Oleh: Masyhari
Akhir-akhir ini, utamanya sejak pertengahan 2015, term “Islam Nusantara” sedang naik daun. Ia menjadi buah bibir (utamanya) di jagat maya. Satu kalangan menganggap Islam Nusantara sebagai suatu kesesatan, sementara kalangan lain membelanya dengan berbagai argumentasi, sesuatu yang harus dikampanyekan. Bahkan, ormas sebesar NU pun menjadikannya sebagai tema Muktamar ke-33 yang dihelat awal Agustus 2015 di Jombang. Masih hangat dalam ingatan kita, Istana Negara menampilkan seorang pembaca Al-Qur’an berlanggam “Jawa”, disusul pro-kontra menyikapinya. Dibilang, tilawah model Jawa merupakan bid’ah, tak ada rujukan dalam khazanah ‘ulumul Qur’annya. Ini pun berlanjut dengan “kafan kain batik?”, dan kemudian ujian kubur oleh Munkar-Nakir berbahasa Jawa, dan lain sebagainya.
Gerakan Islam Nusantara, oleh sebagian kalangan, dianggap sebagai makhluk baru, yang dicurigai memiliki ‘hiden agenda’ (rencana terselubung), yaitu menghancurkan Islam itu sendiri dengan mengotori kemurnian Islam dari dalam. Gerakan ini mereka curigai sebagai bentuk ‘singkretisme’ dalam beragama, mencampuradukkan antara ajaran Islam yang bersifat samawi, bersumber dari Tuhan yang semestinya dijaga kemurnian (pure) dan orisininalitasnya dari ‘hal lain’ yang bersumber dari produk manusia. Karena itu, kelompok ini disebut sebagai –meminjam istilah Kholed Aboul Fadhl- puritan, yaitu kelompok yang cenderung eksklusif, tidak inklusif dan akomodatif terhadap budaya dan kearifan lokal agar tidak menyusup dalam ajaran Islam. Dugaan ini semakin menguat saat kampanye Islam Nusantara juga didukung oleh para aktifis Islam Liberal. Oleh mereka yang selama ini sinis, Islam Nusantara dianggap sebagai metamorfosa dari Islam Liberal. Para pendukungnya pun dilabeli dengan JIN (Jaringan Islam Nusantara) (Aula: 2015. Hlm. 15).
Perdebatan tentang “Islam Nusantara” yang mengemuka disebabkan tidak adanya kesepakatan dalam memahami dan memaknai term “Islam Nusantara” itu sendiri. Bahkan, lebih jauh dari itu, perbedaan dalam memahami agama Islam itu sendiri. Bahwa Islam itu satu memang benar. Secara akidah satu, syariat satu. Al-Qur’an-nya satu. Namun, pemahaman terhadap Islam itu ternyata variatif, berbeda-beda.
Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan “Islam Nusantara”?
Selama ini Islam Nusantara tampak mengkampanyekan Islam ala Nusantara, hal-hal yang berbau lokal. Sehingga, Islam Nusantara pun dicurigai sebagai gerakan arti Arab. Tentang ini, di Majalah NU Aula ada jawabannya. Majalah NU Jawa Timur ini pernah mengeluarkan satu edisi mengupas tentang ini. Islam Nusantara dikhawatirkan akan mengkotak-kotakkan Islam yang satu. Bila ada Islam Nusantara, nanti ada Islam Amerika, Islam Jawa, Islam Palestina, dan seterusnya. Benarkah demikian?
Makna “Islam Nusantara”
Islam Nusantara terdiri dari dua kata, “Islam” dan “Nusantara”. Islam berarti agama samawi yang bersumber dari kitab suci Al-Qur’an dan Hadis. Kata “Nusantara”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diartikan sebagai sebutan bagi seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Sehingga, Islam Nusantara berarti Islam yang selama ini hadir dan berkembang di wilayah Nusantara. Islam Nusantara adalah Islam khas ala Indonesia, gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di Tanah Air. Dengan kata lain, Islam Nusantara berarti menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang tersebar di wilayah Indonesia. Islam hadir tidak untuk merusak atau menantang tradisi yang ada. Di mana bumi dipijak, di situ langit di junjung. Islam hadir memperkaya dan mengislamkan tradisi dan budaya yang ada secara bertahap. Artinya, Islam Nusantara yaitu Islam dengan ciri khas ke-Nusantara-annya, Islam yang telah melebur dengan tradisi dan budaya Nusantara (Zainul Milal Bizawie: 2016).
Islam Nusantara berarti menekankan lokalitas corak dan budaya setempat, yang menghargai dan mengakomodasi tradisi dan kearifan lokal (urf/ adat), selama tidak bertentangan dengan ruh Islam “al-‘Adatu Muhakkamatun”, adat bisa menjadi hukum yang bisa diberlakukan.
Sementara itu, KH. Afifuddin Muhajir dalam makalahnya menyebutkan, bahwa “Islam Nusantara ialah paham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita dan budaya setempat”.
Islam memang turun di Jazirah Arab. Kitab suci agama Islam dan Nabi Muhammad SAW pembawa risalah Islam pun berbahasa Arab, sehingga ada asumsi bahwa segala hal yang berbau Arab diidentikkan dengan Islam. Menjadi Arab berarti menjadi Islami. Padahal, tidak demikian. Tidak selalu yang berbau Arab mesti Islami, dan tidak selalu, Islam berarti Arab. Di sini perlu dibedakan mana produk agama dan mana produk budaya.
Kendatipun demikian, kehadiran Islam Nusantara bukanlah respon atas upaya Arabisasi atau percampuran budaya Arab dengan ajaran Islam, akan tetapi menegaskan pentingnya sebuah keselarasan dan kontekstualisasi terhadap budaya lokal, sepanjang tidak melanggar dan bertentangan esensi dan substansi ajaran Islam. Sebenarnya, Arab ataupun non-Arab, bukanlah hal yang esensial. Yang menjadi nilai pokok dari Islam yaitu pesan rahmatan lil ‘alamin, sebagai rahmat bagi seluruh alam, pembawa keteduhan dan kedamaian, dengan tetap berlandaskan akidah tauhid sebagaimana ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Inilah Islam yang dikampanyekan dalam “Islam Nusantara”.
Sejarah mencatat, bahwa Islam datang ke bumi Nusantara ini tidak dengan pedang, namun dengan kedamaian dan keramahan, bukan dengan kemarahan. Inilah pesan yang menjiwai karakteristik Islam Nusantara, sebuah wajah Islam yang moderat (tawasut), toleran (tasamuh), cinta damai dan menghargai keberagaman. Islam yang merangkul, bukan memukul, Islam yang membina bukan menghina, Islam yang mengajak bertaubat bukan menghujat, Islam yang teduh bukan menuduh, dan Islam yang memberikan pemahaman dan pencerahan bukan memaksakan. Demikianlah karakteristik Islam yang disebarkan oleh para penyebar Islam di Nusantara sperti Walisongo, yang cukup dominan dalam pembentukan kultur Islam Nusantara. Para wali ini selain ahli di bidang Syari’ah, juga ahli dalam bidang akhlak-tasawuf, sehingga mereka kembangkan Islam ramah yang bersifat kultural. Karena mereka lebih menekankan substansi Islam daripada kulitnya.
Landasan Islam Nusantara
Islam Nusantara bukan hadir tanpa landasan. Ia memiliki sandaran dan argumentasi yang kuat, baik tekstualis dari Al-Qur’an, historis, maupun metodologis (manhaji). Sejumlah argumentasi tertuang dalam makalah KH. Afifuddin Muhajir, bisa dibaca.
Terdapat sejumlah ayat Al-Qur’an yang menjadi landasan berislam secara damai dan penuh kebijaksanaan, di antaranya:
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
“Tidaklah engkau diutus (hai kekasih-Ku, Muhammad) melainkah sebagai (penebar) rahmat bagi seluruh alam.”
ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن
“Serulah menuju jalan Tuhanmu dengan penuh bijaksana dan pitutur kata yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang terbaik.”
Dalam ayat lainnya, Allah menegaskan kepada Nabi SAW teladan umat ini, agar bersabar ketika berdakwah, bahwa tugas da’i hanya mengajak, bukan memaksakan masuknya hidayah dalam hati.Itu adalah wilayah dan hak preogatif Tuhan.
وإنك لا تهدي من أحببت ولكن الله يهدي من يشاء
“Sungguh, engkau (duhai kekasih-Ku, Muhammad), tidaklah dapat memberikan hidayah pada orang yang kau cintai. Tapi Allah-lah yang memberikan petunjuk bagi siapapun yang dikehendaki-Nya.”
Ditegaskan pula bahwa jalan hidayah itu pilihan, kebebasan bagi setiap insan, yang tentunya punya konsekuensi atasnya, dan akan ditanggung sendiri oleh pemilihnya, bukan sebuah paksaan. Dalam QS Al-Kahfi (18) ayat 29 ditegaskan bahwa kebenaran sejati adalah dari Tuhan. Barangsiapa yang mau beriman, silahkan, dan siapa yang mau kufur, silahkan!
Selain ayat-ayat tersebut, satu kisah tentang Arab badui yang buang air di masjid bisa kita perhatikan dengan seksama dan ambil ibrahnya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seorang Arab Badui pernah memasuki masjid, lantas dia kencing di salah satu sisi masjid. Lalu para sahabat menghardik orang ini. Namun Nabi SAW melarang tindakan para sahabat tersebut. Tatkala si badui tadi telah menyelesaikan hajatnya, Nabi SAW lantas memerintah para sahabat untuk mengambil air. Bekas kencing itu pun disirami. (HR. Bukhari no. 221 dan Muslim no. 284)
Memang, kemungkaran itu wajib diingkari segera, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat di atas. Akan tetapi, bila pengingkaran itu mengakibatkan timbulnya mafsadat, dan menundanya memiliki maslahat, maka itu lebih baik, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi SAW. Beliau biarkan si badui tadi kencing di masjid karena memang di sana terdapat kemaslahatan yang lebih kuat.
Bahkan, dari kisah Nabi Harun yang menerima titah saudaranya, Nabi Musa yang pergi “bertapa” di bukit Tursina selama 40 hari. Nabi Harun tampaknya tidak amanah. Ia “biarkan” kaum Bani Israil menyembah pedhet (anak sapi), sementara itu merupakan suatu kemusyrikan. Itu karena Harun tak bisa berbuat apa-apa. Ia tak punya power untuk menahan mereka. Sehingga, Musa pun berang, ditariknya jenggot Harun. Namun, Harun punya argumentasi. Memang, mencegah dari kemuyrikan adalah kemaslahatan. Akan tetapi, bila itu ia lakukan, sementara ia tidak punya power, maka kemungkinan besar kekacauan dan pertumpahan darah (mafsadat) akan terjadi di kalangan Bani Israil, dan tidak menutup kemungkinan, Harun bisa jadi korban. Ia sabar, menunggu saudaranya, Musa yang akan kembali meluruskan kemusyrikan para Bani Israil. Demikian penjelasan Kang KH. Azka Hammam Syaerozi, guru kami suatu ketika dalam perkuliahan di Ma’had Aly Al-Hikamus Salafiyyah Babakan Ciwaringin Cirebon.
Kisah lainnya dari seorang dai dari Nusantara, beliau adalah Sunan Kudus. Alkisah menyebutkan bahwa tatkala sang dai dari al-Quds Palestina ini berdakwah di satu daerah di Jawa Tengah ini, beliau melihat bahwa sapi merupakan hewan yang dihormati oleh penduduk setempat yang beragama Hindu. Maka, demi menghormati kepercayaan warga setempat, saat hari raya Adha, beliau tidak menyembelih sapi sebagai kurban, dan sebagai gantinya “kerbau”. Bila pun tak ada kerbau, kambing pun bisa. Toh, tidak harus sapi.
Di sinilah kaidah fikih menegaskan bahwa “mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan.” (Dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih).
Ini semacam konsep sadd adz-Dzari’ah, yaitu upaya menutup ekses yang diyakini atau diduga kuat mengarah kepada kerusakan. Al-Qur’an melarang kita mencela “Tuhan” sesembahan mereka yang beragama lain, karena dikhawatirkan mereka akan berbalik mencela Allah. Karena itu pula lah, Pancasila oleh para ulama pejuang kemerdekaan Indonesia menerima pancasila sebagai dasar negara. Demikian, wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.[]
DAFTAR BACAAN:
– Zainul Milal Bizawie. 2016. Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri (1830-1945). Jakarta: Pustaka Compass.
– Saiful Mustofa. 2016. Meneguhkan Islam Nusantara untuk Islam Berkemajuan. Jurnal Episteme, Vol. 10, No. 2.
– KH. Afifuddin Muhajir. 2015. Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia. Makalah pengantar Muktamar NU ke-33 di Jombang.
– Majalah Aula NU. Edisi September 2015.
Sumber tulisan: FB Masyhari
Comments are closed