Kaberadaan Pondok Pesantren Langitan awalnya adalah hanya sebuah surau kecil, kini telah berkembang pesat menjadi sebuah lembaga pendidikan yang berkualitas dan populer di kalangan masyarakat luas baik skala nasional maupun internasional. 

Prestasi gemilang ini tidak lepas dari jasa para pengasuh yang dengan keikhlasan dan komitmennya yang tinggi telah mencurahkan segala potensi untuk kemajuan dan perkembangan pondok pesantren. Keluhuran budi dan keperibadian para pengasuh Pondok Pesantren Langitan sungguh patut menjadi teladan dan tuntunan bagi semua insan. 

Berikut “Biografi Ringkas ENAM Pengasuh Pondok Pesantren Langitan” ini akan banyak bermanfaat dan memberikan pelajaran berharga bagi kita semua, terlebih dengan disebutkannya orang-orang sholih, maka rahmat pun turun.

1. K.H. MUHAMMAD NUR

Lembaga pendidikan sekarang ini dahulunya adalah hanya sebuah surau kecil tempat muassis pertama KH.Muhammad Nur mengajarkan ilmunya iepada sanak saudara dan tetengga dekatnya.

Hadratussyekh KH. Muhammad Nur adalah keturunan seorang kiai dari Desa Tuyuhan Kabupaten Rembang Jawa Tengah, dan jika dirunut lebih ke atas lagi maka beliau adalah juga termasuk keturunan Mbah Abdurrahman, Pangeran Sambo. 

Beliau mengasuh Pondok Pesantren Langitan ini qelama kurang lebih 18 tahun (1852-1870 M.). Cita-cita luhur dan semangat beliau dalam membidani berdirinya pesantren ini nampaknya cukup membuahnya hasil yang signifikan, terbukti dengan tampilnya putra-putri beliau dalam mengemban amanat sekaligus menjadi pemimpin umat setelah beliau wafat pada Hari Senin, 30 Jumadil Ula 1297 H. dan dimakamkan di komplek pesarehan Sunan Bejagung lor Tuban.

2. K.H. MUHAMMAD KHOZIN

Periode kedua Pondok Pesantren Langitan diasuh oleh putra menantu KH.Ahmad Sholeh, yaitu KH. Muhammad Khozin, putra KH. Shihabuddin Rengel Tuban.

Selain mengaji di Pondok Pesantren Langitan, beliau juga pernah menimba ilmu di Pesantren Kademangan di bawah asuhan KH.Mohammad Kholil Bangkalan, selama dua tahun. Pada tahun 1894 M, beliau dijodohkan dengan putri KH.Ahmad Sholeh, Ning Shofiyah dan sejak itu beliau mulai aktif mengajar hingga menerima tugas mulia memimpin dan mengasuh pesantren sepeninggal ayah mertuanya pada tahun 1320 H./1902 M.

Waktu pun bergulir, selang beberapa tahun kemudian tepatnya pada tahun 1904 M. beliau berkesempatan menunaikan ibadah haji di Makkah Al Mukarramah. Kesempatan emas ini dimanfaatkan oleh beliau untuk mengaji (tabarrukan) iepada Syekh Makhfudz At Termasi dan beberapa masyayekh lain di Masjid Al Haram.

Dalam periode ini, sekembali beliau dari menunaikan ibadah haji terjadi banjir yang cukup dahsyat, lokasi Pondok Pesantren Langitan digenangi air Bengawan Solo dan terancam erosi cukup berat. Sehingga dengan terpaksa beliau memindahkan bangunan-bangunan pondok yang semula berada di tepi Bengawan Solo ke arah utara. Upaya ini juga dibarengi dengan perluasan areal pondok dan perbaikan sarana dan fasilitas pemukiman santri yang rusak aiibat banjir. Pondok yang berhasil dibangun pada saat itu adalah sebanyak empat unit yang terdiri dari Pondok Kidul yang sekarang disebut dengan Pondok Al Ghozali, Pondok Lor yang terkenal dengan nama Pondok Al Maliki, Pondok Kulon atau yang saat ini lebih populer dengan nama Pondok As Syafii dan Pondok Wetan yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Pondok Al Hanafi.

KH. Khozin mengasuh dan mengembangkan pesantren ini selama kurang lebih sembilan belas tahun (1902-1921 M.), beliau wafat pada tahun 1340 H./1921 M. dimakamkan di Pemakaman Umum Desa Mandungan Kecamatan Widang Kabupaten Tuban.

3. K.H. AHMAD SHOLEH

Kepemimpinan KH. M. Nur untuk selanjutnya diteruskan oleh KH. Ahmad Sholeh, putra kedua dari sembilan bersaudara putra-putri beliau. Pendidikan beliau selain mengaji kepada ayahandanya sendiri juga kepada H. Abdul Qodir Sidoresmo Surabaya dan sempat pula melakukan studi (tabarrukkan) kepada beberapa ulama besar Masjidil Haram, di antaranya adalah Syeh Ahmad Zaini Dahlan saat beliau menunaikan ibadah haji Ke Mekkah tahun 1289 H.

Pada masa kepengasuhan Mbah Sholeh – pangilan akrab KH. Ahmad Sholeh -Pondok Pesantren Langitan mengalami perkembangan yang cukup pesat baik dalam segi kuantitas maupun kualitas. Hal ini dibuktikan dengan semakin melubernya jumlah santri. Begitu juga dalam sisi sarana dan fasilitas, semakin lama semakin meningkat.

Nama-nama besar pemimpin keagamaan seperti KH.Muhammad Kholil, Bangkalan Madura, K.H.Hasyim Asy’ari (pendiri NU), H.Wahab Hasbulloh, Jombang, KH. Syamsul Arifin (ayahanda KH. As’ad Syamsul Arifin), KH.Shidiq (Ayahanda mantan Rois Am NU, KH. Ahmad Shiddiq), KH. Khozin yang kelak akan meneruskan matarantai kepengasuhan seperti KH. Ahmad Sholeh. Tokoh-tokoh besar lainnya seperti KH. Hasyim, padangan Bojonegoro, KH.Umar Dahlan Sarang Rembang dan lain-lain adalah sejumlah santri yang pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Langitan pada masa kepengasuhanya. Sebuah faktah sejarah yang cukup membanggakan, dimana sebuah lembaga pendidikan dengan segala ieterbatasan sarana dan fasilitas mampu mencetak Ulama besar.

KH. Ahmad Sholeh mengembangkan pesantren ini kurang lebih 32 tahun (1870-1902 M.), Beliau wafat pada tahun 1320 H. bertepatan dengan tahun 1902 M., dimakamkan di Pemakaman Umum Desa Mandungan Kecamatan Widang Kabupaten Tuban, kurang lebih 400 m. sebelah utara lokasi Pondok Pesantren Langitan.

 4. K.H. ABDUL HADI ZAHID

KH. ABdul Hadi ZahidMatarantai kepengasuhan Pondok Pesantren Langitan terus berlanjut. Pada periode ke empat ini Pondok Pesantren Langitan diasuh oleh putra menantu K.H. Khozin, Hadrotussyekh KH. Abdul Hadi Zahid. 

Beliau lahir di Desa Kauman Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan pada tanggal 17 Rabi’ul Awwal 1309 H. Sejak berusia sebelas tahun beliau sudah mulai belajar di Pondok Pesantren Langitan hingga usia sembilan belas tahun, dan atas saran KH. Muhammad Khozin beliau melanjutkan studi di Pesantren Kademangan Bangkalan Madura di bawah asuhan KH. Kholil selama tiga tahun. Pada usia 13 tahun, beliau belajar di Pesantren Jamsaren Solo asuhan KH. Idris.

Setelah itu beliau kembali lagi nyatri di Pondok Pesantren Langitan hingga pada usia 25 tahun, dan diambil menantu oleh KH. Muhammad Khozin, dijodohkan dengan Ning Juwairiyah.

Pada usia yang relatif muda, 30 tahun beliau sudah menerima tugas berat sebagai pengasuh Pondok Pesantren Langitan. Namun meskipun begitu, di bawah asuhannya Pondok Pesantren Langitan saat itu mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Terbukti mulai periode ini (tahun 1949 M) mulai dikembangkan sistem pengajaran klasikal yang dahulu belum dikenal, dengan cara mendirikan madrasah ibtida’iyah dan madrasah mu’allimin serta kegiatan ekstra kurikuler seperti bahsul masa’il lil waqi’ah, jam’iyatul muballighin, jam’iyatul qurro’ wal khuffadz dan lain-lain. 

Di samping itu kegiatan rutinitas berupa pengajian kitab baik sistem sorogan maupun weton terus dilestarikan dan kembangkan, terlebih sholat berjamaah, karena beliau adalah seorang ulama yang bertipikal sangat disiplin waktu dan terkenal keistiqomahannya.

Waktu pun terus bergulir, bergerak menuju suratan taqdir. Mendung duka menyelimuti atmosfir Pondok Pesantren Langitan. Air mata qebagai kesaksian atas cinta kepada sang guru besar jatuh menetes tak tertahankan. Hari itu, 9 Shofar 1391 H. atau bertepatan dengan tanggal 5 April 1971 M. kiai panutan umat, pengemban amanat, telah kembali ke haribaan ilahi Rabbi setelah mengasuh Pondok Pesantren Langitan dalam masa yang cukup lama, 50 tahun (1921-1971 M.). Ribuan umat kehilangan tongkat, orang bijak kehilangan hikmat. Nadimu adalah perjuangan, nafasmu adalah keihlasan dan santri-santrimu akan siap bertahan mewarnai kehidupan dengan tuntunan keteladanan yang telah diajarkan.

5. K.H. AHMAD MARZUQI ZAHID

KH. Ahmad Marzuqi Zahid Kepengasuhan Pondok Pesantren Langitan setelah wafatnya KH. Abdul Hadi Zahid diamanatkan kepada KH. Ahmad Marzuqi Zahid bersama dengan KH. Abdullah Faqih.

Ahmad Marzuqi Zahid dilahirkan di Desa Kauman Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan pada Hari Kamis pon tanggal 22 Jumadal Ula 1327 H. yang bertepatan dengan tanggal 10 Juni 1909 M. Beliau adalah putra ke sembilan KH. Zahid dan Nyai ‘Alimah dari sebelas bersaudara.

Adapun kesebelas putra-putri KH. Zahid adalah : (1. KH. Abdul Hadi (2. Mutmainnah (3. Tashrifah (4. Zainab (5. KH. Muhammad Rofii (ayahanda KH. Abdullah Faqih) (6. Musfi’ah (7. ‘Aisyah (8. Musta’inah (meninggal usia muda) (9. KH. Ahmad Marzuqi (10. Hindun (11. Maryam (meninggal ketika masih kecil)

Pendidikan tentang dasar-dasar agama telah dirasakan oleh putra ke sembilan KH. Zahid ini qejak dini, karena semenjak masa balita beliau bersama saudara-saudaranya telah hidup dalam suasana relegius di bawah bimbingan ayahnya sendiri.

Ketika berusia sepuluh tahun, beliau mulai melanjutkan studi dan memperdalam pengetahuan agama di Pondok Pesantren Langitan di bawah asuhan KH. Abdul Hadi Zahid yang merupakan kakak kandungnya sendiri. Selama puluhan tahun beliau memperdalam dan meningkatkan kemampuan intelektualnya dalam semua disiplin ilmu agama dengan tekun dan sabar. Selain belajar di Pondok Pesantren Langitan beliau juga kadangkala mengikuti pengajian secara temporal (pasanan) di Pondok Pesantren Tebuireng di bawah bimbingan ulama besar, Hadratus Syeh KH. Hasyim Asy’ari yang juga termasuk salah satu alumni Pondok Pesantren Langitan semasa kepengasuhan KH. Muhammad Sholeh. Selain itu beliau juga pernah mendalami ilmu seni kaligrafi kepada KH. Basuni, Blitar Jawa Timur.

Karena kapabilitas dan kredibilitasnya yang mumpuni dalam bidang pengetahuan agama, beliau mendapat amanat dari KH. Abdul Hadi Zahid untuk menjadi pengajar di Pondok Pesantren Langitan. Selain memiliki penguasaan ilmu pengetahuan agama yang luas beliau juga mempunyai banyak pengetahuan tentang dasar managemen organisasi sehingga pada tahun 1944 M. beliau mendapat kepercayaan menjadi lurah pondok (sekarang populer dengan sebutan Ro’is Am). 

Tugas-tugas mulia itu dilaksanakannya dengan penuh ketekunan, kesabaran dan konsisten, sampai pada akhirnya ketika berusia 36 tahun beliau dijodohkan dengan Ning Halimah putri KH. Zaini Pambon Brondong Lamongan yang juga termasuk putra menantu KH. Muhammad Khozin.

Perhatian dan komitmen KH. Ahmad Marzuqi Zahid terhadap dunia pendidikan tidak pernah surut dan padam, kendati beliau telah disibukkan dengan urusan-urusan rumah tangga. Hal itu terbukti dengan masih tetap aktifnya beliau dalam mengajar dan bahkan pada tahun 1949 M. beliau memperoleh amanat menjadi Kepala Madrasah Al Falahiyah ketika sedang dirintasnya pengajaran klasikal (madrasiyah) semasa iepengasuhan KH. Abdul Hadi Zahid.

Berkat SDM dan olah menejerial yang mumpuni, beliau berhasil membawa Madrasah Al Falahiyah menjadi qebuah lembaga pendidikan yang berkualitas dan progresif. Selain aktif dalam dunia pendidikan yang sudah menyatu dengan jiwa dan karakternya, beliau juga pernah berkiprah dan berperan dalam dunia perpolitikan dengan menjadi anggota DPR Kabupaten Tuban hasil pemilu tahun 1955 dengan membawa bendera Nahdlotul Ulama (NU).

Cita-cita dan harapan para pengasuh pendahulu Pondok Pesantren Langitan diterjemahkan dengan baik dan penuh kearifan oleh KH. Ahmad Marzuqi Zahid bersama KH. Abdullah Faqih. Kerjasama yang sinergis antar keduanya dalam memimpin roda kepengasuhan Pondok Pesantren Langitan telah banyak membuahkan hasil yang signifikan. Seperti kebijakan baru di bidang pendidikan dan ketrampilan berupa pelajaran Manhaj Tadris, pembentukan Pusat Pelatihan Bahasa Arab, kursus komputer, administrasi dan manajemen, diklat jurnalistik, pertanian dan peternakan, pendirian Taman Kanak-kanak (TK) dan Taman Peldidikan Al Quran (TPQ), dan lain- lain.

Di bidang dakwah mengadakan pengajian umum mingguan dan pengiriman dai ke berbagai daerah sekitar dan luar jawa.Di bidang perekonomian mendirikan Badan Usaha Milik Pondok (BUMP) barupa Toko Induk, toko pondok, kantin sayur dan wartel An Nur. Kebijakan-kebijakan baru tersebut diilhami oleh sebuah kaidah“Al Muhafadlotu alal Qadimis Sholeh wal Akhdzu bil jadidil Ashlah” (memelihara norma-norma lama yang baik, dan menggali norma-norma baru yang lebih baik).

Keberhasilan ayah dari sembilan putra ini dalam mengemban dan menjalankan semua aktifitasnya khususnya dalam mengasuh Pondok Pesantren Langitan tidak lepas dari jasa qeorang wanita yang memiliki nilai istimewa di sisinya yaitu istrinya sendiri, Nyai Halimah yang dengan penuh kesabaran dan keihlasan telah mencurahkan segala pengorbanannya dalam mendampingi dan mengabdikan dirinya membantu tugas-tugas sang suami baik dalam suka maupun duka. 

Beliau bersama Nyai Halimah dikaruniai sembilan putra-putri yang kelak menjadi penerus perjuangan ayah ibundanya dalam menegakkan panji-panji Islam. Kesembilan putra-putri beliau adalah:

1. Ning Khahifah (meninggal dalam usia muda)

2. Ning MUflihah (diperistri oleh KH. Dimyati Romli, PP. Darul Ulum Jombang)

3. KH. Abdullah Munif (beristrikan Ning Qurratul Ishaqiyyah, Surabaya)

4. Ibu Nyai Hj. Faizah (istri KH. Sholeh Badawi, Langitan)

5. KH. Muhammad Ali (beristrikan Ning ‘Aisyah, Surabaya)

6. Ning Mahmudah (dipersunting oleh KH. Basthomi, Nganjuk)

7. Ning Nihayatus Sa’adah (istri oleh Agus A’la Bashir, Madura)

8. Ning Shofiyah (istri Agus JJ. Abdul Razaq, Sumedang Jawa Barat)

9. Ning Masrurah (istri Ust. Miftahul Munir, Manyar Gresik)

Setelah selama kurang lebih empat puluh tujuh tahun mencurahkan segala potensi yang ia miliki dalam mendampingi dan membantu meringankan beban suami dalam menegakkan kalam ilahi, I`u Nyai Halimah iembali ke haribaan Rabbul ‘izzati tepat pada tanggal 6 Juni 1992 M. Air mata hatuh menetes tak tertahankan sebagai saksi atas segala jasa-jasa beliau yang tidak dapat terbelikan oleh materi. Dua tahun sepeninggal Nyai Halimah, tepatnya pada tanggal 7 April 1994 M. KH. Ahmad Marzuqi Zahid menikah lagi dengan Nyai Sholihah dari Desa Manyar Kecamatan Sekaran Kabupaten Lamongan, yang mendampingi hingga akhir hayatnya. 

Waktu terus berjalan, qesuai dengan kehendak-Nya. Bumi Langitan terselimuti oleh kabut duka ketika ajal menyapa. Hari itu, Sabtu, 21 Rabi’ul Awwal 1421 H. atau bertepatan dengan tanggal 24 Juni 2000 M. KH. Ahmad Marzuqi Zahid berpulang ke sisi Rabbnya pada umur 91 tahun, qetelah mengasuh Pondok Pesantren Langitan selama kurang lebih 29 tahun (1971 -2000 M.)

6. K.H. ABADULLAH FAQIH

Syaikhina KH Abdullah Faqih merupakan tipe kiai yang low profile. Beliau banyak berkiprah di balik layar daripada di garda depan. Hanya dalam kondisi-kondisi darurat beliau muncul dan cepat-cepat- kembali ke pangkuan pesantren jika kadar darurat telah selesai.

Dipinang, Mengabdi, Penerus

Syaikhina lahir dari pasangan bahagia Kiai Rofi’I dan Nyai Khodijah. Bersaudarakan tiga, yaitu: Abdullah Faqih, Khozin, dan Hamim. Namun semenjak kecil, kepengasuhan berada di bawah KH Abdul Hadi Zahid, Pengasuh Pondok Pesantren Langitan generasi keempat. Ini terjadi lantaran Ayahanda beliau, Kiai Rofi’I (adik KH Abdul Hadi) wafat saat syaikhina kecil, kurang lebih ketika berusia tujuh atau delapan tahun, ini sebagaimana yang dikatakan KH Muhammad Faqih (putra syaikhina). Dan ibunya, Nyai Khodijah dinikah oleh KH Abdul Hadi Zahid. Semenjak itulah KH Abdul Hadi yang mengarahkan kehidupan, mulai mondok hingga berkeluarga. Beliau sendiri dilahirkan pada tanggal 2 Mei 1932 M Ketiga bersaudara tersebut menjalani kehidupan kecil sebagaimana layaknya anak-anak.

Bermain bersama penuh canda-tawa dan tangis di satu kesempatan. Bedanya, mereka bertiga berada dalam suasana yang kental nilai-nilai religiuitas. Ini terjadi lantaran mereka berada dalam kepengasuhan kiai yang alim, KH Abdul Hadi Zahid. Waktu terus berjalan, lambat laun watak dan karakter ketiga bersaudara ini sudah mengalami perbedaan sedikit demi sedikit. Abdullah Faqih dan Hamim muda senang bergelut dengan kitab-kitab keagamaan sementara Khozin muda suka bepergian. Bahkan diriwayatkan beliau melancong dalam waktu yang lama dan sempat dicari-cari Ayahanda KH Abdul Hadi Zahid. 

Setelah ditemukan ternyata beliau berada di luar jawa dan sudah berkeluarga.Hingga kini beliau berkeluarga dan menetap di Bandung. Tinggal Syaikhina dan adik beliau Hamim yang masih asyik dengan pelajaran agama.. Setelah belajar pada Ayahanda, kini tiba saatnya Abdullah Faqih muda pergi mencari ilmu.

Pindah satu tempat ke tempat lain guna mencari ilmu dan kalam hikmah. 

Jika kita melihat kealiman syaikhina dalam membaca kitab dan memberikan fatwa, mungkin kita akan berpikir bahwa beliau mondok dalam waktu yang lama. Ternyata itu tidaklah tepat, beliau hanya mondok selama 4 tahun. Dalam sebuah kesempatan beliau pernah bercerita, Di Lasem mondok dua setengah tahun, di Senori enam bulan, setelah itu satu bulan pindah ke pesantren lain. Total semuanya tidak lebih dari empat tahun. Meski hanya empat tahun, namun konsentrasi dan usahanya dalam memperoleh ilmu sangat luar biasa. Tidak hanya sebatas pada usaha panca indera dengan membaca dan mengamati pelajaran, namun beliau juga menggunakan dasar batin.

Selama mondok selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan segala kekurangan dan keprihatinan beliau menjalani masa-masa di medan ilmu. Beliau pernah bercerita dalam sebuah pengajian, Saya belajar di Lasem kurang lebih dua tahun setengah, kebanyakan bekal teman-teman saat itu bisa dapat 24-40 kg beras. Tapi bekal saya hanya dapat dibelikan 6 kg beras. Beliau juga sempat dawuh, Saya tidak pernah meminta tambahan kiriman. Saya niati tirakat meski awalnya terpaksa. Makan ketela saja pernah. Sementara yang paling sering sehari makan nasi ketan satu lepek dan kopi satu cangkir. Bahkan pernah dalam bulan Ramadhan tidak sahur dan buka, tapi cuma minum sebanyak-banyaknya.

Kondisi prihatin ini diterima dengan ikhlash oleh syaikhina. Karena ini temasuk pembelajaran kesederhanaan dalam mengarungi kehidupan. Cara ini juga diterapkan beliau dalam mendidik putrera-puteranya. Namun dengan kondisi demikian, ilmu beliau bersinar. Menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman (dirasah islamiyah). Selama empat tahun, syaikhina muda telah mengambil ilmu dari para guru yang utama. Mereka pakar ilmu keislaman dan selalu istiqamah menjalankannya.

Selama di Lasem beliau belajar kepada beberapa kiai, diantaranya: KH Baidhowi, KH Ma’shum, KH Fathurrohman, KH Maftuhin, KH Manshur, dan KH Masdhuqi. Sementara di Bangilan beliau belajar kepada para kiai dan diantaranya adalah KH Abu Fadhol. Kemudian beliau melanjutkan pengembaraan dengan ber-tabarruk ke pondok-pondok lain diantaranya di pesantren Watu Congol yang diasuh oleh KH Dalhar. Di pesanten ini pula pernah mondok Abuya Dimyathi, Pandeglang, Banten.

Sumber: FB Sam soe din

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *