Saya “gagal paham” dengan mereka yang berbicara Maqashid tidak pada tempatnya: Mengkritik hukum partikular seolah bersebrangan dengan Maqashid dan menabrak maslahat. Padahal, sependek yang saya tahu:

Pertama, Maqashid ada yang bersifat umum dan khusus. Maqashid yang bersifat umum adalah tujuan pensyariatan dari sebuah hukum yang dapat dipraktikkan pada semua hukum yang sudah ada. Terhadap kategori pertama inilah istilah “Maqashid Syariah” kemudian merujuk. Sedang Maqashid yang bersifat khusus, berarti tujuan dari pensyariatan sebuah hukum dalam bab tertentu—dalam kerangka pembahasan tertentu. Raisuni menambahkan ada Maqashid yang bersifat partikular (juz’iy), yaitu tujuan dari pensyariatan hukum tertentu dalam kerangkanya yang sangat spesifik. Pengerucutan ini lebih spesifik pada hukum-hukum fikih secara aplikatif, semisal, mengapa disyariatkan talak, warisan, nikah, dan seterusnya. Khusus untuk kategori ketiga, yang banyak menyibak dan masuk di wilayah ini adalah para pakar fikih.  

Kedua, bahwa Maqashid Syari’ah adalah hikmah dari sebuah hukum (hikmat al-hukm) yang telah ditetapkan oleh Allah dalam skala global. Maka, apabila hukum fikih merupakan realitas yang partikular (haqaiq juz’iyyah), maka Maqashid merupakan pijakan umum yang merajut pecahan-pecahan partikular yang berbeda-beda sehingga bisa berjalan satu arah. Semua hikmah Allah ketika mensyariatkan hukum, baik itu skala global maupun spesifik, adalah mendapatkan maslahat dan menghindari madarat. Dengan demikian, Maqashid Syari’ah sebenarnya berorientasi pada upaya untuk mendapatkan maslahat dan menghindari kerusakan. Yang membedakan hanya pada skala global dan spesifiknya saja. 

Sebagai contoh, menjaga jiwa merupakan hal yang dikehendaki oleh Tuhan (maqshudun li al-syari’). Ia merupakan asal yang universal-umum, yang diambil dari nash secara induktif (istiqra’). Di antara contoh kasus partikular yang dikemukakan Syathibi: Allah melarang membunuh jiwa, orang yang membunuh dihukum Qishash, pembunuhan termasuk perbuatan yang masuk dalam ancaman Allah, ia termasuk dosa besar yang disejajarkan dengan syirik, mengantisipasi kematian orang yang terjepit keadaannya, wajibnya zakat dan membantu orang yang tidak mampu, kewajiban Hakim, jaksa dan raja untuk mengatur ini semua, tentara diatur dan digaji untuk memerangi pembunuhan, wajib bagi orang yang takut akan kematian untuk mengantisipasi agar tidak sampai terjadi, baik itu dengan yang halal maupun haram, entah itu dari bangkai, darah maupun daging babi. 

Contoh kasus dari nash-nash partikular ini menunjukkan pada kita bahwa Allah menghendaki untuk melindungi jiwa. Dan menjaga jiwa merupakan asal yang pasti (ashlun qath’iy). Ia tidak ditetapkan dengan satu dalil tertentu, tapi dengan banyak dalil dari bab yang berbeda-beda. 

Ketiga, jika Maqashid dibagi pada yang umum, khusus dan partikular, maka maslahat akan mengikuti Maqashid pada kerangka umum, khusus dan partikularnya. Maslahat ditentukan oleh Allah selaku pembuat hukum: bukan ditentukan oleh akal individu maupun akal kelompok. Hal ini diutarakan bahkan oleh bapak Maqashid sendiri. 

Syathibi mengatakan, “jika akal bisa berjalan seperti nash, maka syariah bisa dianulir/dibatalkan dengan akal. Hal ini jelas tidak mungkin. Penjelasannya, karena syariah membatasi perkataan maupun perbuatan mukallaf serta keyakinan mereka. Maka, jika akal mampu menembus satu batas saja dari syariat, berarti ia juga bisa untuk menembus semua batas. Karena segala hal yang terealisasi pada satu model, bisa terealisasi pada yang sejenisnya. Jika ia bisa melewati satu batasan syariat, ia berarti menganulir: batasan ini tidak benar menurut akal. Jika bisa melewati satu batas, berarti juga berlaku untuk sisa batas yang lain. Tentu saja tak ada yang berani mengatakan ini karena nampak jelas keadaannya”. 

Jadi, hukum fikih itu adalah “dalil dalil kecil’ yang merangkai maqashid dalam kerangka umumnya. Kok bs malah dikatakan bertentangan dg Maqashid?

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *