“Suk kabeh wong bakale mlebu islam, lek wis ngono Gusti Allah bakal nyabut ilmu kelawan nyabut nyowo ulama’e”

“Kelak semua orang akan masuk islam, saat itulah Allah akan mencabut ilmu dengan menyabut nyawa ulama’-ulama’nya”
(KH. Maimoen Zubair)

Pesan ini disampaikan Syaikhina Maimoen Zubair saat sowan terakhir pada tanggal 16 Juli 2019 silam. Saat itu di siang hari kami datang ke Pondok Pesantren Al-Anwar, Karangmangu, Sarang, Rembang. Saat itu tamu begitu berjubel, awalnya kami harus menunggu di luar ndalem. Namun karena tempat kosong di rumah sederhana beliau yang berada di depan musholla pesantren, maka kami pun meski harus duduk bersimpuh di atas tikar.

Di antara banyak dhawuh-dhawuh yang beliau sampaikan adalah sebagaimana kami tulis diatas. Bahwa Mbah Moen dengan memprediksi bahwa kelak orang akan berbondong-bondong masuk islam. Namun di tengah euforia itu justru Allah SWT akan memanggil kekasih-kekasih-Nya untuk berpulang ke Hadirat-Nya sebagaimana hari ini kita saksikan begitu banyak ulama yang telah meninggal dunia di saat kita begitu mengharap petuah dan doa mereka.

Petuah Mbah Moen diatas, setidaknya disitir dari sebuah Hadist Rasulullah SAW sebagai berikut:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا قَالَ الْفِرَبْرِيُّ حَدَّثَنَا عَبَّاسٌ قَالَ حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ هِشَامٍ نَحْوَهُ (رواه بخاري)

“Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan”. (HR. Bukhari)

Wasiat diatas seakan juga menjadi pertanda bahwa guru kita KH. Maimoen Zubair, akan kembali ke pangkuan Allah SWT. Dan ternyata terbukti, setahun silam di tengah jama’ah haji bersiap menuju Arafah untuk wukuf, Allah SWT memanggil kekasihnya tersebut untuk pulang ke hadirat-Nya. Saat dikabarkan beliau wafat pada hari ini setahun silam (jika dihitung dari kalender Masehi maka haul beliau tepat satu tahun wafatnya beliau). Saat itu kami berada di geladak kapal di pelabuhan Belawan Medan, setelah sebelumnya menghadiri MTQMN XVI di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh dan berkunjung ke Pesantren Faidhul Qurro’ asuhan Qori’ Internasional KH. Fadhlan Zainuddin di Deli Serdang, Sumatera Utara.

Berita tersebut bak petir menyambar, sungguh air mata pun tak kuasa berlinang mengingat saya yang belum pernah mondok di Al-Anwar, namun begitu takjub pada kealiman seorang Mbah Maimoen Zubair. Dari tiga kali sowan ke beliau, kami sudah berniat untuk ngaji pasanan di Sarang pada bulan Ramadhan kemarin. Namun apa daya beliau telah dipanggil oleh Allah SWT di kota kelahiran Rasulullah SAW yang telah dicita-citakan olehnya. Dan untuk mendoakan beliau bersama puluhan jama’ah di musholla kapal, kami menunaikan sholat ghoib.

Maka untuk mengganti niat ngaji kepada Mbah Moen di Sarang, kami terpanggil untuk ngaji di Pondok Pesantren Lirboyo pada bulan Ramadhan. Sebelumnya kami sempat makam Kyai Abdurrahim bin Nurohim, ayahanda Mbah Manab yang pusaranya tak jauh dari Candi Borobudur, Magelang. Karena terdorong semangat untuk menelusuri sejarah Mbah Manab, maka saya putuskan untuk ikut ngaji pasanan di pesantren yang sudah berdiri satu abad lebih ini karena Mbah Moen adalah alumni Lirboyo saat masih diasuh KH. Abdul Karim atau yang lebih dikenal dengan Mbah Manab. Dikisahkan bahwa Mbah Moen mendapat futuh ilmu dengan bertemu Nabi Khidlir AS saat sedang nyantri di Lirboyo.

Beberapa bulan yang lalu, KH. Baha’uddin Nur Salim atau dikenal dengan Gus Baha’ juga sempat mengisi ceramah di Pondok Pesantren Al-Mahrusiyyah, Lirboyo bersama Gus Reza Ahmad Zahid. Saat itu beliau menyampaikan salah satu wasiat Mbah Moen
“Anak putuku senajan sak wulan tahu ngajio nang Lirboyo”
“Anak cucu santriku (termasuk santri) meski hanya sebulan ngajilah ke Lirboyo”.

Ada salah satu keunikan saat Mbah Moen mengaji di Lirboyo kata Gus Baha’, yakni saat di Sarang, Mbah Moen sempat mengaji kitab Syuduruds Dzahab fi Nahwi karya Ibnu Hisyam, dimana saat itu beliau ngaji kepada abah beliau Mbah Zubair hanya dapat separuh saja. Kemudian saat berpindah nyantri di Lirboyo, entah mengapa Mbah Manab juga mengaji kitab meneruskan batas akhir persis yang dikaji Mbah Zubair. Jadi Mbah Moen tidak perlu mengulang ngaji lagi. Padahal saat itu belum ada alat komunikasi yang bisa menghubungkan antara Mbah Zubair dan Mbah Manab.

Gus Baha’ sendiri suatu ketika pernah mendampingi Almaghfurlahu Gus Majid Kamil Maimoen salah satu putra Mbah Moen untuk ngaji pasanan di Lirboyo. Saat itu Lirboyo beliau sempat mengaji kepada KH. Imam Yahya Mahrus, yang tak lain adalah ayahanda dari Gus Reza Ahmad Zahid. Kyai Imam Yahya sendiri adalah salah satu santri generasi awal di Pondok Pesantren Al-Anwar yang didirikan oleh Mbah Moen.

Meski beliau sudah sepuh, Mbah Moen sendiri yang memasukkan uang untuk menjadi bisyaroh bagi masyayikh Lirboyo saat itu seperti KH. Idris Marzuqi, KH. Anwar Manshur, KH. Imam Yahya, KH. Kafabihi Mahrus, KH. Ma’shum Jauhari dan lain-lain. Inilah bentuk ketawadluan dari seorang Mbah Moen kepada almamaternya, dan rasa hormat kepada dzurriahnya meski mereka jauh lebih muda dan ada yang masih terhitung muridnya.

Maka bertabarruk dengan apa yang telah dilakukan Mbah Moen, maka pada bulan Ramadhan kemarin alfaqir ikut santri pasanan di Lirboyo. Meski hanya sekelumit ilmu yang saya dapatkan namun keberkahan ilmu Lirboyo saya rasakan sampai sekarang. Salah satunya adalah bisa bermimpi berjumpa Habib Lutfi saat tidur di Masjid Lawang Songo, Lirboyo di jeda pengajian Shahih Bukhari dan kemudian bisa berjumpa langsung di kediaman beliau di Pekalongan pada bulan Ramadhan silam dan mendapatkan amanah untuk menelusuri Jejaring Guru-Guru Al-Qur’an di Nusantara.

Kisah selengkapnya bisa disimak di Mimpi Bertemu Habib Luthfi

Semoga isyarat sekaligus wasiat Mbah Moen diatas dapat menjadi pelecut generasi santri mendatang untuk dapat melanjutkan estafet dakwah para masyayikh kita yang telah berpulang ke Rahmatullah. Mati satu tumbuh seribu, kematian beberapa ulama semoga menjadi ibrah agar muncul generasi ulama pejuang Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang menebar cahaya islam Rahmat Lil Alamin.

Balikpapan, 6 Agustus 2020

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *