oleh: Tasaro Gk Dua
Saya bertumbuh dalam warna Muhammadiyah. Setidaknya, masjid di kampung saya dulu shalat tarawih 11 rakaat. Meski dalam berbagai urusan masih tercampur dengan fikih NU.
Pada masa remaja, saya ikut Ibuk pulang kampung ke Kauman, Yogja. Tempat lahirnya Muhammadiyah. Hanya ada satu warna dalam memahami dan mempraktikkan agama ini.
Sudah pasti saya pun hanya tahu sedikit-sedikit. Bangga saja terhadap kisah-kisah masa lalu dari ibu saya tentang bapak beliau; KH Abdul Hamid yang adalah imam Masjid Agung Kauman, ditunjuk langsung oleh Sri Sultan dan ikut mendirikan Muhammadiyah.
Di luar itu, berbagai pengajian, terutama ceramah idola saya dulu, Pak Amien Rais, mengkristalkan sudut pandang saya perihal agama ini. Saya remaja putih abu-abu yang mendeklarasikan partai Matahari Terbit di Lapangan Kridosono. Begitu menggebu-gebu.
Ketika menjadi wartawan pada awal 20-an, saya jadi punya kesempatan untuk memahami macam-macam aliran pemikiran dari rumah ibadah mereka, dari imam-imam mereka: Ahmadiyah, LDII, Syiah, dan lainnya.
Babak yang cukup berat karena pada saat yang sama, justru saya ada dalam disiplin pembelajaran Tarbiyah. Pengajian mingguan yang menggebukan ghiroh perjuangan, gerakan turun ke jalan yang menggemakan takbir, persaudaraan para anak muda pendakwah yang hangat dan membuat masa muda begitu ngangenin. Saya bahkan menjadi penyanyi nasyid.
Pula, pada waktu ini saya berkuliah di kampus dengan sentuhan wahhabi yang sangat kuat. Ketika Pancasila menjadi gurauan di kelas perkuliahan.
Namun, jurnalistik benar-benar membantu saya untuk menemukan formula toleransi pada masa-masa sulit ini.
Bahwa, toleransi kemudian saya artikan, bukan kecenderungan untuk berdiam di kotak masing-masing. Toleransi mesti diawali dengan memahami. Diskusi tanpa tendensi.
Memahami keyakinan suatu kelompok, berpikir dengan alam pikiran mereka pada prosesnya, lalu kembali kepada keyakinan sendiri.
Itulah mengapa saya kian tak terganggu dengan perbedaan. Bahkan pada gilirannya saya bisa memahami trinitas Kristiani. Memahami, bukan mengimani.
Lalu, pada usia yang kian jauh dari titik remaja ini, saya merasa sangat….sangat nyaman dengan berbagai pemikiran NU.
Terutama perihal keindonesiaan. Menyimak berbagai ceramah kiai-kiai NU membuka sumbatan yang telah lama menyumpal kebebalan otak saya.
Tentang Indonesia, misalnya. Saya memahami baru-baru ini, para Kiai melihat Indonesia dengan kacamata yang sangat khas. Tidak terbaca dari sudut pandang yang ahistoris.
Maka menyimak ceramah Gus Wafiq, contohya, saya tidak hanya belajar tauhid tapi juga sejarah.
Mengapa tidak perlu menbenturkan Islam dengan keindonesiaan? Sebab Indonesia itu lahir dari rahim ijtihad para ulama. Mereka yang kearifannya tidak terjangkau keawaman umat. Hidup pada masa lalu namun bervisi ratusan tahun ke depan.
Muslim Indonesia adalah “warisan” ulama. Para ulama adalah ahli waris para Wali. Mereka yang menanam Islam dalam peradaban nusantara yang sudah amat tinggi. Peradaban yang sanggup menolak segala bentuk penetrasi. Nusantara bukan sebuah peradaban kosong nilai bahkan sebelum masa Hindu-Buddha.
Maka formula Muslim Indonesia telah disiapkan begitu baik, teliti, bijaksana. Praktik Islam dalam keberagaman. Suatu kesadaran yang melahirkan sebuah entitas bernama Indonesia.
Jadi saya memahami bahwa Pancasila itu nama yang telah ada sejak zaman Majapahit namun isinya menjadi amat bertauhid Islam ketika dilahirkan kembali pada masa kemerdekaan.
Saya baru paham….saya benar-benar baru paham,…oh inikah maksudnya mengapa para ulama NU begitu kukuh dengan konsep Indonesia dan Pancasila.
Sebab keduanya adalah bagian tak terpisahkan dari ijtihad melahirkan identitas Islam Indonesia atau Islam Nusantara. Label yang memicu kesalahpahaman ketika tidak dimengerti dengan proses memahami.
Maka saya bahagia karena menjadi tahu, betapa terberkahi Tanah Air ini. Mewarisi kearifan hati, kecerdasan pikiran, ketinggian ilmu para ulama yang menjaga Indonesia.
Saya belajar memahami lalu berusaha bertoleransi.
Sumber: FB Tasaro Gk Dua
Comments are closed