Dalam kitab al-Lu’lu’ wa al-Marjan karya KH. Abdul Goffar menuliskan: “Manaqib ini (Manaqib Kyai Utsman) dikumpulkan dari pengakuan dan pernyataan para habaib serta para ulama yang mengenal Hadratus Syaikh baik secara lahir maupun secara batin. Diantaranya pengakuan dan pernyataan tersebut berasal dari al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang Jakarta, al-Habib Ali bin Husain bin Muhammad al-Atthas Bungur Besar Jakarta, al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfaqih Malang, al-Habib Abdullah al-Haddad, al-Habib Zain al-Jufri, Kyai Hamid Karang Binangun Lamongan, Kyai Abdul Hamid Pasuruan, Nyai Khadijah dan lain lain.

Juga dari Hadhratus Syaikh Muhammad Utsman sendiri sebagai Tahadduts bi an-Ni’mah berdasar firman Allah Swt.: واما بنعمة ربك فحدث . Juga untuk menjaga jangan sampai ada orang yang mengingkari atau menentangnya atau mencelanya.

Juga terhadap masyayikh yang lain, menyebut manaqib sendiri semacam ini pernah dilakukan oleh ulama terdahulu untuk memperkenalkan hal ihwal mereka kepada orang lain agar ditiru, seperti Syaikh Abdul Ghafir al-Farisi, Syaikh al-Asfahaniy, Syaikh Yaqut al-Hamawy, Syaikh Abu ar-Rabi’ al-Maliki, Syaikh Shafiyuddin al-Manshur serta Syaikh Jalaluddin as-Suyuthiy.

Imam as-Suyuthiy umpamanya telah menyebutkan manaqibnya sendiri dalam kitab-kitab thabaqat yaitu Thabaqat al-Fuqaha’, Thabaqat al-Muhadditsin, Thabaqat al-Mufassirin, Thabaqat an-Nuhat, Thabaqat ash-Shufiyah dan Thabaqat al-Muqrin.

Imam as-Suyuthiy mengatakan: “Saya menyebutkan manaqibku sendiri hanyalah mengikuti perbuatan orang-orang salaf yang shaleh, dan untuk memperkenalkan hal ihwal saya dalam bidang ilmu agar orang lain menirunya, juga untuk Tahadduts bi an-Ni’mah.”

Adapun manaqib Hadhratus Syaikh yang terperinci dan mendetail ada di dalam kitab “Syifa’ al-Qulub li Qaul al-Mahbub” yang disusun oleh KH. Abdullah Faqih Suci Gresik. Dan kemudian disusun kembali ke dalam bahasa Arab secara sistematis dan praktis dalam kitab “Al-Lu’lu’ wa al-Marjan fi Maniqib asy-Syaikh Muhammad Utsman Ra.”

Nasab dan Kelahiran Hadhratus Syaikh KH. Muhammad Utsman al-Ishaqi

Menurut nasab yang sudah tersusun rapi di dalam keluarga, Hadhratus Syaikh KH. Utsman al-Ishaqi adalah seorang sayyid dan seorang habib. Sebab beliau dari jalur ibu adalah keturunan Maulana Muhammad Ainul Yaqin atau yang biasa disebut sebagai Sunan Giri bin Maulana Ishaq al-Husaini. Sedangkan ayah beliau adalah keturunan Sunan Gunung Jati yang juga bermarga al-Husaini. Dengan demikian Hadhratus Syaikh KH. M. Utsman al-Ishaqi adalah anak cucu Rasulullah Saw. dengan urutan yang ke-37.

Nasab beliau adalah Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadhlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim al-Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin al-Akbar al-Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad al-Muhajir – Isa an-Naqib ar-Rumi – Muhammad an-Naqib – Ali al-Uraidli – Ja’far ash-Shadiq – Muhammad al-Baqir – Ali Zainal Abidin – Husain – Ali bin Abi Thalib/Fathimah binti Rasulullah Saw.

Hadhratus Syaikh KH. M. Utsman al-Ishaqi dilahirkan di Jatipurwo Surabaya pada hari Rabu bulan Jumadil Akhir tahun 1334 H. setelah beliau bertapa dalam rahim sang ibunda selama 16 bulan. Dan selama di dalam rahim ibunya beliau sering bersin, dalam bahasa Arab disebut al-Atthas.

Keistimewaannya Nampak Sejak Kecil

Semenjak kecil keistimewaan dan kekeramatan beliau sudah nampak tatkala Utsman kecil sudah bisa berjalan. Beliau selalu tidak ada di rumah setelah Maghrib, dan baru pulang setelah jam 11 malam dengan badan yang penuh berlumuran lumpur. Kejadian itu menjadi pertanyaan sendiri oleh keluarga. Setelah diselidiki, ternyata beliau berada di sungai didekap oleh seekor Buaya Putih.

Setiap malamnya Utsman kecil selalu tidur di surau (langgar) bersama sang kakek, Kyai Abdullah. Selain kakeknya, tak ada seorangpun yang berani mendampingi Utsman kecil tidur. Karena dari kedua mata Utsman memancarkan sinar yang terang seakan menembus Iangit bagaikan lampu sorot.

Sejak beliau berumur 4 tahun setiap pagi pada jam 3.00 waktu Istiwa’, beliau keluar rumah menuju Masjid Jami’ Ampel Surabaya dengan diantar oleh kakak perempuan beliau yang bernama Nyai Khadijah untuk membaca Tarhim (panggilan shalat Fajar) sampai datang waktu Shubuh di menara Masjid.

“Setiap kali beliau sampai di pintu gerbang Ampel, beliau selalu disambut banyak anak-anak kecil yang memakai kopyah berwarna putih-putih. Sesampainya di masjid anak-anak kecil tersebut hilang entah ke mana dan baru muncul kembali sewaktu beliau hendak pulang dari masjid pada jam 7.00 pagi untuk mengantarkan beliau ke pintu gerbang. Dan setelah itu mereka menghilang kembali.” Ungkap Nyai Khadijah dan Kyai Anwar.

Ketika beliau berumur 6 atau 7 tahun, pada suatu malam nampak sang rembulan atau bintang-gemintang turun dari langit seraya memancarkan sinarnya menuju Utsman kecil, dan mengitari beliau dari segala arah.

Di umur 7 tahun, beliau sudah mengkhatamkan al-Quran sebanyak 3 kali di bawah asuhan sang kakek, Kyai Abdullah. Kemudian di suia itu beliau dikhitan (sunat). Setelah itu barulah beliau berpindah mengaji kepada Kyai Adro’i Nyamplungan.

Semenjak mengaji kepada Kyai Adro’i, setiap beliau pulang dari Ampel, diteruskan menuju ke Nyamplungan untuk mengaji al-Quran. Setelah itu beliau menuju ke Madrasah Tashwirul Afkar di Gubbah untuk mengaji ilmu agama. Dan baru pulang setelah jam 10.00 pagi. Seharinya beliau hanya mendapatkan sangu (uang saku) sebesar 5 Sen yang berlobang tengahnya yang beliau tempelkan di kancing baju.

Pernah selama 4 tahun, Utsman kecil tidak memakan makanan kecuali hanya daun-daunan dan buah-buahan. Pada waktu itu beliau menentukan untuk kebutuhan belanjanya hanya 1/2 Sen perhari. Beliau mengatakan: “Pada waktu saya masih kecil, suatu hari saya bernafsu sekali ingin makan. Maka sayapun makan sekenyang-kenyangnya. Tetapi sebagai dendanya saya harus mengkhatamkan al-Quran sekali duduk.”

Dan beliau juga menceritakan: “Pada suatu hari saya menangisi diri saya sendiri, karena ketika saya shalat teringat layang-layang, padahal saya sudah berumur 12 tahun. Berarti 3 tahun lagi saya sudah baligh dan mukallaf, bagaimana kalau saya masih ingat pada layang-layang pada waktu sholat?!”

Menginjak Usia Dewasa Dilaluinya dengan Mengembara Mendalami Ilmu Agama

Ahmad Asrori, putra sekaligus pengganti KH. Utsman sepeninggalnya, mengatakan bahwa ayah beliau pernah mengatakan: “Ketika saya menginjak umur 13 tahun, mata saya melihat Ka’bah di Makkah secara sadar dan nyata. Maka mata sayapun saya usap berkali-kali, tetapi tetap saja yang nampak hanyalah Ka’bah di Makkah. Kemudian saya berpikir, mungkin mata saya sudah rusak. Saya pun akhirnya minta dibelikan kaca mata khusus untuk melihat. Akan tetapi hasilnya tetap sama, Ka’bah di Makkah tetap nampak di pelupuk mata saya.”

“Itulah awal kasyaf yang dialami oleh Hadhratus Syaikh, dan sejak itu kata Hadhratus Syaikh: “Saya melihat orang dengan segala kepribadiannya, ada yang menyerupai srigala, ada yang seperti truwelu, ada yang seperti babi, seperti ayam, kucing dan lain sebagainya menurut pembawaan nafsunya masing-masing. Tetapi saya tidak berani berkata terus terang, sebab itu adalah rahasia seseorang.” Ujar KH. Ahmad Asrori bin Utsman al-Ishaqi.

Pada suatu hari Hadhratus Syaikh sampai larut malam tidak pulang dari madrasah seperti biasanya pada jam 10.00 pagi, sehingga orang-orang tua mengkhawatirkan keadaannya. Maka imam Raudhah Kyai Nur, atas izin orang tua beliau, berangkat mencari Kyai Utsman, dan oleh karena diberitakan bahwa Hadhratus Syaikh berada di pondok Kyai Khozin Panji, maka Kyai Nur pun berangkat ke sana. Tetapi sesampai Kyai Nur di Siwalan Panji, Hadhratus Syaikh sudah pindah ke pondok Kyai Munir Jambu Madura. Setelah orang tua beliau mendengar kabar yang demikian itu, beliau mengatakan: “Tidak usah mencari Utsman, yang penting dia sehat.”

Setelah beberapa lama tinggal di pondok, beliau sakit keras, maka terpaksa beliau pulang ke rumah. Setelah berobat beliau akhirnya sembuh kembali. Kemudian Hadhratus Syaikh dipondokkan ke Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng.

Selanjutnya beliau dipondokkan ke Kyai Romli Peterongan Jombang. Pada waktu itu Hadhratus Syaikh benar-benar terikat, beliau mengatakan: “Sewaktu saya dikirim oleh orang tua saya ke pondok, sarung saya hanya satu lembar. Apabila najis maka saya memakai tikar sebagai gantinya untuk shalat. Dan selama saya di pondok, saya tidak pernah pulang ke rumah kecuali badan saya sudah kurus benar. Sebab apabila saya pulang dan badan saya gemuk, saya dimarahi oleh orang tua dan nenek. Pernah pada suatu hari saya pulang badan saya gemuk, spontan nenek saya mengatakan: “Kalau kamu tinggal di pondok hanya untuk makan dan minum, lebih baik tinggal di rumah saja!”

Suatu hari saat kepulangan Hadhratus Syaikh dari pondok, beliau menyaksikan adanya hubungan-hubungan khusus yang diselenggarakan oleh tujuh orang pemuda dan tujuh orang pemudi setiap hari di samping musholla depan rumah beliau.

Melihat hal yang tidak senonoh itu, akhirnya beliau adukan kepada Kyai Romli dengan mengatakan: “Kyai, saya melihat ada mutiara di dalam air yang keruh dan najis, apakah saya harus mengentasnya (menyelamatkanya)?”

Kyai Romli menjawab: “Entaslah wahai Utsman! Dengan syarat hatimu tidak berpaling kepadanya. Kalau hatimu berpaling kepadanya, maka kamu tidak akan berjumpa denganku besok di Mahsyar.”

Maka beliaupun mengumpulkan pemuda dan pemudi yang berjumlah 14 orang itu di rumah beliau setiap malam. Beliau ikuti pembicaraan-pembicaraan mereka yang intim itu sambil beliau masuki urusan keagamaan mereka. Dan beliau peringatkan kepada mereka akan siksa Allah Swt. Sampai akhirnya mereka pun bertaubat dengan taubat nasuha..

Kyai Utsman pernah diadukan oleh seorang ulama kepada Kyai Romli karena beliau diketahui telah mengadu ayam. Mendengar pengaduan itu Kyai Romli menjawab: “Saya tidak berani melarangnya dan Kyai tidak usah menirunya mengadu ayam.”

Awal Mula Diangkat Sebagai Mursyid Thariqat

Kawan dekat Hadhratus Syaikh yang bernama KH. Hasyim Bawean pernah bercerita: “Hadhratus Syaikh dibaiat oleh Kyai Romli pada hari Rabu tanggal 16 Sya’ban tahun 1361 H/1941 M. Setelah beliau dibaiat selama satu minggu beliau menyusun silsilah Thariqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah atas perintah Kyai Romli yang diberi nama Tsamrat al-Fikriyyah.”

Hadhratus Syaikh mengatakan: “Saya dibaiat oleh Kyai Romli atas permintaan Kyai Romli sendiri. Pada waktu itu saya dimasukkan ke kamar Kyai dan didudukkan di atas Burdah yang putih bersih di atas tempat tidur Kyai dan dipinjami Tasbih. Padahal waktu itu kaki saya berlumpur karena hujan. Karena sudah menjadi tradisi, setiap kali saya masuk ke rumah Kyai, kaki saya pasti telanjang tanpa alas kaki. Dengan demikian sebelum saya jadi Murid saya adalah Murad dan sebelum saya menjadi Thalib saya adalah Mathlub.”

Dalam kesempatan lain Hadhratus Syaikh mengatakan akan menghadiri majelis khusus atau wirid khataman selama 4 tahun. “Saya terus menerus berjalan kaki memakai klompen dari Surabaya ke Paterongan. Barulah kadang-kadang saya naik kendaraan setelah ketahuan Kyai Hasyim Asy’ari di Mojoagung dan beliau mengatakan: “Jangan jalan kaki terus-menerus Utsman!”

Selanjutnya Kyai Hasyim Bawean mengatakan: “Sewaktu terjadi Perang Dunia II tahun 1942 M Hadhratus Syaikh sekeluarga pindah sementara ke Peterongan. Kalau siang hari berada di dalam pondok. Pada suatu hari, yakni hari Selasa, beliau disuruh menghadap Kyai Romli pada jam 2.00 malam untuk diangkat menjadi mursyid Thariqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Hadhratus Syaikh waktu itu mengatakan: “Tidak kuat Kyai.” Tetapi Kyai Romli tetap melaksanakan perintah Allah, kemudian mengusapkan tangannya di atas kepala Kyai Utsman. Seketika itu pula Hadhratus Syaikh jatuh pingsan tak sadarkan diri dan langsung jadzab.”

Selama satu minggu Hadhratus Syaikh mengalami jadzab, beliau tidak makan, tidak minum, tidak tidur, tidak buang air besar maupun kecil dan tidak shalat. Wajah beliau cantik sekali bagaikan bulan purnama. Tak seorang pun yang berani melihat wajah beliau yang cantik itu.

Setelah Hadhratus Syaikh mengalami jadzab satu minggu, beliau berkata kepada Kyai Hasyim Bawean: “Nanti malam akan datang tamu-tamu banyak sekali tidak perlu suguhan makanan atau minuman.” Maka pada jam 8.00 kurang sepuluh menit malam Hadhratus Syaikh sudah siap menerima para tamu di kamar, dan menghadap ke pintu. Tidak lama kemudian beliau mengucapkan: “Wa’alaikumussalam, Wa’alaikumussalam”, selama kurang lebih lima menit dan nampak seakan-akan Hadhratus Syaikh menjabat tangan orang-orang sambil menundukkan kepala.

Kemudian beliau mengatakan: “Mulai hari ini saya ditetapkan sebagai mursyid langsung oleh Syaikh Abdul Qodir al-Jailani Ra. dan Nabiyullah Khidhir As. serta oleh sejumlah masyayikh Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dan sejak sekarang saya diizinkan untuk membaiat”, sambil menyerahkan sepucuk kertas kepada Kyai Hasyim Bawean.

Kemudian Hadhratus Syaikh menghadap ke barat sekali lagi dan mengucapkan: “Na’am, na’am.” Tepat pada jam 8.00 lebih 5 menit malam itu, Hadhratus Syaikh berdiri menuju ke pintu. Setelah diam sejenak, beliau mengucapkan: “Wa’alaikumussalam, wa’alaikumussalam.”

Kemudian oleh Kyai Hasyim, Hadhratus Syaikh disuruh mandi setelah satu minggu tidak mandi. Dan ketika itulah Kyai Hasyim cepat-cepat pergi ke Kyai Romli untuk mengantarkan sepucuk kertas tadi. Setelah menerima kertas itu, Kyai Romli spontan menemuinya di luar rumah seraya mengatakan: “Ada apa? Ada apa? Ada apa?”

Ketika Kyai Romli membaca sepucuk kertas itu spontan Kyai mengatakan dengan bahasa Madura yang maksudnya: “Alhamdulillah sekarang saya punya anak yang bisa menggantikan saya (sampai 3 kali).”

Orang tua Kyai Utsman juga pernah menyatakan kepada salah seorang habib bahwa Hadhratus Syaikh telah mendapatkan ijazah dari Syaikh Abdul Qodir al-Jailani Ra., untuk berdakwah dan diangkat sebagai khalifahnya tanpa perantara. Pernyataan ini disampaikan pada tahun 1947 M.

Takluknya Sang Pengadu Ayam Kawa’an di Hadapan Kyai Utsman

Pada waktu Kyai Utsman tinggal di Rejoso, ada seorang tukang adu ayam kawa’an yang sangat populer di Jombang bernama Wak Sud. Dia memiliki jago-jago yang khusus untuk diadu. Hadhratus Syaikh tertarik untuk menundukkan orang ini melalui adu ayam. Maka beliau membawa ayam ke Wak Sud dengan maksud untuk mengajak bertanding adu ayam.

Atas ajakan Kyai Utsman itu Wak Sud menjawab: “Apabila jagomu menang melawan jagoku maka semua kekayaanku adalah milikmu. Sebaliknya apabila jagomu kalah saya tidak menuntut apa-apa darimu.”

Maka Hadhratus Syaikh menjawab: “Apabila jagomu menang kemudian kau ambil kekayaanku, memang saya tidak mempunyai sesuatu yang patut disebut. Dan apabila sebaliknya jagoku yang menang maka saya sama sekali tidak butuh kepada kekayaanmu. Pokoknya begini, apabila jagoku menang kamu harus tunduk dan patuh di bawah perintahku.” Akhirnya Wak Sud menyetujui tawaran itu.

Dengan kuasaan Allah Swt., menanglah Hadhratus Syaikh dalam pertandingan itu sekalipun jago miliknya kurus kecil dan lemah sekali. Berbeda jauh dengan jago kepunyaan Wak Sud yang kekar dan gagah itu. Alhasil Wak Sud pun harus menerima kesepakatan bersama setelah kekalahannya. Kini ia tunduk dan patuh pada Hadhratus Syaikh KH. Utsman.

Maka saat Kyai Romli melihat Wak Sud melakukan shalat, Kyai Romli memegang pundak Kyai Utsman dari belakang seraya mengatakan dengan nada heran: “Apa yang kamu lakukan terhadap Wak Sud wahai Utsman, sehingga dia mendatangi shalat Jum’at. Padahal saya tidak mampu menundukkannya?”

Pindahnya dari Jombang ke Ngawi dan Berpulang ke Surabaya

Di Peterongan, Hadhratus Syaikh tinggal di Desa Ngelunggih tidak jauh dari Rejoso atas saran Kyai Romli dengan maksud agar beliau menjadi imam di Ngelunggih. Akibatnya murid-murid Kyai Romli banyak yang pindah ke Ngelunggih untuk mendapatkan barokah dari Kyai Utsman serta ilmu dari beliau. Akhirnya Hadhratus Syaikh disuruh pindah oleh Kyai Romli ke salah satu desa dekat Gunung Lawu di Ngawi.

Ketika Hadhratus Syaikh sampai di lereng Gunung Lawu, sangu (bekal) beliau tinggal Rp. 1.70 (satu rupiah tujuh puluh sen) tidak cukup untuk membeli beras 1 liter sekalipun. Maka untuk mendapatkan rizki, beliau setiap harinya mengunjungi pesarean (ziarah kubur) yang paling dikenal oleh orang di desa itu. Karena beliau cinta dan hobi melakukan ziarah kubur, akhirnya atas kemurahan Allah Swt. beliau sekeluarga mendapatkan rizki yang tidak diduga-duga sebelumnya.

Diantara orang kampung ada yang mengundang beliau untuk mengikuti tahlilan, adapula yang minta barokah doa, ada yang meminta fatwa, sampai akhirnya Hadhratus Syaikh menjadi populer di desa itu dan kemudian menjadi imam di desa itu.

Di desa barunya itu, suatu hari beliau bermimpi berjumpa dengan gurunya, Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari Tebu Ireng, berpamitan kepada beliau dengan mengatakan: “Saya duluan Utsman.” Mimpinya tersebut ternyata sebuah isyarat akan berpulangnya sang guru ke rahmatullah. Karena esok harinya beliau mendengar berita bahwa Kyai Hasyim Asy’ari meninggal dunia.

Menjelang meletusnya Madiun Effer (peristiwa Madiun pada tahun 1948 M) Kyai Utsman berkali-kali menerima surat serta saran agar beliau pulang saja ke Surabaya karena situasi yang tidak aman lagi di daerah itu.

Mendengar kabar pulangnya Hadhratus Syaikh KH. Utsman ini, sebagian besar penduduk di lereng Gunung Lawu itu keberatan ditinggalkan oleh beliau. Karena mereka masih amat memerlukan doa, ilmu serta barokah dari beliau. Bahkan ada warga yang berjanji memberikan 20 hektar kebun kepada Hadhratus Syaikh agar beliau sudi tetap tinggal di desa itu. Tetapi setelah beliau melakukan istikharah akhirnya beliau menetapkan kembali ke Surabaya.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *