Oleh : Ah. Khoirul Anam*

Saya membaca pernyataan beberapa fungsionaris PKB di media online dan media sosial terkait ditetapkannya rancangan undang-undang atau RUU tentang pesantren sbg RUU inisiatif DPR. Arah pernyataannya kira-kira begini: RUU Pesantren ini menjadi kado terindah di Hari Santri Nasional 2018.

Apresiasi dan terimakasih kita sebagai bagian dari komunitas pesantren tetap perlu diberikan kepada PKB (dan PPP?) atas inisiatif ini. Namun sebelum menyebut RUU ini sebagai kado, beberapa soalan perlu diklarifikasi dan dituntaskan.

Pertama RUU ini bukan berjudul RUU pesantren dan madrasah, sebagaimana dalam postingan ketua Umum PKB Cak Imin. Judul ini pernah dilauncing besar-besaran di gedung PBNU tahun lalu, tapi tidak gol. Tidak ada penjelasan mengenai proses politik perubahan judul ini. RUU yang kemarin ditetapkan itu tidak hanya membicarakan pesantren tetapi juga lembaga keagamaan pada agama lain, Kristen, Katholik, dll. Entah, Pak Ketum dkk dlm postingannya tidak tahu atau sengaja mengelirukan (kelirumologi) sebagai RUU Pesantren dan Madrasah. Nyatanya, yang diketok di DPR kemarin adalah RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.

Kedua, ini baru RUU, sekali lagi baru RUU, dan RUU tidak mesti gol sebagai UU. RUU Perkawinan, misalnya sebagai penyempurnaan dari UU Perkawinan 1974 sudah diisukan selama beberapa tahun (sekitar 2013 sampai 2015) dan telah masuk prolegnas tapi hingga saat ini belum ditetapkan sebagai UU dan sekarang pembahasannya sudah tidak terdengar lagi.

RUU pesantren dan penddikan keagamaan ini baru diketok sebagai RUU inisiatif DPR. Selanjutnya RUU diserahkan kepada pemerintah untuk dimintakan DIM (daftar inventaris masalah). Masyarakat yang akan memberikan masukan diarahkan menyampaikan langsung kepada pemerintah. Setelah di-DIM barulah RUU ini dibahas bersama. Masih ada bbrp tahapan proses.

Ketiga, masih banyak catatan dan problem dalam RUU ini, baik dari sisi keterkaitan pasal/ayatnya maupun substansinya, khususnya yang terkait dengan pesantren.

Setidaknya RUU ini perlu dicermati dari tiga hal: 1)Bagaimana posisi kesetaraan pesantren dalam RUU ini, atau bagaimana pengakuan pemerintah terhadap pesantren. 2)Bagaimana RUU benar-benar memelihara kekhasan pesantren sebagai lembaga keilmuan tertua di Nusantara, bukan mengintervensi dan membuat standar-standar yang memberatkan atau mengganggu eksistensi pesantren. 3)Apakah pesantren bisa mengakses pendanaan dari alokasi dana dinas pendidikan di berbagai daerah.

Tiga detil persoalan ini harus dipelototin betul pasal-perpasal dan ayat-perayatnya (sambil minum kopi) di sela-sela eforia hari santri. Jangan sampai ketika RUU ini ditetapkan tahun sidang 2018 ini, kalangan pesantren akan menyesal kemudian. Masalahnya dampak dari UU pesantren ini nanti belum dirasakan pada masa-masa Pilpres 2019 nanti, shg tetap bisa menjadi bahan kampanye. Tapi pada tahun-tahun berikutnya masalah baru akan muncul karena UU ini nanti masih menyisakan PR berupa peraturan-peraturan turunannya untuk bisa diterapkan.

Soal pengakuan pemerintah misalnya, masih ada bunyi beginu: bahwa “Lulusan pada jenjang pendidikan pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui dengan pendidikan formal lainnya setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi ketentuan peraturan perundang-undangan.” Ini artinya diakui, tapi tidak diakui.

Soal kekhasan pesantren misalnya, RUU ini berkali-kali mengatakan akan memelihara kekhasan pesantren, tapi pada beberapa ayatnya RUU ini sibuk melakukan standarisasi. Selain soal kekhasan, para politisi di kalangan pesantren pasti tahu, bahwa banyak pesantren didirikan dengan serba keterbatasan untuk membantu negara dalam menyelenggarakan pendidikan. Jadi pesantren sesungguhnya sudah membantu tugas pemerintah “mencerdaskan kehidupan bangsa” tapi kemudian pemerintah mengatur-ngatur pesantren sesuai standar ketat pemerintah sendiri.

Soal pendanaan, bukan berarti kita meragukan kemandirian pesantren. Itu sudah tidak perlu dibahas lagi. Dari dulu pesantren sudah mandiri. Masalahnya, ini ada dana besar 20% APBN, ratusan triliun tapi tidak bisa dipakai oleh pesantren. Atau bahasa ngenesnya: Pesantren TIDAK BOLEH mengakses dana pendidikan yang ditransfer ke di dinas pendidikan daerah.

UU Sisdiknas 2003 (dulu Cak Muhaimin Iskandar yang memegang palu sidangnya) menyisakan PR Besar buat pesantren dan madrasah. Dua institusi pendidikan ini diakui keberadaannya sebagai lembaga pendidikan di Indonesia tapi tidak bisa mengakses dana pendidikan di dinas pendidikan yg besar itu. Soalnya adalah: pesantren dan madrasah dinyatakan masuk ranah agama yg tdk bisa diotonomikan shg tdk berhak dapat dana pendidikan daerah. Jika ada guru ngaji dapat bisyaroh kecil2an, itu bukan dari dana pendidikan tapi dana bantuan sosial, dan biasanya hanya di musim kampanye.

Jadi detil 3 masalah di atas masih perlu dibicarakan dengan seksama. Saran saya, kadonya jangan kita terima dulu, kita intip2 dulu. 🙂

(,,,,,,—masih bersambung insyaallah)

*Penulis adalah kandidat Doktor Program Hukum Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *