Islam tidak mengajak kita ke kanan jadi kapitalisme, tidak juga ke kiri, komunis. Islam adalah jalan tengah, jalan baru bisa jadi jalan ketiga atas kebuntuan global. The third way, jalan ketiga yang digagas Antoni Gidens adalah sebuah jalan alternatif. Tentu the third way berbeda dengan konsep negara welfare state yang ada di Inggris (Eropa). Konsep Islam mewujudkan sebuah jalan baldatun thoyyibatun warobun ghofur Hampir satu abad lamanya Nahdlatul Ulama eksis di bumi Indonesia. Faktor utama yang memperkuat basis legitimasi NU di tengah masyarakat adalah komitmennya pada nilai-nilai luhur, konsisten mengusung agenda perubahan dan keberpihakannya terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Agenda-agenda besar NU tentunya menyentuh seluruh level masyarakat sehingga keberadaannya mampu mewakili kepentingan sebagian besar masyarakat Islam Indonesia.

Para ulama pesantren pendiri NU mempunyai visi dan misi serta strategi gerakan kultural: menjaga, melestarikan dan mengembangkan Islam Ahlussunnah Waljamaah di tengah-tengah kondisi dan dinamika kehidupan. Prinsip dasar, kaidah, tradisi dan metode keilmuan Islam Ahlussunnah Waljamaah ini telah memperteguh kaum Nahdliyin dalam berpikir, bersikap dan bertindak, baik dalam relasi manusia dengan Allah, manusia dengan manusia maupun manusia dengan alam semesta. Hubungan tersebut dibangun dalam suatu sistem kehidupan yang menjamin tegaknya moralitas keagamaan dan martabat kemanusiaan serta tegaknya jiwa dan semangat amar ma’ruf nahi munkar.

NU berpindirian bahwa Islam diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin, memiliki makna dan fungsi universal, suci, fitri, hanif serta dapat diterima dan diamalkan oleh seluruh umat manusia. Ragam ras, budaya, agama, aliran dan lainnya dipahami Islam sebagai sunnatullah. Pluralitas adalah rahmatullah bahkan amanah ilahiyah dan kemanusiaan yang harus dimaknai dan disikapi dengan saling mengenal, memahami, membuka diri, merangkul dan mendialogkan secara kreatif untuk menjalin kebersamaan dan kerjasama atas dasar saling menghormati. NU berpendirian bahwa realitas kehidupan harus dilihat secara substantif, fungsional, terbuka, dan bersahabat.  Sejak berdiri pada 1926, NU menempatkan kepentingan masyarakat Islam sebagai orientasi besar gerakannya. Cita-cita tersebut secara sistematik terformulasikan dalam mabadi’ khaira ummah. Secara etimologi, mabadi’ khaira ummah terdiri dari tiga kata bahasa Arab. Pertama, mabadi’ yang artinya landasan, dasar, dan prinsip. Kedua, khaira yang artinya terbaik, ideal. Ketiga, ummah yang artinya masyarakat, dan rakyat. Sedangkan secara epistemologi, mabadi’ khaira ummah adalah prinsip-prinsip yang digunakan untuk mengupayakan terbentuknya tatanan kehidupan masyarakat yang ideal dan terbaik, yaitu masyarakat yang mampu melaksanakan tugas-tugas amar ma’ruf nahi munkar. Allah berfirman, “jadilah engkau sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia mengajak kebaikan dan mencegah keburukan. Dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110) [PP LTN NU, 1992: 77]

Ide NU untuk mewujudkan masyarakat ideal dan terbaik (khaira ummah) sebenarnya telah diupayakan sejak tahun 1935. Pada saat itu para tokoh NU berpendapat bahwa proses pembentukan masyarakat yang ideal dan terbaik dapat dimulai dengan menanamkan nilai-nilai al-shidq (kejujuran), al-wafa’ bi al-‘ahd (komitmen) dan al-ta’awun (komunikatif dan solutif). Tiga prinsip dasar itu kemudian disebut mabadi’ khaira ummah dan menjadi program kerja organisasi.

Perkembangan zaman yang cukup pesat memaksa para ulama untuk melakukan evaluasi kerja. Pada Munas Alim Ulama di Bandar Lampung tanggal 21—25 Januari 1992, para ulama menyepakati untuk melakukan penyempurnaan terhadap tiga butir mabadi’ khaira ummah dengan menambah prinsip al-istiqamah (kontinuitas/konsistensi) dan al-‘adalah (tegas menegakkan keadilan). NU berkeyakinan bahwa lima prinsip tersebut merupakan langkah alternatif dan prospektif bagi upaya mewujudkan masyarakat ideal dan terbaik di Indonesia.

Prinsip mabadi’ khaira ummah di atas merupakan metodologi khas ulama pesantren. Hal ini tentu bagian dari watak otentik NU yang selalu dipandang mempunyai irama dan tempo perubahan sendiri.

