Al-Imam Abi Al-Mawahib Abdul Wahhab bin Ahmad Asy-Sya’rani, yang lebih kita kenal dengan sebutan Imam Sya’rani lahir pada tanggal 27 Ramadhan tahun 898 H di salah satu desa di Mesir. Hidup dalam keadaan yatim, sebab ayahnya wafat saat beliau berumur 10 tahun.

Al-Imam Sya’rani dikenal oleh kalangan santri sebagai Sufi yang beguru kepada Sayyidi ‘Ali Al-Khawwas. Kitab-kitab beliau yang sering dibaca dan juga tersebar adalah buku-buku tasawwuf. Namun sebelum ke-sufian belum dikenal, beliau terlebih dahulu mendalami ilmu zhahir dengan sangat dalam. Dalam kitab Lathaif Al-Minan beliau bercerita:

Diantara nikmat yang Allah berikan kepada ku, dan saat itu aku masih kecil, adalah mampu untuk menyelesaikan hafalan Al-Quran saat aku masih berumur 8 tahun. Aku juga senantiasa menjaga shalat 5 waktu tepat waktu dan tidak pernah melupakan kewajiban tersebut, kecuali satu kali, saat aku sedang berada dalam perjalanan menuju Hijaz, aku melupakan shalat zuhur hingga masuk waktu ashar. Sebelum aku sampai ke usia baligh, Aku juga sering kali mengkhatamkan Al-Quran dalam satu rakaat.

Diantara nikmat yang Allah berikan kepadaku, adalah kemampuan untuk menghafal banyak kitab. Pertama, aku menghafal kitab Matan Abi Syuja’, dan Jurumiyyah, kemudian aku mengaji keduanya kepada saudaraku Syekh Abdul Qadir setelah ayah ku sudah wafat.

Kemudian aku menghafal kitab Minhaj karya Imam Nawawi, kemudian Alfiyyah Ibnu Malik, kemudian At-Taudih karya Ibnu Hisyam, kemudian Jam’u Al-Jawami, kemudian Alfiyyah Al-‘Iraqi, kemudian Talkhis Al-Miftah, kemudian Nazham Syatibiyyah, kemudian Qawaid Ibnu Hisyam, dan kitab-kitab lainnya. Aku menghafal semua Kitab ini hingga aku faham kesamaan setiap susunan kalimat yang ada.

Semangat aku semakin naik, aku akhirnya menghafal Kitab Al-Raudh ringkasan dari Kitab Raudhah Imam Nawawi, karena isinya yang sangat lengkap tentang pendapat Mazhab Imam Syafi’i. Aku menghafalkannya hingga bab Al-Qadha ‘Ala Al-Ghaib. Namun, aku sudah muthalaah Kitab tersebut dari awal hingga akhir sebanyak 100 kali. Aku juga membaca syarahnya setiap kali aku tidak faham.

Suatu hari, aku bertemu dengan Syekh Ahmad Bahlul, beliau berkata kepada ku: “sekarang saatnya kamu menyibukkan diri dengan Allah. Apa yang kamu ketahui sudah cukup.” Mendengar hal itu, aku pun bermusyawarah dengan beberapa guruku, mereka menasehati: “jangan sesekali kamu memasuki thariqat kecuali setelah kamu mampu menjelaskan semua pelajaran yang telah kamu hafal dihadapan para Syekh. Jika kamu sudah faham dengan dalam, maka saat itu kamu masuk thariqat. Para guru kami semuanya, adalah orang-orang yang berhasil mengumpulkan antara keilmuan dan penerapan (amal).”

Diantara nikmat yang Allah berikan kepada ku, adalah aku mampu untuk menjelaskan semua hafalan Kitab yang sudah tersebutkan di atas di hadapan 50 Syekh.

Aku mengaji kepada Syekh Al-Muhaddits Aminuddin kitab Syarah Minhaj karya Imam Al-Mahalli. Beliau begitu faham rahasia Kitab tersebut, sebabnya karena beliau belajar dari beberapa murid penulis Kitab tersebut, antara lain; Al-Fakhr Al-Maqdisi.

Saat mengaji Kitab tersebut, aku muthalaah kitab-kitab karya Imam Adzra’i, Imam Al-Isnawi, Imam Zarkasyi, Imam Subki, aku juga membaca Kitab Al-Umdah karya Imam Ibnu Al-Mulaqqin, kitab Syarah Ibnu Qadhi Syubhah, Kitab Syarah al-Raudh karya Imam Zakariya Al-Anshari. Semua yang aku peroleh dari Kitab tersebut aku tulis di lembaran kertas, sehingga mirip seperti hasyiah yang jumlahnya lebih banyak dari ukuran Kitab yang aku kaji. Kemudian aku bacakan semua catatan ku kepada guruku.

Aku juga mengaji kepada beliau Syarah Jam’u Al-Jawami’ karya Imam Mahalli yang disertai juga dengan Hasyiah Kamaluddin bin Abi Syarif. Aku ngaji juga Syarah Alfiyyah Al-‘Iraqi karya Imam As-Sakhawi. Aku juga mengaji Kitab Syarah Ibnu Aqil atas Alfiyyah Ibnu Malik, ditambah aku juga membaca Syarah Taudhih Karya Syekh Khalid Al-Azhari, aku juga baca Syarah Al-Makudi, Syarah Ibnu An-Nazhim, Syarah Ibnu Abi Qasim, Syarah Syawahid karya Imam Al-‘Aini, kemudian aku tuliskan catatan tambahan atas Kitab Ibnu Aqil dan aku bacakan semuanya di hadapan guru.

Aku juga mengaji kepada beliau Kutub As-Sittah, Al-Ghailaniyyat, dan Musnad Ibnu Humaid, dan banyak kitab lainnya. Beliau juga mengijazahkan kepadaku seluruh riwayatnya. Sanad beliau tinggi, beliau meriwayatkan dari Al-Hafidz Ibnu Hajar.

Aku juga mengaji kepada Syekh Al-‘Allamah Syamsuddin Al-Dawakhili, beliau seorang Faqih yang Sufi, ahli Ushul Fiqih, ahli ilmu Nahwu dan sangat tajam pembahasannya. Aku mengaji Kitab Syarah Al-Irsyad karya Ibnu Abi Syarif kepada beliau, ditambah dengan membaca Syarah Al-Bahjah karya Syekh Zakariya, Syarah Al-Irsyad karya Al-Jaujari, Kitab Al-Qut, Kitab Al-Tawassut, Kitab Al-Fath semuanya karya Imam Al-Azra’i.

Aku juga mengaji kepada beliau Syarah Al-Raudh hingga bab Jihad, aku pun jatuh sakit dan tidak sempat lagi mengkhatamkannya. Namun aku khatamkan kepada guru yang lain. Saat membaca Kitab itu juga membaca Kitab Al-Khadim, Kitab Al-Qut dan semua sumber yang menjadi referensi penulis Kitab tersebut, aku juga meneliti kutipan yang beliau tulis, dan kemudian aku tulis lanjutan dari setiap kutipan yang ada. Hingga catatan ku pun menjadi sangat banyak, bahkan lebih besar dari Kitab asalnya.

Aku juga mengaji kepada beliau Syarah Alfiyyah Ibnu Malik karya anak penulis, juga Syarah Al-Taudih karya Shekh Khalid, juga Kitab Al-Muthawwal beserta beberapa Hasyiahnya, juga Syarah Alfiyyah Al-Iraqi, juga syarah jam’u Al-Jawami, dan kitab-kitab yang lain.

(Kemudian beliau menyebutkan beberapa nama gurunya, antara lain: Syekh Syamsuddin Al-Samanudi, Syekh Syihabuddin Al-Masiri, Syekh Nuruddin Al-Mahalli, Syekh Nuruddin Al-Jarihi, Syekh Nuruddin Al-Sanhuri, Mula ‘Ali Al-‘Ajmi, Syekh Isa Al-Akhnai, dengan Kitab yang dikaji tidak jauh berbeda dengan yang telah disebutkan diatas.

Imam Sya’rani juga menyebutkan bahwa ia mengaji kepada Imam Al-Qasthalani sebagian besar Syarah Shahih Al-Bukhari dan beberapa bagian dari kitab Al-Mawahib Al-Laduniyyah. Beliau juga mengaji kepada Syekh Majli, Syekh Shalahuddin Al-Qalyubi, Syekh Nuruddin Ibnu Nashir, Syekh Sa’duddin Al-Dzahabu, Syekh Syihabuddin Al-Hambali, Syekh Burhanuddin Al-Qasysyandi, dengan kitab yang dikaji tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya disebutkan).

Melanjutkan kisah yang diceritakan oleh Imam Sya’rani:

Aku mengaji kepada guru besar, Syekh Al-Islam Zakariya Al-Anshari Kitab Syarah Risalah Al-Qusyairiyah karya beliau, Kitab Mukhtasar Al-Muzani, Kitab Adab Al-Bahts, Kitab Syarah At-Tahrir, Kitab Syarah Al-Raudh hingga bab Al-Jizyah, Kitab Lubb Al-Ushul, Kitab Tafsir Al-Baidhawi, ketika aku ngaji Tafsir ini, beliau juga mulai menulis Hasyiah atas Kitab tersebut.

Saat Syekh Zakariya mulai menulis Syarah Shahih Al-Bukhari, aku sibuk membacakan beliau Kitab Fathul Bari, Kitab Umdah Al-Qari, Syarah Al-Barmawi, Syarah Al-Kirmani, Kitab Irsyad A’s-Sari.

Ketika aku mengaji Syarah Al-Raudh, aku membaca Syarah Al-Muhadzzab, Kitab Al-Khadim, Kitab Al-Qut, Kitab syarah al-Minhaj, Al-Mathlab dan Al-Kifayah karya Ibnu rif’ah, dan aku teliti seluruh referensi yang digunakan penulis. Syekh Zakariya adalah guru yang paling berpengaruh dalam keilmuanku, aku mengaji bersama beliau selama 20 tahun lamanya.

~~

Terakhir, Imam Sya’rani menyebutkan nama Syekh Syihabuddin Al-Ramli, beliau mengaji fiqih dengan kitab-kitab yang tidak jauh berbeda dengan yang telah disebutkan diatas. Dengan cara yang sama pula; beliau saat mengaji juga membaca banyak Kitab dan menulis catatannya di kertas hingga catatan yang beliau tulis lebih besar ukurannya dari pada ukuran kitab yang dikaji.

Melihat kemampuan membaca yang luar bisa yang dimiliki oleh Imam Sya’rani, Imam Ramli terkejut dan berkata: “awal permulaan ilmu kamu adalah puncak keilmuan yang lain, saya belum pernah melihat orang yang diberikan kemampuan membaca sebanyak apa yang kamu baca.”

Menurut penuturan Imam Sya’rani, beliau mampu membaca satu jilid besar Kitab Al-Khadim secara sempurna dalam jangka waktu satu hari satu malam. Dengan ini ungkapan Imam Ramli sangatlah tepat.

Kisah yang diceritakan diatas adalah perjalanan intelektual Imam Sya’rani sebelum fokus mengaji ilmu tasawuf kepada Sayyidi Ali Al-Khawwas. Kisah ini juga menunjukkan bahwa tasawwuf harus berlandaskan dan dibentengi dengan ilmu.

~~

Diringkas dan diterjemahkan dari Kitab Lathaif Al-Minan Hal 138-146 Jilid 1.

~~

Fahrizal Fadil

2 September 2021, Kairo.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *