Oleh: Andika Rizky Aprilian, Mahasiswa Universistas Prof. Dr. Hamka
Meskipun Pendidikan Islam menghadapi tantangan yang cukup berat di era globalisasi, namun sebenarnya memberikan kontribusi yang signifikan bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Dari semua kontribusi tersebut, ada dua kontribusi besar yang diturunkan, yaitu character building dan kontribusi sistem perenial.
Yang pertama adalah character building. Tidak dapat dipungkiri, lembaga pendidikan Islam berkontribusi besar dalam pembentukan karakter santri, karena sistem pondok pesantren yang diterapkan oleh pendidikan Islam lembaga cukup dapat membentuk karakter siswa. Salah satu pembentukan karakter yang dibentuk oleh lembaga pendidikan Islam adalah karakter yang baik. Tujuan pendidikan Islam adalah terciptanya “manusia yang baik dan benar” yang menyembah Allah dalam arti istilah yang sebenarnya, membangun struktur kehidupan duniawinya sesuai dengan syariah (hukum Islam) dan menggunakannya untuk mempertahankan imannya. .
Selain karakter yang baik, lembaga Pendidikan Islam juga menciptakan karakter militan. Karakter ini sebenarnya merupakan landasan dasar pembangunan ekonomi di lembaga pendidikan Islam. Ketika lembaga pendidikan lain secara profesional membayar karyawannya untuk mengelola unit bisnis mereka, lembaga pendidikan Islam, seperti pesantren, menugaskan ‘santri’ mereka untuk mengelola unit bisnis tanpa bayaran. Ketika lembaga pendidikan lain menghabiskan banyak uang untuk gaji guru, lembaga pendidikan seperti pondok pesantren hanya menghabiskan lebih sedikit tanpa mengurangi hak dan kesejahteraan guru. Orientasi mengajar guru adalah ibadah tanpa menuntut sesuatu yang besar kepada lembaga yang mereka layani. Ada pepatah di pesantren sebagai “pikirkan apa yang telah Anda berikan kepada pesantren, bukan apa yang telah diberikan pesantren kepada Anda” dan (dalam bahasa Jawa) ‘bondo berpikir, lek membutuhkan saknyawani pisan’ artinya sebagai memberi Anda semua, termasuk pikiran dan jika perlu hidup Anda.
Ungkapan-ungkapan tersebut membangkitkan dan membentuk karakter militan mahasiswa. Pada saat itu, baik guru maupun siswa akan secara sadar dan tidak sadar membantu lembaga pendidikan Islam di era globalisasi di mana segala sesuatu dinilai dengan uang.
Karakter terakhir yang dibentuk oleh lembaga pendidikan Islam adalah karakter spiritual. Karakter ini secara tidak langsung mampu membentengi siswa dari moral hazard. Dekadensi moral yang dihadapi dunia saat ini seperti anarkisme, narkoba, seks bebas, dll akan dapat diminimalisir sedikit demi sedikit jika setiap siswa memiliki karakter spiritual.
Karakter spiritual akan terbentuk jika siswa memiliki Spiritual Quotient (SQ) atau disebut juga dengan Kecerdasan Spiritual. Kecerdasan spiritual (SQ) mampu menjadikan siswa sebagai makhluk yang utuh secara intelektual, emosional dan spiritual. Definisi lain dari kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberikan makna beribadah bagi setiap perilaku dan aktivitas melalui langkah dan pemikiran yang alami, kepada manusia seutuhnya dan memiliki pola pikir integralis dan berprinsip ‘hanya karena Allah’. Kecerdasan spiritual untuk membentuk karakter kepemimpinan spiritual dapat dilatih melalui: latihan dan juga banyak bersyukur karena telah menerima segala rejeki yang ada. Seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan spiritual dapat mempengaruhi dan mengarahkan pengikut/anggotanya ke arah yang lebih baik dan bertanggung jawab serta berperilaku sesuai hati nurani dan restunya.
Kontribusi kedua Pendidikan Islam bagi Pendidikan Indonesia adalah kontribusi sistem perenial. Meski digitalisasi menyentuh hampir semua aspek era globalisasi, sistem tradisional pada pendidikan Islam terbukti mampu melahirkan generasi unggul. Meski demikian, era digitalisasi tidak serta merta mematikan pembelajaran tradisional dan klasikal. Karena pembelajaran tradisional dan sorogan memberikan hal-hal yang tidak tergantikan oleh hal-hal digital di era digital. Pembelajaran tradisional dan sorogan tidak hanya fokus pada pengetahuan sebagai objek studi tetapi juga pada moralitas dan pesan moral yang ditransfer oleh pembelajaran tradisional yang tidak dapat dicapai dengan pembelajaran digital atau e-learning.
Melalui sistem pembelajaran perennial, lembaga Pendidikan Islam mampu mempertahankan identitasnya sebagai lembaga kader dan lembaga warisan budaya. Era digital terbukti tidak mampu mengikis dan menggantikan pembelajaran tradisional.
No responses yet