Diskusi mengenai persoalan interfaith dalam konteks negara tidak bisa dilepaskan dari isu jizyah. Islam mengenal jizyah sebagai pajak yg harus dibayar oleh non-muslim untuk dapat tinggal di daulah Islamiah. Penyerahan harta atas nama jizyah ini memberikan jaminan keamanan bagi non-muslim.

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk (al-Taubah: 29)

Lalu, bagaimana menempatkan jizyah di era sekarang ini, sementara teks nash mengenai hal ini sarih:

Pertama, ayat tentang jizyah di atas bersifat ‘ām yang memiliki maksud spesifik (al-khāsh). Ayat ini diturunkan pada orang-orang Romawi yang memerangi dan bersikap melampaui batas pada umat Islam. Tidak ditujukan pada semua ahli kitab. Pemahaman ini dapat dibuktikan dg sikap Kanjeng Nabi saw pernah melakukan perjanjian dg Nasrani Bani Najran untuk tidak memerangi mereka dan menunaikan segala hak-hak mereka yang tertuang dalam perjanjian. Disamping itu, orang-orang Yahudi yang tinggal di Madinah bersama Nabi dan berada di bawah kepemimpinan Nabi tidak tidak dipungut jizyah. Mereka memiliki status yg sama ‘muwathinūn/مواطنون’ berdasarkan Piagam Madinah.

Kedua, teks-teks al-Qur’an yg memiliki illat yg spesifik, baik disebut terang dalam nash atau melalui proses penggalian (istinbāth), bersifat dinamis bergantung pada eksistensi dan ketiadaannya. Yuris Islam memberikan alasan (illat) khusus -menurut pendapat yg paling sahih- kewajiban membayar jizyah apabila mereka tidak berpartisipasi dalam membela negara. Mereka menetapkan gugurnya membayar fidyah bagi non-muslim yang berperan serta membela negara.

Di samping itu, posisi nash tentang jizyah sama dg golongan ‘muallafah qulūbuhum’ dalam penerima zakat. Umar bin Khattab tidak lagi memberi bagian pada kelompok ini dg alasan Allah telah meluhurkan Islam dan tidak perlu melunakkan hati mereka dg harta. Ketentuan nash jizyah, menurut pendapat kami- seperti ketentuan nash ‘muallafah qulūbuhum’, ketentuannya dapat dianulir sebab telah hilang sebab/konteksnya, atau bergantung pada eksistensi dan ketiadaan illat.

Di sadur dr kitab al-Fiqh al-Islāmy fi Tharīq al-Tajdīd – M. Salim al-Awwa

Tertarik kitabnya? klik  Disini

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *