Siapa santri Tebuireng yang tak kenal dengan KH. Syansuri Badawi. Prilaku, uswah, jiwa semangat dan keilmuan intlektual beliau masuk ke dalam jiwa sanubari santrinya. Fatwa dan pesannya masuk di hati mereka. Langkah politiknya dengan politik mardhotan lillah adalah sebagai uswah bagi para santri Tebuireng yang terjun di dunia politik. Kealiman dan kharismanya beliau juga diakui berbagai kalangan. Ini dapat diliihat dari kiprahnya yang luas pada lingkungan masyarakat lokal maupun nasional.
Kelahiran
KH. Syansuri Badawi lahir pada tahun 1918 M di kota Majalengka, dari pasangan Kyai Badawi (Majalengka) dan Nyai Hamiyah (Cirebon). Dari garis ibu beliau masih punya hubungan kerabat dengan Habib Syaikh (Jaga Satru Cirebon). Beliau memiliki saudara perempuan dan tiga saudara kandung, yaitu: Kyai Syafi’i (alm), Kyai Suja’i (alm) dan Ahmad Fathurrazi (sekarang tinggal di Seblak). Keempat saudaranya sempat nyantri di Tebuireng kepada Hadratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.
Pendidikan
Dalam perjalanan studinya, pertama-tama beliau ditempa dan dibimbing oleh kedua orang tuanya untuk mempelajari dasar-dasar pokok agama Islam, seperti membaca Al-Qur’an, belajar tata cara shalat, puasa, dan lain sebagainya. Sejak kecil beliau tak lepas dari pola kehidupan santri. Hal inilah yang akan membentuk kepribadian beliau menjadi insan yang alim, tawaddu’ dan arif. Setelah menginjak dewasa beliau nyantri di pondok pesantren Babakan Ciwiringin Cirebon yang saat itu diasuh oleh Kyai Amin yang terkenal dengan sebutan “Kyai Madamin”. Slah satu sumber mengatakan bahwa beliau pernah nyantri di salah satu pesantren di kota Solo.
Setelah mendalami ilmu di Cirebon beliau berkeinginan untuk mengembangkan ilmunya kepada maha gurunya kyai Jawa, yaitu Hadrotusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Karena secara historis Cirebon dan Tebuireng memiliki ikatan yang kuat. Maka tak heran jika Syansuri muda dan saudara-saudaranya melanjutkan studinya di Tebuireng. Beliau datang di Tebuireng sejak zaman penjajahan Belanda sekitar tahun 1930-an. Syahdan, ketika beliau belajar dari Cirebon ke Tebuireng dengan berjalan kaki sungguh perjuangan yang luar biasa. Tirakat dan perjuangan ketika tholab ilmi seperti inilah yang akan memaniskan ilmu yang akan didapat.
Di Tebuireng, beliau dididik langsung oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Di antara kitab-kitab yang beliau pelajari adalah Sohih Bukhori, Sohih Muslim, Tafsir Al- Baidlowi, Al-Muhdzab, Fathul Wahhab, Ihya al-Ulum ad-Din, Al-Mahally, dan lain- lain. Menurut KH. Makinuddin, ketika KH. Syansuri belajar di Tebuireng, beliau sudah memiliki bekal ilmu yang cukup banyak dan matang dari pesantren sebelumnya, sehingga ketika di Tebuireng beliau hanya mengembangkan ke-ilmuan yang telah didapatkan dari pesantren sebelumnya.
Ketika nyantri di Tebuireng beliau tidak seperti santri lainnya yang hanya fokus ngaji, belajar, dan menimba ilmu, akan tetapi karena dalam hal ekonomi mengalami persoalan, maka beliau berdagang kecil-kecilan, untuk menutupi persoalan ekonominya. Namun, kondisi itu tidak membuat spirit Kiai Syansuri kendo tetapi sebaliknya, justru hal itu malah melecutkan tekad beliau yang semakin berkobar-kobar dalam menuntut ilmu, agar kadar keilmuan beliau tak kalah dengan santri yang lainnya.
Menurut KH. Johari Sidroh, pada tahun akhir 1930-an beliau sudah dipercaya oleh Hadrotusy Syikah untuk mengajar para santri. Ini menandakan bahwa beliau sudah diakui ‘alim oleh KH. Hasyim As’ary. Mungkin sebab dipercaya gurunya untuk mengajar di Tebuireng, beliau enggan pulang dan memilih mengabdikan total jiwanya untuk pesntrean almamaternya, hingga beliau dipanggil Allah. Hal ini diikuti oleh saudara kandungnya, Kyai.Fathur Rahman.
Keluarga
Untuk menyempurnakan setengah agamanya beliau menikah sebanyak tiga kali, yang pertama dengan Hj. Hannah. Sepeninggal Hj. Hannah, beliau menikah lagi dengan Hj. Safinatun. Sepeninggalnya, beliau menikah lagi dengan Hj. Khosyiyah sampai akhir hayatnya. Istri kedua dan ketiga tidak meninggalkan anak. Kini Beliau meninggalkan beberapa putra dan cucu, di antaranya: Mahmudi, Afifah, Sholahuddin, Ibu Zahro dan Ibu Kholid Ali yang sekarang bertempat di dekat ndalem Beliau. Dan pada masa-masa tuanya, Kyai Syansuri menempati rumahnya yang berada di desa Ampel Gajah, Ngoro, Jombang, hingga beliau wafat.
Untuk menafkahi keluarganya, Kyai Syansuri mengisi disela-sela kesibukannya mengajar dengan berwirausaha. Beliau pernah memproduksi kerupuk, berdagang ke luar kota dan lainnya. Hal itu dilakukannya tanpa harus mengorbankan visi dan misi perjuangannya. Karena tipe beliau seorang pekerja keras, banyak jalan usaha yang sudah dilakukannya untuk menafkahi keluarganya.
Meneruskan Tradisi Khataman Shohih Bukhori-Muslim
Sudah sejak lama Kyai Syansuri meneruskan tradisi khataman kitab Shohih Bukhori dan Muslim yang dibacanya saat bulan Ramadan, bahkan ketika beliau sudah di Jakarta (menjadi anggota DPR RI). Beliau termasuk generasi ketiga Qori’ Kitab Sohihain, yang mana beliau meneruskan dari KH. Idris Kamali. Setelah beliau udzur karena sudah sepuh, tradisi ini sempat diteruskan oleh Gus Ishom Hadzik, akan tetapi hanya satu kali khataman, yaitu membaca kitab Sohih Muslim, sekitar tahun 1998 an. Selanjutnya tradisi ini dilanjutkan oleh murid Kyai Syansuri, yaitu KH. Habib Ahmad dari Perak. Sekarang yang melanjutkannya adalah KH. Kamuli Khudhari yang juga muridnya Kyai. Syansuri, dikarenakan KH. Habib Ahmad sudah udzur sepuh.
Dikisahkan ketika beliau ngaji kitab Sohih Bukhori dan Muslim, pengajian yang dimulai setelah sholat Tarawih, hingga menjelang waktu sahur, itupun diingatkan oleh santrinya. Sungguh jiwa beliau dipenuhi oleh cinta ilmu, hingga waktupun sampai lupa. Juga, ketika beliau mengaji, gaya duduk beliau tidak berubah-ubah, tetep dengan keadaan sila, walaupun pengajiannya menghabiskan waktu yang cukup lama. Seakan-akan beliau itu tidak ada capeknya ketika mengajar. Ada joke di kalangan santri, “Niru duduknya saja tidak mampu, apalagi niru ilmunya”.
Selain mengajar dua kitab babon tersebut, Kyai Syansuri juga mengajar berbagai kitab di pesantren Tebuireng, seperti kitab Ihya Ulumiddin, Al-Mahlli, Fathul Wahab, Al-Muhadzab, Al-Qulyubi, Tafsir Al-Baidlowi, Asybah wa Nadoir, dan lain sebagainya. Adapun waktunya, pengajian ini dilaksanakan setelah salat magrib dan setelah salat subuh. Selain mengajar di Masjid pesantren, beliau juga mengajar di Madrasah Salafiyah Syafiyah Tebuireng, dengan mata pelajaran Fathul Muin, Ilmu Faroid, Al-Luma’, dan Asybah wa Nadoir.
Di mata beliau, ngaji adalah hal yang utama dan itu adalah makanan pokok santri. Beliau sangat tidak suka dengan santri yang puasa-puasa tirakat, sehingga menyebabkan ketika ngaji ngantuk dan tidak fokus. Beliau pasti marah jika ada santri yang seperti itu. Thoriqohnya beliau itu Ta’lim dan Ta’allum, ini yang beliau pegang sampai akhir hayat. Dikisahkan oleh putranya, ketika Kyai Syansuri masih menjabat DPR, suatu saat beliau sakit, sehingga beliau minta pulang ke Tebuireng untuk mengajar, dengan mengajar itu sakit beliau langsung sembuh. Ngajar sebagai obat sakitnya orang yang cinta ilmu.
Dan di antara hal yang sulit ditinggalkan Kyai Syansuri adalah mutolaah kitab sebelum mengajar. Walaupun beliau sudah Alim Allamah, beliau tidak pernah meninggalkan mutola’ah kitab. Walaupun penulis yakin, seandainya beliau langsung mengajar kitab yang baru dikenalnya, pasti beliau langsung bisa mengajarkannya. Akan tetapi hal seperti ini beliau tinggalkan. Thoriqoh Mutolaah sebelum mengajar yang beliau pilih.
Menurut Cholidi Ibrar, ketika menjadi kiai di Tebuireng, beliau menjadi layaknya seorang motivator ulung yang selalu bisa membuat para santri termotivasi dan terbangun semangatnya. Hal itu bisa diketahui ketika beliau menjelaskan suatu materi, beliau juga menarasikan ulama-ulama terdahulu. Mulai dari keilmuan, ketekunan, dan karomah para ulama tersebut. Tidak satu atau dua kali, Kiai Syansuri mengulang-ulang kisah keteladanan dari para ulama seperti Imam Syafi’i dan Imam Ghzali. Bahkan seringkali cerita beliau dan motivasinya jauh lebih menarik dan daripada materi yang sedang dikaji. Tetapi yang terpenting adalah para santri akhirnya lebih termotivasi untuk selalu belajar lebih giat agar menjadi seperti ulama-ulama terdahulu.
Murid
Kyai Syansuri adalah sosok yang mampu mencetak murid-murid yang handal dan berlabel nasional bahkan internasional. Ini dilihat dari banyak santri beliau yang lulus dari Perguruan Tinggi di dalam dan luar negeri -dan ada yang sebagian bergelar doktor dan professor-; juga ada yang menjadi ulama; menjadi pengusaha; menjadi politikus dan aktifis nasional; dan lain-lain. Seperti, KH. Ma’ruf Amin (Wakil Presiden), Prof. Dr. Ali Mustafa Ya’qub (Mantan Imam besar masjid Istiqlal), KH. Lukman Hakim (Pimred Majalah Sufi), KH. Musta’in Syafi’i, KH. Farid Zaini (Pengasuh pesantren Al-Munawwaroh), KH. Habib Ahmad, KH. Kamuli Khudhari, dan lainnya.
Karamah
Memang tampak pada diri Kyai Syansuri, beliau merupakan pendidik sejati dan juga cinta terhadap ilmu pengetahuan. Beliau juga sosok yang selalu dekat kepada Allah. Sehingga Allah menurunkan FadolNya kepada beliau. Selain sosok yang dekat kepada (kekasih) Allah, Kyai Syansuri juga seorang yang ahli ilmu agama atau ulama. Imam As-Syafi’i pernah berkata,”Kalau Fiqh yang mengamalakan ilmunya itu bukan wali Allah, niscaya Allah tidak memiliki wali”.
Diantara karomah beliau, seperti yang diceritakan oleh Kyai. Mustaqim Askan, suatu hari Tebuireng hujan lebat dan pada saat itu juga jadwal pengajiannya Kyai Syansuri. Semua santri yang berada di masjid menduga bahwa pengajian ini akan libur. Akan tetapi tak disangka beliau datang dengan mengenakan jubah putih menuju ke masjid tanpa memakai payung. Anehnya, jubah dan kitabnya pun tidak basah. Kisah ini banyak disaksikan banyak santri.
Syahdan, ketika di masa penjajahan Jepang yang dikenal sangat kejam sekali, lebih kejam dari pada Belanda. Bahwa suatu hari tentara Jepang melakukan operasi mencari tokoh-tokoh pesantren, yang menurut mereka bisa membahayakan kedudukan kolonial di Indonesia. Saat tentara Jepang menyusur rumah KH. Syansuri Badawi, Beliau berubah menjadi kecil dan masuk di dalam botol. Jadi ketika Jepang mencari-cari Kyai Syansuri di kediamannya, Jepang tidak menemukannya. Itulah diantara karomah Kiai Syansuri dan masih banyak karomah beliau.
Karya-karya
Salah satu dari semangat beliau dalam ta’lim wa ta’allum yang harus dicatat adalah keaktifannya dalam mengembangkan khzanah islam, terlebih dalam dunia literasi. Kyai Syansuri adalah termasuk kyai yang memiliki tradisi menulis. tradisi menulisnya ini mungkin tumbuh dari tradisi membacanya yang kuat, dan uswah yang sudah diajarkan oleh gurnya Hadrotus Syiakh KH. Hasyim Asy’ari yang aktif menulis, sehingga menghasilkan 20 lebih karya. Beliau juga senantiasa aktif membaca buku dan mutholaah kitab. Yang mana, kitab tersebut disarikan dan dijadikan refrensi karya-karya beliau. Maka tak heran jika karya yang beliau ciptakan memiliki nilai dan berbobot yang tinggi. Dari karya-karya beliaulah, beliau baca karya tersebut di bulan Ramadhan –ketika sudah udzur sepuh– dan sebagian menjadi Muqoror di Madrasah Salafiyah Syafi’iyyah dan UNHASY. Diantara karya beliau:
*Ushul Fiqh, karya beliau ini sudah ditahqiqdan dita’liq oleh Dr. Johari Sidroh (Murid Kyai. Syansuri dan guru senior di Pesantren Tebuireng);
*Ilmu Faroidl, karya beliau ini sudah karya beliau ini sudah ditahqiqdan dita’liq oleh salah satu mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari;
*Ahwal Asy-Syahsiyah(Munakahat), masih berupa tulisan tangan.;
*Al-hadits.
Jabatan dalam Pendidikan Formal
Kyai Syansuri pernah menjadi kepala sekolah madrasah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng, baik tingkat Tsanawiyah maupun di tingkat Aliyah. Beliau juga pernah menjadi wakil pengasuh pesantren Tebuireng, yaitu wakil dari KH. Yusuf Hasyim. Karena semasa KH. Yusuf Hasyim menjabat sebagai pengasuh Tebuireng beliau sibuk di Jakarta. Jadi beliaulah yang menjalankan roda kepemimpinan di Tebuireng dalam bidang tarbiyyah wa ta’lim. Beliau juga lama menjadi rektor UNHASY dari tahun 1985 hingga tahun 1997. Kyai Syansuri juga termasuk tipe orang yang teguh dalam menjalankan syariat Islam. Dikisahkan, ketika ada mahasiswa dan mahasiswi UNHASY yang ketahuan berbincang-bincang dengan lawan jenis, tak segan Kyai Syansuri langsung melemparkan bakiaknya, dan kemudian menasihatinya.
Kyai Syansuri juga salah satu penggagas berdiarinya Pagar Nusa. Pada waktu itu dunia pencak silat di pesantren semangkin luntur. Beberapa kyai mulai khawatir surutnya persilatan di pesantren, yang mana itu merupakan warisan walisongo. KH. Suharbillah (Surabaya) gelisah dan menemui Kyai Syansuri atas keprihatinan para kiai-kiai yang menyaksikan surutnya Persilatan di pesantrean. Kemudian KH. Suharbillah dan Kyai Syansuri sepakat untuk menemui KH. Abdullah Maksum Jauhari, Lirboyo untuk berdiskusi mengenai keberlanjutan dan perkembangan persilatan di kalangan warga NU, khususnya di pesantren. Pada 27 September 1985 di pesantren Tebuireng para ulama sepuh dan kaum pendekar, untuk meggodok konsep wadah pencak silat NU. Karena menurut Kyai Syansuri bahwa,”mempelajari silat hukumnya boleh, dipelajari dengan tujuan perjuangan”. Dari muncul fatwa Kyai Syansuri ini lah disepakati untuk dibentuknya suatu ikatan bersama untuk mempersatukan berbagai aliran silat di bawah naungan NU.
Jabatan Politik
Pada tahun 1987, Kyai Syansuri memutuskan menjadi calon anggota DPR/ MPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Keputusan ini merupakan proses melawan arus besar di internal NU, yang mana saat itu terjadi aksi penggembosan terhadap PPP. Akibatnya, beliau sempat berseberangan dengan pengasuh Pesantren Tebuireng, KH. Yusuf Hasyim.
Beliau pernah menduduki anggota DPR dan MPR dari partai PPP selama dua periode (periode yang kedua tidak sampai tuntas selesai). Hal menarik dari cara ber-politiknya beliau adalah memiliki pandangan politik yang tegas. Menurut beliau politik harus dibedakan, politik yang diridai Allah, yang berpihak pada keadadilan, kebenaran, dan haq. Dan politik yang berpihak pada kezaliman, dan yang menurutnya bathil. Beliau mungkin satu-satunya anggota DPR RI yang ketika sidang memakai sarung saat anggota lainnya memakai jas atau safari.
Dikutip dari Koran kompas (edisi, 27 Juni 1987) ketika beliau ditawari seseorang untuk menggunakan hal-hal yang kotor dalam berpolitiknya, dan dengan tegas beliau menolaknya dan berujar, “Saya itu sudah tua, sebentar lagi akan mati. Saya membulatkan tekad untuk menjadi wakil rakyat sebagai ibadah saya, bukan karena uang”. Memang dari awal beliau sangat konsisten dengan haluan politiknya, yaitu politik yang diridhoi Allah yang berpihak pada keadadilan dan haq, tidak berihak kepada kebatilan dan kedholiman.
Nasihat-nasihatnya
“Wahai santri Tebuireng semua, ente-ente semua jadilah santri yang hebat, santri yang terbaik di manapun ente berada. Besok kalau ente pulang ke daerah ente masing-masing “gemparkan (kebaikan)” tempat ente itu dengan kehadiran ente, bahwa ente adalah Tebuireng”
“Jadilah manusia seperti garam. Selalu menjadi penyedap disetiap masakan meski sedikit. Tapi jangan jadi manusia layaknya lalat, yang disana sini selalu terusir”
“Santri-santri Tebuireng ente kalau sudah lulus dari Tebuireng ente harus menggebrak atau mewarnai di mana kalian berada”
“Kalau ngaji Sohih Bukhori tidak mau berjuang, lebih baik pulang sekarang, tak perlu ikut ngaji Sohih Bukhori…! Kalau hidup sekedar untuk makan dan kawin, Kitab Mujarrobat aja cukup…!”.
من تعلم بغير رياضة فقد حرم
“Orang belajar tanpa riyadoh/tirakat akan terhalang”
Akhir Hayat
Kematian pasti akan menjemput semua hal yang bernyawa. Akan tetapi jika yang wafat adalah seorang ulama, langit dan bumi seisinya pasti akan merasakan kehilangan dan kesedihan. Pada hari selasa, 15 Februari tahun 2000 pukul 08.30, KH. Syansuri Badawi wafat meninggalkan kita semua di rumahnya di desa Ampel Gajah, Ngoro, Jombang.
Penyebab wafatnya beliau yaitu karena penyakit yang beliau idap selama ini. Yaitu penyakit diabetes, seperti yang dituturkan salah seorang putri almarhum, Ibu Nyai. Afifah. Menurut putrinya beliau di saat menjelang akhir hayatnya, masih tampak sehat. Tidak ada gejala penyakit diabetesnya kambuh. “Pagi hari sebelum meninggal, buya masih sempat meminta maaf pada keluarga lalu tidur,” ujarnya.
Beliau dimakamkan pukul 13.30 di kompleks makam Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an, Tebuireng, Jombang. Makam almarhum berdekatan dengan makam KH. Yusuf Mashar (pendiri Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an). Hadir dalam pemakaman antara lain, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Yusuf Hasyim, Ketua Robithah Ma’ahid Islami (RMI) KH Aziz Masyhuri, juga dihadiri, mulai para kiai, santri, murid, birokrasi, politisi, dan masyarakat umum.
رحمه الله تعالى ونفعنا بعلومه ومؤلفاته واسكنه واسع جنانه امين
Referensi :
Badawi Syansuri, Johari Sidroh (Ed.). 2004. Ushul Fiqh. Jombang: Majlis Ilmi
Badawi Syansuri, Ibnu Muhammad Tho’at (Ed.). 2020. Ilmu Faroidl. Jombang
“KH Syansuri Badawi Tutup Usia”. Dalam Kompas, Rabu, 16 Februari 2000. Surabaya
Koran Kompas, edisi 27 Juni 1987. Jakarta.
Wawancara dengan Kyai Mustaqim Askan pada 23 Februari 16.42
Wawancara dengan KH. Musta’in Syafi’i pada 3 Sya’ban 1441 H.
Pernah dimuat di ulamanusantaracenter.com/mengenal-lebih-dekat-kh-syansuri-badawi/
No responses yet