Ibnu Khaldun adalah tokoh perintis ilmu sosial humaniora (bapak sosiologi) yang paling melegenda. Argumen-argumen teoritiknya tentang sejarah dan fenomena sosial kebudayaan tetap relevan hingga saat ini. Meskipun demikian Ibnu Khaldun dikenal sebagai ilmuwan yang “rendah hati”. Baginya seorang ilmuwan harus siap salah dan dikritik agar argumentasi yang dia bangun bisa lebih baik. Dalam bukunya Muqaddimah, Ibnu Khaldun memberikan penjelasan yang panjang lebar tentang bagaimana kita sebagai seorang “yang beragama” (Muslim) harus mendahulukan “kejujuran” argumentasi yang dibangun bukan semata dengan bukti-bukti empiris, tetapi juga dengan nalar yang logis. Harus ada keseimbangan antara nalar deduktif dan induktif. Karena model penalaran inilah yang sering dijumpai dalam teks Al Qur’an dan Al Hadist, yang menjadi “rujukan” utama para ulama dari zaman kenabian, khulafaur Rasyidin, tabi’in hingga era sekarang ini.
Untuk itulah kita sebagai ummat Islam yang taat (santri) harus mampu membaca Sirah Nabawiyah secara Antropologis yang lebih kontekstual. Sehingga kita tidak terjebak dalam narasi historis yang hanya sibuk membanggakan “kebesaran” di masa lalu. Namun lupa untuk membangun “kesuksesan” di masa kini dan masa depan. Perlu disadari bahwa Islam itu lahir di kota Makkah yang sangat “kosmopolit”. Kota yang sampai sekarang bukan saja sebagai tempat berkumpulnya manusia dari segala penjuru wilayah dunia untuk melakukan ibadah. Tetapi juga kota “perdagangan”, tempat para saudagar melakukan transaksi, terutama disaat waktu-waktu tertentu seperti di bulan haji. Selain datang untuk beribadah, mereka juga sekaligus “berdagang”.
Bahkan sampai sekarang, Masjidil Haram yang merupakan tempat suci utama ummat Islam, masih dikelilingi dengan pusat-pusat bisnis berskala kecil yang bersifat lokal hingga yang berskala internasional. Artinya bagi seorang santri yang telah “khatam” membaca Sirah Nabawiyah harusnya bisa memahami betapa sejak awal Islam lahir, agama ini sudah “bespirit modern” atau perkotaan. Bahkan nabi kita dikenal sebagai seorang “bisnisman” atau “saudagar” yang sukses dan profesional (amanah) sehingga semua partner bisnisnya percaya kepada beliau meskipun berbeda “keyakinan” agamanya. Maka tidak perlu heran jika ada hadis yang menegaskan bahwa perdagangan adalah pintu utama dari pintu-pintu rejeki yang diberikan Allah. Bahkan “ajaran” ini masih terus terbukti hingga sekarang ini.
Pembacaan ini juga menegaskan bahwa menjadi seorang muslim sejati haruslah “berpikiran modern”. Dan itu adalah “kewajiban”. Karena Allah telah mengajarkan dan memerintahkan hal itu dengan ber-Islam yang diperkuat dengan keteladanan perilaku Rasul Nya. Diantara keteladanan Nabi Muhammad sebagai sosok manusia modern adalah beliau begitu mencintai perdamaian, tidak suka membuka ruang konflik bahkan lebih sering menutupnya, meskipun beliau berada dalam posisi sangat kuat dibandingkan “lawan politiknya”. Spirit ajaran Islam yang ditegaskan nabi “keteladanannya” adalah spirit “merdeka dan memerdekakan”. Itulah kenapa ketika “Fathul Makkah” nabi tidak melakukan “bumi hangus”, sebaliknya malah “membebaskan” penduduk Makkah untuk memilih opsi-opsi yang terlihat “merugikan” Islam. Seorang muslim sejati (santri) harusnya memahami ajaran ini.
Di samping meneladani sikap nabi yang luhur, kita juga harus memiliki spirit sebagai “pengusaha” yang sukses seperti nabi. Karena hanya dengan menjadi pengusaha lah seorang santri bisa maksimal berjuang untuk mewujudkan “Islam” yang rahmatan Lil aalamin dan tidak menjadi beban bagi orang lain ( jika hanya menjadi seorang buruh). Spirit Islam yang terbuka, saling menghormati dan menghargai “keragaman” masyarakat juga harus terinternalisasi dalam jiwa dan pikiran santri. Sehingga santri bisa membangun jaringan bisnisnya dengan siapapun selama didasari asas profesionalitas (Siddiq, Amanah, Tabligh dan Fatonah), seperti yang dilakukan nabi yang menjalin hubungan bisnis dengan semua kalangan, termasuk dengan orang Yahudi dan Nasrani.
Santri adalah figur yang (mustinya) paling dekat aksesnya kepada Allah dibandingkan kelompok masyarakat umum lainnya. Kondisi semacam inilah yang menjadikan santri memiliki keyakinan akan selalu dalam lindungan Allah. Sehingga santri tidak memiliki rasa takut “gagal” dalam mengarungi kehidupan. Karena hakekatnya mereka sudah meraih kesuksesan sejak mereka memilih menjadi santri. Santri adalah identitas kultural sekaligus identitas spiritual, yang menandakan sebuah kemantapan dan kemandirian iman penyandangnya. Bekerja keras adalah jalan kehidupan yang sudah mendarah daging dalam diri santri. Meskipun dididik dengan nilai dan karakter hidup sederhana, tetapi santri juga digembleng dengan semangat orang “kota” yang pantang menyerah dalam berusaha (Man Jadda wa Jada).
Bukankah nabi kita adalah orang yang paling cerdas sekaligus orang yang paling rendah hati? Nabi Muhammad adalah orang yang bespirit “urban” atau modern tetapi ekspresi lahirnya lebih bersifat “rural” atau ndeso yang begitu mengutamakan kesederhanaan. Sebab kesuksesan yang diraih nabi dipersembahkan untuk seluruh ummatnya, bukan untuk kepentingan diri dan keluarganya semata. Karena itulah sudah saatnya para santri (ummat Islam) bangkit menjadi “saudagar” atau pekerja kreatif yang mandiri dalam berkarya dan bekerja. Agar bisa memberikan kontribusi positif bagi kemajuan dan kemakmuran seluruh ummat manusia. #SeriPaijo
Tawangsari 27 Oktober 2020
No responses yet