Hari Senin, 26 Oktober 2020, diperingati haul Allahu Yarham, KH Abdul Hamid, Pasuruan ke 39. Seorang kiai besar dan masyhur di zamannya. Mengenai derajat kewaliannya, Kiai Ahmad Mustofa Bisri, atau Gus Mus bahkan menyebut kewalian beliau dengan Mutafaqun alaih, artinya semua ulama sepakat akan kewalian Mbah Kiai Hamid.
Banyak cerita dan literatur yang menuliskan tentang karomah, kealiman dan akhlak luhur Mbah Kiai Hamid yang tiada banding; santun, penuh kasih sayang dan rendah hati (Tawadhu’). Anda bisa googling dan akan menemukan banyak mutiara hikmah dan samudra uswah dari penggalan kisah kehidupan beliau.
________
Saya memang belum pernah bersinggungan langsung dengan Kiai hamid. Saya mulai mengenal beliau saat mondok di Tremas. Waktu itu ibu saya memindahkan saya dari Ndalem (KH Haris, Tremas) ke Asrama Al-Ausath, yang dulu dikenal dengan sebutan pondok tengah dan konon beberapa kiai besar pernah tinggal di gothaan (kamar/asrama) yang dikenal dengan Blok A tersebut. Salahsatu kiai besar itu adalah Abdul Mu’ti, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Mbah Kiai Abdul Hamid, santri dari pesisir utara (Rembang) yang kemudian menetap di Pasuruan.
Di kemudian hari, saya juga menemukan sebuah buku wirid salawat ibu saya dari Kyai Hamid. Ijazah salawat itu didapat saat sowan ke Pasuruan bersama kakak saya. Selain silaturahim, ibu saya bermaksud memohonkan maaf atas ketidak sopanan anaknya yg sering jedal-jedul sowan Kiai Hamid. Bagi ibu saya, apa yang dilakukan anaknya dianggap ora dugo, mengingat Kiai Hamid adalah sosok kiai besar, waliyulloh, dan tentu saja maqamnya jauh dengan kakak saya; seperti langit-bumi, bahkan lebih dalam lagi, baina sama’ wa sumur.
Tapi begitulah, kita tak bisa mengukur seseorang dari sisi lahiriyah saja. Ibu saya berani sowan juga karena mengajak anak sulungnya itu. Semua berawal dari cerita seorang kiai di Jawa Timur. Dulu, kiai itu setiap sowan Mbah Kiai Hamid selalu gagal dan tak pernah ditemui, sampai akhirnya bertemu kakak saya dan tanpa sengaja mengajaknya sowan. Di luar dugaan Kiai Hamid menerima, bahkan membawanya masuk kamar. Entah apa kemudian yang dibicarakan.
Sejak itu, kakak saya jadi sering sowan, terutama bila ada kiai atau gus yang ingin sowan Mbah Hamid. Salahsatu yang minta diantar sowan adalah Gus Mamuk. Mungkin waktu itu dalam rangka penyusunan buku Pondok Tremas dan Perkembangannya. Dan sepulang dari Pasuruan, kedua sejawat itu membawa “jimat” berupa sarung pemberian Mbah Kiai Hamid.
Apa komentar kakak saya tentang Mbah Kiai Hamid?
“ Karamahnya luar biasa. Sulit menemui yg sebanding dg Mbah Hamid.”
Cukup singkat. Hanya kata-kata itu yang keluar untuk menggambarkan karomah dan kewaliannya. Apa dan siapapun akan tertunduk bila berada di hadapannya. Nur yang menerangi wajah teduhnya tidak membuat silau tapi memaksa orang tertunduk hormat, dan tak kuasa menatap sorot matanya yang seakan mampu menembus lahir-batin orang yang dilihatnya.
Lahul fatihah.
No responses yet