fuadi. “Islam Dan Kesehatan.” Islamuna 1, no. 2 (2014): 194–209.

Khairani, Muhammad. “Hadis Tentang Larangan Mencabut Uban (Studi Fiqh Al-Hadits).” Institut Agama Islam Negeri Antasari, 2016.

Moksin, Siti Faridatulmjidah Binti Haji. “Hukum Berkaitan Rambut Manusia Di Dalam Fiqh Islam.” Universiti Islam Sultan Syarif Ali, 2015.

Mulyani, Tri, Hartati, and Lukman Zain Muhamad Sakur. “Kontekstualisasi Hadis Hak Buruh Perspektif Hermeneutika Hassan Hanafi.” Jurnal Studi Hadis Nusantara 3, no. 2 (2021): 213–225.

Muniroh, Zumrotul. “Studi Analisis Hadis Tentang Larangan Mencabut Uban (Pendekatan Sains).” Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2019.

Sinaga, Roslin, Sunny Wangko, and M Marie Kaseke. “Peran Melanosit Pada Proses Uban.” Jurnal Biomedik (Jbm) 4, no. 3 (2013): 4–12.

Thawilah, Abdul Wahab Abdus Salam. Adab Berpakaian Dan Berhias. Edited by Achmad Zirzis. Pertama. Jakarta Timur: Darus Salam, 2014.


[1] Achmad Fuadi Husin, “Islam Dan Kesehatan,” Islamuna 1, no. 2 (2014): 194.

[2] Roslin Sinaga, Sunny Wangko, and M Marie Kaseke, “Peran Melanosit Pada Proses Uban,” Jurnal Biomedik (Jbm) 4, no. 3 (2013): 9.

[3] Abdul Wahab Abdus Salam Thawilah, Adab Berpakaian Dan Berhias, ed. Achmad Zirzis, Pertama. (Jakarta Timur: Darus Salam, 2014), 369.

[4] Hermanto Halil, “Hermeneutika Al- Qur ’ an Hassan Hanafi ; Memadukan Teks Pada Realitas Sosial Dalam Konteks Kekinian,” al-Thiqah 1, no. 1 (2018): 63.

[5] Tri Mulyani, Hartati, and Lukman Zain Muhamad Sakur, “Kontekstualisasi Hadis Hak Buruh Perspektif Hermeneutika Hassan Hanafi,” Jurnal Studi Hadis Nusantara 3, no. 2 (2021): 217.

[6] Zumrotul Muniroh, “Studi Analisis Hadis Tentang Larangan Mencabut Uban (Pendekatan Sains)” (Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2019), 134.

[7] Muhammad Khairani, “Hadis Tentang Larangan Mencabut Uban (Studi Fiqh Al-Hadits)” (Institut Agama Islam Negeri Antasari, 2016), 37.

[8] Siti Faridatulmjidah Binti Haji Moksin, “Hukum Berkaitan Rambut Manusia Di Dalam Fiqh Islam” (Universiti Islam Sultan Syarif Ali, 2015).

[9] Muniroh, “Studi Analisis Hadis Tentang Larangan Mencabut Uban (Pendekatan Sains),” 138.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *