Oleh : Zainul Milal Bizawie (Sejarawan, penulis buku Masterpiece Islam Nusantara)

Mewujudkan dar Islam secara paripurna adalah suatu proses panjang dan harus terus dicita-citakan. Namun, begitu upaya itu menemui jalan buntu, mewujudkan dar sulh  secara paripurna menjadi tugas utama. Hal ini berdasarkan kaidah fiqh (legal maxim) yang berbunyi ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh, yang berarti apa yang tak mungkin terwujud seluruhnya, tidak boleh ditinggalkan yang terpenting (di dalamnya). Secara keseluruhan, tentu wujud formal negara Islam yang semula diharapkan, tetapi dengan lahirnya Republik Indonesia, harus diterima yang terpenting di dalamnya, yaitu adanya negara yang memungkinkan kaum muslimin melaksanakan ajaran agama mereka secara nyata. 

Pada perkembangannya, dar Islam tersebut termanifestasi dalam NKRI. Konsekunesi dari menganggap wilayah nusantara sebagai dar Islam dalam pengertian fiqh siyasah adalah para pejuang yang membela tanah air itu masuk kategori mati syahid, bukan mati konyol, presiden RI sah hukumnya mengangkat hakim agama, dan umat tidak perlu hijrah ke negeri Islam lainnya karena wilayah ini bukan dar harb. Dalam konteks penerimaan Pancasila, ini juga tidak perlu dipertentangkan karena Pancasila itu sudah bagian dari dar Islam dalam pengertian fiqh siyasah klasik.

KH Ahmad Siddiq (Rosis Am PBNU 1984-1991) menegaskan bahwa kata dar Islam bukanlah sistem politik atau ketatanegaraan, tetapi sepenuhnya istilah keagamaan (Islam), yang lebih tepat diterjemahkan wilayatul Islam (daerah Islam) bukan negara Islam. Motif utama dirumuskannya pendapat ini adalah bahwa di wilayah Islam, kalau ada jenazah yang identitasnya tidak jelas non Muslim, maka harus diperlakukan sebagai Muslim. Di wilayah Islam, semua penduduk wajib memelihara ketertiban masyarakat, mencegah perampokan dan sebagainya.

Meskipun demikian, untuk membangun masyarakat Islam, penjajah harus disingkirkan. Inilah mengapa ketika mempersiapkan negara bangsa, saat pertama kali datang Laksamana Maeda Pimpinan tertinggi tentara Jepang 1943, menanyakan siapa yang bisa menjadi pemimpin tertinggi negeri ini untuk diajak berunding dengan Jepang. Dengan tegas Syekh Hasyim Asyari menjawab bahwa yang pantas memimpin bangsa ini ke depan adalah Soekarno, seorang tokoh nasionalis terkemuka. Karena itu juga, ketika umat Islam sudah memiliki kemampuan untuk jihad perang, maka Syekh Hasyim Asyari mengeluarkan Resolusi Jihad sebagai bentuk dari menjaga Indonesia sebagai dar Islam yang sedang mengalami dar harb. Dar harb sebagai wilayah kewajiban berjihadnya juga dibatasi radius 94 KM dari tempat musuh, selebihnya dalam kategori dar sulh atau dar salam (daerah aman). Seluruh wilayah nusantara menjadi dar sulh ketika pengakuan kedaulatan RI.

Keputusan Muktamar NU tahun 1936 tidak atas pertimbangan ideologis, tapi dengan kebebasan dan fiqhiyah (Gus Dur, 1989). Pandangan soal tokoh yang layak memimpin bangsa Indonesia juga menunjukkan bahwa Islam tidak perlu diideologikan dalam negara. Islam tidak perlu diideologikan, negara itu ideologinya nasionalistik, ideologi yang nasionalistik itu adalah Pancasila. Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia telah disepakati dan diterima sebagai pedoman hidup bersama yang mengikat semuanya dalam menjalankan hidup bermasyarakat, beragama dan bernegara. Maka menjadi penting memahami pancasila dan hubungannya dengan Indonesia sebagai dar Islam.

Oleh karena itu, penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. Jadi dalam hal ini, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (Muktamar NU XXVII tahun 1984 di Situbondo, Munas NU tahun 2012 di Cirebon).

DENGAN DEMIKIAN, Islam yang komponen dasarnya ‘aqidah dan syari’ah, punya korelasi erat dengan politik dalam arti yang luas. Sebagai sumber motivasi masyarakat, Islam berperan penting menumbuhkan sikap dan perilaku sosial politik.

Implementasinya kemudian diatur dalam syari’at, sebagai katalog-lengkap dari perintah dan larangan Allah, pembimbing manusia dan pengatur. Islam dan politik mempunyai titik singgung erat, bila keduanya dipahami sebagai sarana menata kebutuhan hidup manusia secara menyeluruh. Islam tidak hanya dijadikan kedok untuk mencapai kepercayaan dan pengaruh dari masyarakat semata. Sering dilupakan bahwa Islam dapat menjadi sumber inspirasi kultural dan politik. Pemahaman terhadap term politik secara luas, akan memperjelas korelasinya dengan Islam.

Syari’ah Islam mencakup juga tatanan mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan berbangsa, misalnya tergambar dalam tatanan syari’at tentang berkomunitas (muasyarah) antar sesama manusia, juga mengenai kehidupan bernegara. Dalam ajaran Islam, pemenuhan keadilan dan kesejahteraan merupakan keharusan bagi suatu pemerintahan -tak perlu berlabel Islam- yang didukung oleh masyarakat. Rasulullah sendiri sebenarnya memberikan syarat, bahwa kekuasaan memang bukan tujuan dari politik kaum muslimin. Rasulullah sendiri mencanangkan usaha perbaikan budaya politik atau pelurusan pengelolaan kekuasaan dan menghimbau kaum muslimin terutama ulama dan para elite politiknya untuk menjadi moralis politik.

Hal ini memerlukan kesadaran tinggi dari kalangan politisi Islam, untuk dapat menumbuhkan semangat baru yang relevan dengan perkembangan kontemporer dalam corak dan format yang tidak berlawanan dengan moralitas Islam. Cara-cara tradisional dengan mengeksploitasi emosi massa pada simbol-simbol Islam, harus ditinggalkan. Yang lebih penting justru adalah mengorganisir kader politik muslim yang lebih lentur dan punya cakrawala luas. Serta punya kejelian menganalisis masalah sosial dan politik, agar pada gilirannya kelompok politisi Muslim tidak selalu berada di pinggiran.

Peran ini sangat bergantung pada keluasan pandangan para elite Islam sendiri, kedalaman memahami Islam secara utuh, sekaligus keluasan cakrawala orang di luar kekuatan politik Islam dalam melihat potensi dan kekuatan moral Islam dalam mengarahkan proses kehidupan bangsa untuk mencapai keadilan dan kemakmuran yang dicita-citakan. Memang upaya ini tidak begitu mudah dan mulus, karena masih cukup banyak kendala di kalangan kaum muslimin sendiri.

Karenanya, hubungan antara agama dan negara tidak dibenarkan bersifat manipulatif, dalam arti agama membenarkan apa yang diingini negara. Agama juga tidak dapat difungsikan sebagai suplementer terhadap kerangka acuan pemikiran yang dikembangkan oleh negara. Pemisahan wewenang fungsional antara agama dan negara ini tidak berarti bahwa negara kita adalah negara yang murni sekuler, selama ia masih memberlakukan wawasan keagamaan dan mengembangkan spiritualitas keagamaan dalam batas-batas wewenang fungsionalnya, seperti dalam memberikan pelayanan keagamaan, menyelenggarakan pendidikan agama, menghindari hal-hal yang berlawanan dengan ajaran-ajaran umum agama. Jika pun terjadi proses sekularisasi dalam kehidupan bernegara dalam pelaksanaan pemisahan  fungsional seperti itu, tidak dengan sendirinya negara kita lalu bersifat sekuler.

Kejelasan ini perlu dirumuskan lebih jauh, karena ketakutan akan hilangnya aspek-aspek keagamaan dari kehidupan pemerintahan kita itulah yang justru menimbulkan kebutuhan semu  untuk melakukan formalisasi fungsi keagamaan dari pemerintah di bidang keagamaan, sesuatu yang menyalahi prinsip negara  damai (dar sulh) yang dianut oleh faham ahlus sunnah wal-  jamaah mengikuti mazhab Syafii, yang diikuti mayoritas kaum  muslimin di negeri ini. Benarkah negara lalu menjadi sekuler, jika  ada pemilahan wewenang antara pemerintah dan masyarakat dalam soal-soal keagamaan dan kenegaraan? Sekularisasi dalam arti pemilahan wewenang seperti itu harus dibedakan secara tajam dari  sekularisme ataupun situasi sekuler, karena dalam sekulerisme tidak ada hubungan sama sekali antara agama dan negara (Gus Dur, 1989).

Sikap menerima kehadiran Republik Indonesia sebagai  dar Islam dalam situasi dar sulh yang harus ditaati dan dibela sebagai kewajiban agama, kita justru harus aktif memikirkan bentuk-bentuk hubungan yang layak antara Islam dan negara di masa datang. Aspek-aspek hubungan itu akan berkembang terus, karena pemerintah atau negara bagaimanapun juga harus melakukan langkah-langkah pembangunan, yang bagaimanapun juga tidak mungkin menghindarkan diri dari dampak positif atau negatifnya atas kehidupan beragama. Sedangkan pola kehidupan beragama juga akan mengalami perkembangan, yang mau tidak mau akan membawa pengaruhnya sendiri atas kehidupan berbangsa dan bernegara. Refleksi terus-menerus akan hal itu akan membuat perkembangan yang terjadi tidak menjauhkan agama dari negara, dan sebaliknya.

Situasi dar sulh adalah situasi yang penuh vitalitas, sehingga ia akan mampu menjawab banyak tantangan zaman, jika ia dimengerti dengan baik dan dikembangkan dengan penuh kejujuran sikap. Yang diperlukan adalah upaya terus-menerus untuk mencari konsensus melalui kepemimpinan yang beragam.  Dalam situasi dar sulh, seperti Republik Indonesia saat ini, tidak ada pihak yang dapat memaksakan fatwa atas ummat. Berbeda dengan situasi dar harb seperti ketika perang kemerdekaan. Sebagai dar Islam, Indonesia yang baru berdiri saat itu memerlukan fatwa atas ummat untuk berjihad seperti Resolusi Jihad, menyatukan langkah mengusir musuh yang ingin menguasai Indonesia lagi.

Baca juga : Menegaskan Hubungan Islam dan Negara (1) : Refleksi Harlah NU Menjelang Satu Abad