Mabadi khaira ummah merupakan jalan panjang bagi terwujudnya obsesi warga Nahdliyyin untuk menjadi umat terbaik (khaira ummah) yang dapat berperan positif di tengah-tengah masyarakatnya. Sehingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, warga Nahdliyyin dapat mewarnai dan menjadi acuan seluruh masyarakat bagi terbentuknya tatanan khaira ummah, atau dalam konteks kekinian dikenal dengan istilah masyarakat madani. (PP LP Ma’arif NU, 2004: 66)

Dalam tataran implementasi, mabadi’ khaira ummah sangat berkaitan dengan konsep amar ma’ruf nahi munkar. Sebagaimana dimaklumi, istilah amar ma’ruf nahi munkar pertama kali diperkenalkan Al-Quran dalam surah Al-A’raf ayat 157. “Memerintahkan mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari yang munkar, menghalalkan bagi mereka yang baik-baik dan mengharamkan atas mereka yang jelek-jelek.”

Artinya, konsep amar ma’ruf nahi munkar merupakan instrumen gerakan NU sekaligus barometer keberhasilan mabadi’ khaira ummah sebagai sebuah karakter kaum Nahdliyin. Sehingga terbentuknya masyarakat madani (khaira ummah) sangat dipengaruhi oleh sejauh mana kaum Nahdliyin mampu mengimplementasikan amar ma’ruf nahi munkar. Maka komunitas yang termasuk dalam klasifikasi khaira ummah adalah kelompok yang mampu melakukan amar ma’ruf nahi munkar di samping juga sifat-sifat yang lain.

Sebaliknya upaya amar ma’ruf nahi munkar secara benar akan dapat mewujudkan masyarakat madani. (Majalah Aula, 1992: 3).  

Prinsip pertama dari mabadi’ khaira ummah adalah al-shidq artinya jujur. Prinsip ini mengandung pengertian kejujuran/kebenaran, kesungguhan, dan keterbukaan. Kejujuran/kebenaran adalah kesesuaian antara pikiran, perkataan, dan perbuatan.

Sehingga dalam diri manusia terdapat korelasi antara ide, konseptualisasi, dan implementasi. Prinsip kejujuran secara otomatis akan mengikis sikap inkonsistensi, oportunitas, distorsitas dan manipulasi. Setiap orang dituntut untuk jujur kepada diri sendiri, kepada sesama, dan kepada Allah.

Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.” (QS. al-Taubah: 119). Allah juga berfirman: “Mereka itulah orang yang bersungguh-sungguh dan mereka itulah orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 177).

Al-shidq juga mengandung pemahaman transparansi, yaitu terbuka kepada orang lain kecuali dalam persoalan krusial yang menuntut untuk dirahasiakan demi kebaikan bersama. Keterbukaan ini dapat menjaga kohesivitas kelompok sekaligus menjamin berjalannya fungsi kontrol. Sedangkan al-shidq dalam arti kesungguhan mendorong manusia agar serius, profesional dan bertanggung jawab dalam melaksanakan berbagai upaya dan tugas.

Kedua, al-amanah wa al-wafa bil-‘ahdi. Prinsip ini berasal dari dua kata, yaitu al-amanah yang artinya beban yang harus dilaksanakan. Sedangkan alwafa’ bi al-‘ahdi berarti pemenuhan atas komitmen. Al-amanah mempunyai kandungan arti lebih luas, karena menyangkut pemenuhan semua beban, baik tugas yang terkait dengan perjanjian maupun tidak. Sedangkan al-wafa’ bi al-‘ahdi hanya pemenuhan tugas yang terkait dengan perjanjian. Secara keseluruhan prinsip ini mengandung pengertian dapat dipercaya, setia, dan pemenuhan komitmen. Maka manusia dituntut untuk berupaya menjadi pribadi yang dapat dipercaya dengan cara menepati semua komitmen yang telah dibuatnya, baik yang berkaitan dengan agama maupun sosial. Manusia juga dituntut untuk menjadi pribadi yang setia, patuh dan taat kepada Allah dan penguasa. Artinya, seseorang harus melakukan pemihakan terhadap Allah, Rasulullah dan penguasa yang baik dan adil.

Kepercayaan membutuhkan konsistensi tanggung jawab. Sedangkan tepat janji merupakan komitmen atas kesepakatan dan kesungguhan melaksanakannya, baik komitmen yang bersifat pribadi dan sosial maupun agama. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu sekalian untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. al-Nisa’: 58)

Ketiga, al-‘adalah yang artinya keadilan. Prinsip keadilan mengandung pengertian obyektif, proporsional, dan taat asas. Prinsip keadilan ini mendorong setiap manusia untuk berpegang kepada kebenaran obyektif dan bertindak proporsional. Bersikap adil secara otomatis mencita-citakan kebaikan di muka bumi. Sebab hanya dengan keadilan akan terwujud sebuah obyektifitas, proporsionalitas, dan supremasi hukum. Prinsip al-‘adalah juga memberikan implikasi terwujudnya komitmen terhadap penegakan supremasi hukum dan kebijakan yang mengacu kepada rasionalitas Karena itu prinsip keadilan dan kebaikan merupakan dua sisi mata uang yang harus diperjuangkan bersama-sama. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk berbuat adil dan kebaikan.” (QS. al-Nahl: 90). Kehilangan sikap adil akan melahirkan distorsitas dan egoisitas yang mampu mendatangkan kekacauan dan perselisihan.

Keempat, al-ta’awwun yang artinya tolong menolong (mutual help). Prinsip ini mengandung pengertian tolong menolong, setia kawan, dan gotong royong dalam mewujudkan kebaikan dan ketakwaan. (Imam Mawardi mengaitkan pengertian al-birr (kebaikan) dengan kerelaan manusia, sedangkan al-taqwa (ketakwaan) dengan kerelaan Allah. Lihat Keputusan Munas Alim Ulama, op. cit. hal. 92.)

Maksudnya, manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup tanpa berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya.

Prinsip al-ta’awwun menjunjung tinggi sikap solidaritas sesama manusia dan berinteraksi bahu-membahu dalam hal kebaikan, baik bersifat material maupun spiritual. Sebaliknya al-ta’awwun bukanlah prinsip dasar untuk menopang tindakan destruktif yang dapat memperburuk kondisi sosial budaya masyarakat. Allah berfirman, “Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa dan jangan tolong menolong kamu dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. al-Maidah:2). Maka al-ta’awwun akan mampu mewujudkan sinergitas antarmanusia untuk berusaha bersikap kreatif agar dapat memiliki sesuatu yang dapat disumbangkan kepada orang lain dan kepada kepentingan bersama.

Mengembangkan sikap al-ta’awwun secara otomatis juga mengupayakan konsolidasi.

Kelima, al-istiqamah yang artinya kesinambungan, keberlanjutan, dan kontinuitas. Prinsip ini mendorong manusia untuk kukuh dalam memegang ketentuan Allah, Rasul-Nya, para salaf al-salih dan aturan yang telah disepakati bersama. Al-istiqamah mengandung sikap kontinuitas dan percaya atas adanya proses. Prinsip al-istiqamah juga mengandung pengertian kesinambungan dan keterkaitan antara satu kegiatan dengan kegiatan yang lain dan antara periode satu dengan periode yang lain sehingga semuanya merupakan satu kesatuan yang saling menopang dan terkait. Di samping itu prinsip al-istiqamah mengandung spririt kontinuitas, progresifitas dan anti kejumudan. Sehingga al-istiqamah dapat menjamin kontinuitas sebuah proses sampai pada titik kemajuan peradaban manusia. 

Aktualisasi doktrin di atas tentu memerlukan pemahaman dan perhitungan yang cermat, mengingat doktrin tersebut sangat berkaitan dengan realitas sosial. Karena itu ulama NU memahami bahwa amar ma’ruf (mendorong berperilaku positif) adalah memberi upaya memberikan motivasi kepada masyarakat agar berbuat baik dan bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik dari sisi fisik maupaun metafisik. Maksudnya, setiap umat Islam mempunyai kewajiban moral untuk melakukan aktivitas yang dapat memberikan implikasi positif bagi manusia di sekitarnya. Segala aktivitas individu diupayakan mempunyai basis sosial yang cukup tinggi. Sehingga kemajuan yang diraih oleh seseorang secara otomatis memberikan dampak kemajuan terhadap orang lain. Maka dari interaksi antarindividu (ukhuwwah islamiyyah) akan tercipta interaksi sosial (ukhuwwah insaniyyah) dalam bingkai menuju cita-cita masyarakat madani (ukhuwwah wathaniyyah).

Sedangkan nahi munkar adalah menolak dan mencegah segala yang dapat merugikan, merusak dan merendahkan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan. Pada tataran implementataif, nahi munkar sangat ditentukan oleh sejauh mana keberhasilan upaya amar ma’ruf. Sebab keseimbangan peran keduanya dalam upaya pembentukan khaira ummah sangat menentukan corak implementasi pada tataran teknis. Keduanya harus mengacu kepada upaya kemakmuran dan keadilan dengan pola persuasif dan pendekatan budaya lokal. Maka NU berpendapat bahwa implementasi amar ma’ruf (mendorong untuk berbuat baik) harus lebih diutamakan sampai terciptanya tatanan kehidupan manusia yang beradab.

Langkah berikutnya adalah nahi munkar (melarang berbuat kemungkaran). NU juga meyakini bahwa upaya pembentukan khaira ummah tetap mengacu kepada kaidah, man kana amruhu ma’rufan, fal-yakun bil-ma’ruf, (siapa yang memerintah kebaikan, haruslah dengan cara yang baik pula).Sepadan dengan amar ma’ruf bil ma’ruf. Nahy munkar bil ma’ruf .

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *