Kata jihad dewasa kini telah booming dan populer di telinga maupun melalui tulisan dalam nuansa topik kajian keislaman. Hal demikian terjadi umumnya karena adanya stimulus luar biasa para pembicara (da’i; yang mendakwahkan) untuk menyebarluaskan paham yang menurutnya benar. Tentunya, dilatarbelakangi oleh berbagai alasan, salah satunya ialah dengan tujuan untuk menarik simpati para pendengar atau audience dan memberikan stimulus kebenaran berupa kepasrahan dalam beragama kepada kadernya (yang mengikuti dan membenarkannya) untuk memanifestasikan paham dalam bentuk aplikatif.
Salah satu wujud manifestasi yang kongkrit dikenal ialah ISIS dan berbagai kelompok lainnya. Jihad menjadi salah satu gemuruh semangat bara yang dilakukan para kader ini. Bagaimana tidak, iming-iming kebahagiaan yang tiada henti ditawarkan oleh para da’inya terus dilontarkan hingga benar-benar telah tercuci otak istilahnya.
Jihad menjadi jalan yang selalu ditegakkan dengan disandingkan (agama) Islam. Sehingga, tidak sedikit yang meyakini dan berpandangan bahwa Islam berisi ajaran yang demikian layaknya para mujahid yang berperang seperti ISIS dan para pembenar bom bunuh diri diberbagai negara.
Gagal Paham Memaknai Jihad dan Mati Syahid
Jika merujuk pada pandangan dan tindakan yang dilakukan oleh beberapa kelompok atas nama jihad, maka jihad dapat diartikan menegakkan Islam dengan berperang; baik memerangi kaum kafir (kriteria kelompknya) secara formal hingga sesama muslim yang berbeda pandangan atas suatu hal. Berperang dalam hal ini diartikan sampai darah titik penghabisan, bahkan boleh jadi menjadi jalan kematian yang membahagiakan bagi yang berjihad.
Para mujahid yang menjadi kader dan militan kelompok ini dengan suara lantangnya atas jihad meyakini dengan segala bentuk ucapan, tindakan dan keyakinan bahwa yang mengikuti kelompoknya dan berjihad bersama kelompoknya, maka dipastikan matinya syahid. Sebab, bagi mereka jalan jihad dengan mengibarkan dua kalimat syahadat di bendera dan dengan tujuan menegakkan Islam ialah jalan benar dan seharusnya dilalui oleh setiap muslim dan mukmin.
Mati syahid bagi mereka adalah suatu hal yang pasti yang diterima para kader yang telah gugur di medan perang. Mati syahid dipahami tidak dapat didapatkan oleh seseorang yang duduk santai dirumah saja, melainkan melalui jalan perang layaknya mereka.
Seseorang yang hanya belajar ilmu tidak mengaktualisasikan ilmunya melalui jihad maka bagi mereka mustahil mati syahid. Sebab, salah satu jalan mati syahid bagi mereka adalah berperang menegakkan Islam. Tidak ada jalan jihad tanpa melalui perang seperti mereka para ISIS dan lainnya. Tidak ada mati syahid tanpa adanya pengorbanan diri dalam menegakkan Islam seperti mereka yang melakukan bom bunuh diri.
Secara langsung dapat dipahami bahwa makna agama dan makna Islam sudah tidak dipedulikan sama sekali. Tidak hanya itu, melainkan laku rasul Muhammad dan ajaran Tuhan disimpangkan sedemikian rupa tanpa adanya penalaran teks dan konteks yang terus berubah dan bertambah problemnya. Oleh sebab itu, paham yang gagal memaknai jihad dan mati syahid merupakan korban atas ketaklidan buta, sebab tidak adanya pendalaman kritis terhadap eksistensi dan esensi Islam sebagai suatu agama.
Meluruskan Makna Jihad dan Mati Syahid Melalui Konsep Nalar
Islam merupakan suatu agama yang identitas dan karakternya tidak dapat dilepas dari harmonis, fleksibel, damai-menentramkan dan membahagiakan. Seperti pada umumnya, Islam sebagai agama merupakan hasil temuan nalar atas konsep ketuhanan yang benar. Sebab, konsep ketuhanan dalam Islam merupakan konsep terlogis yang dapat dipertanggung jawabkan, tidak sebatas ikut-ikutan tanpa pendalaman makna.
Diantaranya jalan mendalami makna Islam sebagai agama yang mendamaikan ialah dengan tanya jawab ihwal Islam, khususnya dalam bidang tauhid yang didalamnya sarat keimanan Eksistensi dialektika tidak lain ialah menghadirkan alur baru penemuan tentang suatu keyakinan. Tanya jawab ibarat ujian untuk mempertajam pola kebertuhanan diri, artinya tidak dapat difungsikan untuk mengobori selainnya, kecuali melalui dialektika sehat tanpa pelabelan subjektif.
Pun dalam memaknai jihad dan mati syahid dalam Islam; penting menghadirkan filterisasi untuk menyaring suatu hal yang tidak logis dan tidak sesuai dengan makna Islam itu sendiri. Islam yang hadir dengan esensi damai dan kebahagiaan adalah pegangan yang perlu dijadikan kekuatan argumentasi.
Adapun seandainya menegakkan Islam dengan perang kemudian korban berjatuhan banyak; dari anak kecil hingga orang tua, apakah hal tersebut kebahagiaan bagi yang lain (korban)? Tentu tidak, sebab ada pihak yang dirugikan atas eksistensi perang itu sendiri. Dampak besarnya ialah Islam dipandang berbahaya dan ajarannya fanatis tidak rahmat seperti seharusnya. Hal demikianlah yang menyimpang atas eskistensi dan esensi Islam.
Maka, jika ada perkara yang tidak sesuai dengan Islam (gembira dan bahagia), boleh jadi ada kegegalpahaman fatal dalam memaknai Islam itu sendiri hingga menjadikan Islam dipandang buruk oleh mereka (non-muslim). Oleh sebab itu, kehadiran akal sebagai potensi manusia adalah tidak untuk disia-siakan, melainkan untuk difungsikan secara maksimal. Sebagai fitrah, tentunya jika akal sehat akan menolak suatu hal yang tidak harmonis juga tidak benar. Maka, problem ini adalah problem minimnya fungsi nalar.
Selain itu, doktrin mujahid pasti mati syahid juga fakta yang dilakukan kelompok yang berkepentingan. Mati syahid adalah mati yang selalu diinginan setiap muslim dan mukmin. Sebab, dengan mati syahd jalan surga seseorang akan dimudahkan. Alhasil, tidak sedikit yang berharap mati syahid.
Namun, apakah benar jika mati syahid hanya dapat dicapai dengan berperang dan bom bunuh diri? Tentu keliru, sebab mati syahid ialah mati yang dikategorikan bagi setiap siapa saja yang dapat menemukan dalil keyakinannya dalam dua kalimat syahadat. Sebab, dalam dua kalimat syahada ada 2 penyaksian yang wajib ditemukan oleh seorang muallaf. Saksi ketuhanan dan saksi atas utusan Tuhan juga berita yang dibawanya. Jika seandainya telah diupayakan demikian, maka boleh jadi tanpa perangpun orang yang paham bisa dibilang mati syahid. Sebab, telah paham secara mendalam makna dua kalimat syahadat.
Lalu, bagaimana nasib orang yang berjihad tapi tidak paham dua kalimat syahadat? tentu sia-sia saja. Sebab, agama yang mereka tegakkan tidak benar-benar dikenal. Bukan hanya itu, Tuhan yang disembah tidak benar-benar dimakrifati. Dampaknya ialah kematian yang sia-sia semata, sebab tidak adanya paham atas dua kalimat syahadat.
Seandainya paham dua kalimat syahadat, apakah perang yang dilakukan dapat mengantarkan mati syahid? Jawabannya banyak. Dalam hemat penulis, jika perang dalam artian menegakkan Islam dalam diri; perang membunuh nafsu dan dunia, maka bisa dinamakan jihad dan matinya dinamakan mati syahid. Jika perang dalam artian membunuh yang berbeda pandangan dan berbeda agama tanpa sebab yang didahuluinya (karena mutlak paham kelompok), maka bisa dinamakan jihad yang matinya sia-sia.
Dapat disimpulkan, bahwa mati syahid ialah mati yang diterima oleh mereka yang memahami penyaksiannya dalam dua kalimat syahadat. Meski demikian, tidak lantas pasti diterima, sebab kematian syahid seorang yang iman adalah mutlak rahman dan rahim Allah ta’ala. Pun jihad, tidak semata menegakkan Islam tanpa mendalami Islam sebagai agama, melainkan penting berjihad memerangi nafsu dan lain sebagainya.
Sebab, tidak hanya melalui perang jalan jihad dan mati syahid dapat dicapai seorang muslim. Akan tetapi, jalan jihad dan mati syahid dapat dicapai melalui konsistensi pendalaman dua kalimat syahadat dengan modal nalar yang dimaksimalkan juga guru sebagai ruang sanad dan ruang penguji atas temuan. Tidak luput juga, penting untuk mengupayakan hasil pendalaman melalui aktualisasi sikap dan tindakan beserta ucapan. Sehingga, dimungkinkan besar tidak terjadi kegagalpahaman yang merugikan siapapun, apalagi hingga membunuh nyawa seseorang yang seharusnya menjadi hak mutlak Allah Ta’ala.
Kerajaan Sabamban, Kalimantan Selatan
Pangeran Syarif Ali bin Syarif Abdurrahman Al Aydrus adalah kepala pemerintahan landschap Sabamban yang sering disebut juga kerajaan Sabamban (kepangeranan Sebamban), salah satu daerah yang termasuk wilayah pemerintahan Hindia Belanda di Borneo Timur (sekarang termasuk wilayah provinsi Kalimantan Selatan)
Saat itu, Kepala Pemerintahaan Sabamban bergelar Pangeran (bukan Sultan). Di wilayah Kalimantan Tenggara tersebut terdapat pula Kerajaan Pagatan, Kerajaan Kusan dan Kerajaan Paser yang status daerahnya setara tetapi sedikit lebih tinggi (kerajaan). Daerah-daerah di Kalimantan Tenggara tersebut pada 17 Agustus 1787 merupakan daerah yang diserahkan Sultan Tahmidullah II kepada VOC diwakili Residen Walbeck kemudian menjadi properti milik perusahaan VOC, selanjutkan menjadi milik Hindia Belanda yang menggantikan VOC. Pangeran Syarif Ali mengepalai daerah Sebamban dengan berpenduduk sekitar 250 jiwa, tidak termasuk para penambang, kebanyakan orang Banjar dan beberapa orang Bugis. Daerah Sebamban ini menghasilkan intan, emas, batubara, beras, dan kayu.
Syarif Ali Al-Aydrus adalah cucu dari Raja (Tuan Besar) Kerajaan Kubu yakni Syarif Idrus Al-Aydrus, yang pada awalnya menetap di daerah Kubu mendirikan kerajaan Kubu, di Kalimantan Barat (bersama keluarga bangsawan Kerajaan Kubu). Namun karena ada konflik keluarga, maka beliau menghindar diri dan hijrah ke Banjarmasin, biar tak terjadi perpecahan yang lebih rumit.
Ketika beliau pergi dari Kalimantan Barat ke Kalimantan Selatan, beliau sebenarnya telah memiliki satu istri dan berputra dua orang yaitu Syarif Abubakar Alaydrus dan Syarif Hasan Al-Aydrus. Ketiganya beliau tinggalkan, tetap berada di Kerajaan Kubu, sedangkan beliau berlayar melalui sepanjang pesisir selatan Kalimantan hingga sampai di daerah Banjar.
Di daerah Banjar tersebut, beliau mendirikan Kerajaan Sabamban dan menjadi Raja yang Pertama, bergelar Pangeran Syarif Ali Al-Aydrus. Pada saat beliau menjadi Raja Sabamban ini, beliau menikah lagi dengan 3 (tiga) wanita yakni pertama Putri dari Sultan Adam dari Kesultanan Banjar di Kalimantan Selatan, kedua dari Putri dari Sultan Bugis di Sulawesi Selatan dan ketiga Putri dari Sultan Bone, juga di Sulawesi Selatan. Pada saat beliau telah menjabat sebagai Sultan di Sabamban inilah, kedua putra beliau dari Istri pertama di Kubu, Kalimantan Barat yaitu Syarif Abubakar Alaydrus dan Syarif Hasan Alaydrus menyusul Beliau ke Angsana, di Kesultanan Sabamban dan ikut menetap bersama Ayahandanya.
Dari keempat istri beliau baik yang dari Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan maupun dari Sulawesi Selatan, memiliki 12 (dua belas) putra yakni 1. Syarif Hasan Al-Aydrus (Makamnya dekat pemakaman raja Sebamban) 2. Syarif Abubakar Al-Aydrus (Makamnya di Angsana, dekat pantai) 3. Syarif Musthafa Al-Aydrus (Makamnya di Tatakan, Rantau) 4. Syarif Thaha Al-Aydrus (Makamnya di Tanah Bumbu, Batulicin) 5. Syarif Hamid Al-Aydrus (Makamnya di Batulicin, Tanah Bumbu) 6. Syarif Ahmad Al-Aydrus (Makamnya di Tanah Bumbu, Batulicin 7. Syarif Muhammad Thahir Al-Aydrus (Makamnya di Kalimantan Barat) 8. Syarif Umar Al-Aydrus (Makamnya di Tarjun, Kotabaru) 9. Syarif Husein Al-Aydrus (Makamnya di Pulau Laut, Kotabaru) 10. Syarif Shalih Al-Aydrus (Makamnya di Angsana, dekat pantai) 11. Syarif Muhammad Al-Aydrus (Makamnya di Angsana dekat pantai) 12. Syarif Utsman Al-Aydrus (Makamnya di Pagatan, Tanah Bumbu)
Syarif Hasan bin Pangeran Syarif Ali Al-Aydrus mempunyai putra bernama Syarif Qasim Alaydrus, menjadi Raja II Sabamban sepeninggal kakeknya yaitu Pangeran Syarif Ali bin Syarif Abdurrahman Al-Aydrus. Sesudah Syarif Qasim Al-Aydrus ini, kerajaan tidak diteruskan hingga akhirnya Kerajaan Sabamban ini hilang dari bumi Kalimantan Selatan.
Setelah wafatnya Sultan Syarif Ali Al-Aydrus, jabatan sultan tidak diteruskan oleh putra-putra beliau, akan tetapi yang menjadi Raja II atau Sultan II Sabamban seperti telah disebut di atas adalah justru cucu beliau yaitu Sultan Syarif Qasim Al-Aydrus, putra dari Syarif Hasan Al-Aydrus (Syarif Hasan adalah putra Sultan Syarif Ali Al-Aydrus dari Istri pertama, waktu Syarif Ali masih menetap di kerajaan Kubu, Kalimantan Barat).
Jadi sepanjang sejarahnya, kesultanan Sabamban ini hanya dijabat oleh dua Sultan saja, yaitu pendirinya Sultan Syarif Ali Al-Aydrus sebagai Sultan I dan cucu beliau sebagai Sultan II Sabamban yaitu Sultan Syarif Qasim Al-Aydrus.
Sementara itu, setelah tidak ada lagi Kesultanan Sabamban tersebut, anak-cucu keluarga bangsawan dari keturunan Sultan Syarif Ali Al-Aydrus ini, menyebar ke seluruh wilayah Kalimantan Selatan pada umumnya dan ada sebagian yang hijrah ke Malaysia, Filipina, pulau Jawa dan di belahan lain daerah Nusantara hingga saat ini.
No responses yet