Tanggal  3 Oktober 1943, adalah hari yang bersejarah bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan juga bagi kalangan Pesantren. Sebab hari itu, Saiko Sikikan dari Tentara Pendudukan Jepang mengeluarkan Osamu Seirei No.44 tentang pembentukan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) atau Bo-ei Giyugun Kanbu Renseitai yang terdiri atas 65 Daidan  (batalyon) di Jawa dan 3 Daidan di Bali. Tiap Daidan beranggotakan 535 personil dipimpin Daidancho (komandan batalyon) pangkat setingkat mayor dibantu kepala staf berpangkat shodancho. Setiap Daidan terdiri dari 4 Chudan yang dipimpin seorang Chudancho (komandan kompi) pangkat setingkat kapten. Tiap Chudan terdiri dari 3 shodan yang dipimpin seorang shodancho (komandan peleton) pangkat setingkat letnan. Tiap shodan terdiri dari 4 bundan yang dipimpin seorang bundancho (komandan regu) pangkat setingkat sersan. Tiap bundan (regu) beranggotakan 11 giyuhei – prajurit.

Tujuan dibentuknya Tentara Sukarela PETA oleh pemerintah pendudukan Jepang selain berkewajiban mempertahankan wilayah teritorial (syuu) di Jawa dan Bali, juga disiapkan untuk melawan Sekutu. Oleh sebab itu, Tentara Sukarela PETA dilatih langsung oleh tentara Jepang dan berada di bawah langsung komando Panglima Tentara Jepang. Jepang menyadari bahwa usaha memobilisasi massa guna menghadapi kekuatan sekutu dibutuhkan kekuatan massa sekaligus keberanian moral dalam suasana perang. Itu sebabnya dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang telah memiliki akar di tengah rakyat serta memiliki pengaruh ajaran agama yang diyakini. Perang butuh orang-orang yang memiliki keberanian dan jiwa rela berkorban. Dan berdasar catatan arsip kolonial (colonial archive) yang dimiliki Belanda, Jepang mengetahui bahwa rakyat Indonesia yang memenuhi syarat untuk berperang adalah umat Islam sebagaimana data kolonial arsip yang menyebutkan bahwa antara tahun 1800 – 1900 (100 tahun) telah terjadi usaha-usaha pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dilakukan rakyat di bawah pimpinan tokoh-tokoh tarekat sebanyak 112 kali.

Atas dasar alasan itu, dalam rekruitmen anggota Tentara Sukarela PETA, para Kiai, ulama, guru agama Islam diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin PETA dengan diangkat menjadi daidancho. Selain itu, yang bisa diangkat menjadi daindancho adalah pamong praja setingkat wedana, asisten wedana, jaksa, pimpinan partai. Untuk pangkat chudancho diangkat dari kalangan pegawai negeri, guru sekolah. Sedang untuk shodancho dipilih siswa-siswa sekolah menengah atas.   

 Dengan kebijakan pemerintah pendudukan Jepang seperti itu dalam rekruitmen Tentara Sukarela PETA, maka sebagian di antara komandan  batalyon PETA yang terpilih  dengan pangkat Daidancho (Mayor) itu adalah para kiai dari komunitas pesantren, yang memiliki latar pendidikan pesantren. Keberadaan para kiai tersebut terlihat saat latihan pertama Tentara Sukarela PETA yang dimulai pada 5 Oktober 1943, terdapat sejumlah nama komandan batalyon dan kepala staf batalyon yang bergelar kiai, yaitu  Daindancho Kiai Tubagus Achmad Chatib (Daidan I Labuan Banten); Daidancho Kiai E. Oyong Ternaya (Daidan II Kandangsari Malingping Banten); Daidancho Kiai Sjam’oen (Daidan III Cilegon Serang Banten); Chudancho Kiai Zainoel Falah (Kastaf Daidan  III Cilegon Serang Banten); Daidancho Kiai R.M. Moeljadi Djojomartono (Daidan I Manahan Surakarta);  Daidancho Kiai Idris (Daidan II Wonogiri Surakarta); Daidancho Kiai R. Abdoellah bin Noeh (Daidan I Jampang Kulon Bogor); Daidancho Kiai M. Basoeni (Daidan II Pelabuhan Ratu Bogor); Daidancho Kiai Soetalaksana (Daidan I Tasikmalaya Priangan); Daidancho Kiai Pardjaman (Daidan II Pangandaran Priangan); Chudancho Kiai Hamid (Kastaf Daidan  II Pangandaran Priangan); Daidancho Kiai Iskandar Idris (Daidan I Pekalongan); Daidancho Kiai R. Aroedji Kartawinata (Daidan IV Cimahi – Priangan); Daidancho Kiai Masjkoer (Daidan I Babad Bojonegoro); Daidancho Kiai Cholik Hasjim (Daidan IV Gresik Surabaya); Daidancho Kiai Iskandar Soelaeman (Daidan I Gondanglegi – Malang); Daidancho Kiai Doerjatman (Daidan II Tegal – Pekalongan);  Daidancho Kiai R. Amien Djakfar (Daidan I Pamekasan Madura); Daidancho Kiai Abdoel Chamid Moedhari (Daidan IV Ambunten Sumenep Madura); dan Daidancho Kiai Tahirroeddin Tjakra Atmadja (Daidan II Bondowoso Besuki).

Peristiwa pembentukan Tentara Sukarela PETA ini adalah babak baru dari sejarah umat Islam dalam bidang kemiliteran. Jika sebelumnya, dalam berbagai perlawanan bersenjata terhadap pemerintah kolonial Belanda selalu dilakukan peperangan dengan teknik-teknik tempur tradisional, maka melalui Tentara Sukarela PETA ini umat Islam memasuki babak baru sejarah perang modern dengan dilatih langsung oleh tentara-tentara profesional Jepang yang sejak tahun 1905 sudah berhasil menunjukkan kehebatannya dengan menghancurkan armada Rusia dalam pertempuran di Teluk Tchusima dan pada Maret 1942 menghancurkan kekuatan Belanda dalam pertempuran di Laut Jawa.  

Setahun kemudian, tepatnya pada 14 Oktober 1944 pemerintah pendudukan Jepang membentuk Hizbullah di Jakarta. Hizbullah secara khusus beranggotakan pemuda-pemuda Islam se-Jawa dan Madura. Pada latihan pertama di Cibarusa, Bogor, yang diikuti 500 orang pemuda muslim itu tercatat sejumlah nama Kiai dari pondok pesantren seperti KH Mustofa Kamil (Garut), Kiai Mawardi (Solo), Kiai Zarkasi (Ponorogo), Kiai Mursyid (Pacitan), Kiai  Syahid (Kediri), Kiai Abdul Halim (Majalengka), Kiai Thohir Dasuki (Surakarta), Kiai Roji’un (Jakarta), Kiai Munasir Ali (Mojokerto),  Kiai Abdullah, Kiai Wahib Wahab (Jombang), Kiai Hasyim Latif (Surabaya), Kiai  Zainuddin (Besuki), Sulthan Fajar (Jember), dan lain-lain.

Keberadaan Tentara Sukarela PETA dan Hizbullah, menjadi penting karena  saat proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945  dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk tanggal 18 Agustus 1945, tetapi sampai awal Oktober  belum  memiliki tentara, dan setelah dikritik oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo  dibentuklah  Badan Keamanan Rakyat (BKR), berbondong-bondonglah  masyarakat   mendaftarkan diri. Namun kompeten yang memiliki kemampuan militer terlatih adalah elemen Tentara Sukarela PETA dan Hizbullah serta  mantan anggota Heiho (orang Indonesia yang menjadi tentara reguler Jepang) dan mantan KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger –  pribumi yang menjadi  Angkatan Darat Hindia Belanda). Itu sebabnya, elemen-elemen terlatih itu menduduki posisi vital di BKR. Sejak awal dibentuknya BKR sampai berkembang menjadi TKR, TRI  dan TNI, para kiai dan tokoh-tokoh pesantren yang terdidik di kesatuan PETA dan Hizbullah dan Sabilillah memiliki peran vital dalam pembentukan barisan-barisan dalam kemiliteran setingkat batalyon.

Dalam sejarah pembentukan TNI, mereka yang tercatat sebagai komandan batalyon yang berasal dari  kesatuan PETA, Hizbullah dan Sabilillah  saat itu adalah: Kiai Choliq Hasjim, Kiai Amien Djakfar, Kiai Abdoel Chamid, Kiai Iskandar Idris, Kiai Joenoes Anis, Kiai Basoeni, Kiai Doerjatman, Kiai Abdoellah bin Noeh,   Kiai Ternaya, Kiai Idris, Kiai R.M. Moeljadi Djojomartono, Kiai  Sjam’oen,  Kiai Iskandar Sulaiman, Kiai Zarkasi, Kiai Mursyid, Kiai Syahid, Kiai Abdullah,  Kiai Zainudin, Kiai Masjkoer, Kiai Bisri Sjansoeri, Kiai Zainal Arifin, Kiai Sulam Sjamsun, Kiai Moenasir Ali, Kiai Wahib Wahab, Kiai Jasin, Kiai Mansjoer Sholichy, Kiai Achjat Chalimi, Kiai Hasjim Latif, Kiai Anwar Zen, Kiai Hasan Sjaifoerrizal, Kiai Zaini Moen’im, Kiai Djoenaidi, K. Asnawi Hadisiswoyo, Kiai R. Salimoelhadi, Kiai Bolkin,  Kiai  Abdoellah Abbas, Kiai Mahfoedz, Kiai P. Hadisoenarto,  Kiai Abdoel Moeslim,  Kiai Moeslim, Kiai  Dimjati Moeid,  Kiai Moeslich, Kiai Ridwan, Kiai Imam Nawawi, Kiai Zaeni, Kiai Soedjak, Kiai Asfani, Kiai Abdoel Syoekoer, Kiai Djarkasi, Kiai  Ma’roef, Kiai  Siradj, Kiai  Abdoerrachman, Kiai  Artowikoro,  dan lain-lain serta tokoh-tokoh Ansor seperti Sulthan Fajar,  Hamid Rusdi, Zein Thoyyib, dan lain lain.

Terdapat nama-nama perwira TNI yang merupakan hasil didikan Hizbullah, salah satu kelompok pasukan perlawanan yang berasal dari kelompok santri; Mayor KH. Mustofa Kamil-Banten, Mayor KH. Mawardi-Surakarta, Mayor KH. Zarkasi- Ponorogo, Mayor KH. Mursyid-Pacitan, Mayor KH. Sahid-Kediri, Mayor KH. Abdul Halim-Majalengka, Mayor KH. Thohir Dasuki-Surakarta, Mayor KH. Raji’un-Jakarta, Mayor KH. Munasir Ali-Mojokerto, Mayor KH. Wahib Wahab-Jombang, Mayor KH. Hasyim Latif-Surabaya, Mayor KH. Zainuddin-Besuki, Mayor KH. Zein Thoyib-Kediri. Selain yang berasal dari Hizbullah, terdapat beberapa perwira TNI berlatar belakang santri ex-PETA. Berikut nama-namanya Brigjen KH. Sulam Syamsun, Brigjen KH. Zein Toyib, Brigjen KH. M. Rowi, Brigjen KH Abdul Manan Wijaya, Brigjen KH Iskandar Sulaiman, Brigjen KH. Abdullah Abbas

Karenanya, kalangan pesantren memiliki hubungan historis yang sangat kuat dengan Negara Republik Indonesia dan khususnya TNI. Itu sebabnya, ketika Negara Indonesia menghadapi ancaman, baik ancaman territorial maupun ideologis, kalangan pesantren secara refleks akan terpanggil untuk menjadi garda depan yang bersedia syahid untuk negerinya. Kalangan pesantren memiliki kewajiban moral untuk melindungi dan membela Negara Indonesia, karena mereka ikut membidani lahirnya Negara Indonesia, terutama membidani lahirnya TNI.  

Sejak organisasi NU dideklarasikan 31 Januari 1926, banyak penggerak Syubbanul Wathan dan Ahlul Wathan yang menjadi pengurus HBNU. Karena itu, pada tahun 1930-an kedua organisasi itu meleburkan diri menjadi Nahdlatul Syubban (Kebangkitan Pemuda). Tahun 1931, dibentuklah Persatuan Pemuda Nahdlatul Ulama (PPNU) dan pada 14 Desember 1932 nama itu diubah jadi Pemuda Nahdlatul Ulama (PNU). Namun atas saran KH Wahab Hasbullah, nama itu diganti menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), yang mengacu pada keteladanan kalangan Ansor di Madinah yang menjadi pembela utama Nabi Muhammad Saw (Anam, 1990). Dalam kongres II ANO yang berlangsung di Malang pada 21-24 Maret 1937, dibentuklah Barisan Ansor Nahdlatoel Oelama (BANOE) yang kelak disebut Barisan Ansor Serbaguna (BANSER). Berdasar petunjuk KH Hasyim Asy’ari berdasar kaidah umum dalam Islam, maka pelajaran yang diberikan di organisasi BANOE meliputi baris-berbaris, lompat dan lari, angkat besi, tali-temali, morse, mendirikan kemah, PPPK, pacuan kuda, melempar lembing (Keputusan Muktamar NU ke-13 di Menes, Banten pada tahun 1938).

Bertolak dari latar pembentukan BANOE inilah, saat pemerintah pendudukan Jepang membentuk PETA dan Hizbullah, kader-kader dari pesantren yang aktif di organisasi NU terutama dari BANOE dengan antusias menyambutnya. Bahkan dari kader-kader BANOE yang sudah memperoleh didikan militer modern dari tentara Jepang itu, beramai-ramai memasuki Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk pemerintah RI. Bahkan saat BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), TRI (Tentara Rakyat Indonesia) hingga Tentara Nasional Indonesia (TNI), kader-kader BANOE baik yang aktif di PETA maupun Hzbullah dan Sabilillah dan sejumlah tokoh Kiai NU menduduki posisi strategis dengan pangkat tinggi.15 Sementara tokoh – tokoh Muhammadiyah yang terjun membela Negara antara lain Kiai Edris membentuk Barisan Sabilillah dengan H.A. Bakri bermarkas dimuka YPAC (kantor Kesehatan), Mulyadi Joyomartono bersama dr. Muwardi (mati terbunuh lawan politik) membentuk “Barisan Banteng” bermarkas di Lor Stadion, turut dalam barisan ini Surono Wiroharjono dan Hadi Sunarto; Pemuda pemuda Muhammadiyah banyak tergabung pada Barisan Hizbullah yang bermarkas di Sie Dhion Hoo, sekarang gedung lowo, kidul prapatan Brengosan, Purwosari.

Menurut Letjen TNI (Purn.) Z.A Maulani, pihak militer Jepang mempersiapkan tentara PETA (Pembela Tanah Air), dengan menjadikan para kiai sebagai Komandan Batalyon (daidancho)nya, sedangkan mereka yang tidak mempunyai basis massa di pesantren atau kaum Priyayi diangkat sebagai komandan kompi dan peleton (chodancho dan shudancho). Menurutnya jumlah laskar PETA sebanyak 60 batalyon, namun menurut sebuah sumber lain (Mansur Suryanegara, 2012) mereka berjumlah 100 batalyon. Ketika pembentukan PETA disusul Hizbullah dan Barisan Sabilillah, para kiai itu hanya memimpin Hizbullah dan Sabililah saja dengan jumlah 40 Batalyon. Sedangkan Maulani menggambarkan sedikit demi sedikit kepemimpinan batalyon “diambil alih” oleh para komandan kompi non kiai tersebut ini, karena banyak para Komandan Batalyon dari lingkungan kiai itu kembali ke pesantren untuk mengajar (Gus Dur: 2006).

Pergantian para pemimpin batalyon itu, dengan sendirinya memperkuat anggapan bahwa kaum santri didesak secara ‘teratur’ dari kancah kepemimpinan oleh mereka yang tidak beraspirasi keagamaan. Seolah-olah Islam didesak oleh berbagai pihak, karena itu harus dikembangkan mental begegeg (keras kepala) untuk menghadapi desakan-desakan tersebut. Sulit bagi para perwira “non santri” untuk menerima kenyataan sejarah bahwa memang Islam sebagai ideologi politik tersendiri memiliki perjuangan tersendiri pula. Ini pula yang melatarbelakangi sifat keras kepala yang ditunjukkan para perwira santri itu, yang selalu dinilai tidak mengikuti peraturan dan selalu berbuat semaunya saja. Perlawanan para santri di masa lampau, dari Perang Aceh hingga perlawanan bersenjata Kiai Mustafa melawan Jepang di Tasikmalaya, justru menunjukkan disiplin yang sangat tinggi dari kaum santri itu. Hal ini berarti pengislaman tanah air kita berlangsung berabad-abad lamanya, dengan disiplin yang tinggi dan kemampuan mengendalikan diri yang sangat baik, sebagaimana terbukti dalam perjalanan sejarah. Dalam konteks inilah, untuk mendisiplinkan kaum santri, diperlukan kesolidan dan sinergi simpul-simpul ulama agar semangat kegamaan dalam perjuangan tetap terjaga. Simpul-simpul ulama tersebut berhasil dikonsolidasikan oleh Kiai Wahab Hasbullah dalam suatu Barisan Kiai Khos yang juga dikenal Barisan Mujahidin.

Sumber : Buku Masterpiece Islam Nusantara Hal 40-45

Mau pesan? hub

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *