Siang setelah duhur kemarin, saya naik sepeda motor dengan Javed dan Dimitry. Sampai di tengah kota, tatapan mata Dimitry yang belum sarapan melihat penjual siomay.

Saya berhenti dan tertarik katanya beli 500 rupiah boleh. Saya nyeletuk guyon, “Beli 500 rupiah untuk tiga orang, Pak?” Eh dia bilang, “Inggih monggo.” Mungkin kalau benar beli 500 rupiah saya hanya dapat satu biji siomay. 

Sambil menyiapkan untuk kami bertiga (sepi gak ada pembeli) dia saya ajak ngomong. Poinnya, dia harus bangun jam tiga malam (mungkin tahajudan) lalu pagi pergi ke pasar belanja dan dilanjutkan memasak siomay. Selanjutnya pada jam 11.30 mendorong gerobak untuk  jualan menuju tempat mangkalnya. Biasanya sampai jam 5 sore.

Dia mangkal di depan sekolah. Kalau sebelum pandemi, murid murid sekolah masuk, dia bisa untung bersih 100 ribuan. Tapi saat ini untung bersih 50 ribuan saja. Ya 50 ribu rupiah untuk membiayai anak satu dan istri juga satu tentunya. Itu semua dilakukan sejak pagi sampai sore.

Namun yang menarik adalah ucapan dia masalah banyak dan sedikit tergantung cara memandang rezeki. Ucapan wong cilik yang nriman, tidak neko-neko dan pasti bijak. 

Saat saya tanya apa dilarang jualan? Katanya, kalau dilarang ya dia mau tidur di pendopo kabupaten saja untuk meminta jatah harian bagi anak dan istri.

Selesai makan siomay, saya  tancap motor lurus ke selatan melewati rel kereta api dan menjumpai masjid bagus sekali, kalau gak salah  UAS pernah berceramah di situ. Entah siapa pengelola masjid itu saya tidak mampir.

Saya terus lurus ke selatan sampai di desa  Keras, Diwek tempat makam Mbah Kiai Asy’ari (ayah Kiai Hasyim Asy’ari). Desa Keras di sekitar lokasi makam sampai sekarang masih banyak tetumbuhan ala kampung nan asri dan segar. Apalagi di makam Mbah Asy’ari yang dikelilingi makam umum juga pepohonan bambu. 

Sebagai informasi singkat, Mbah Asy’ari adalah menantu Mbah Usman Gedang, dan Mbah Usman adalah menantu Mbah Sechah (pendiri pondok Tambakberas). Mbah Asy’ari sempat hidup di Gedang (lokasinya hanya beberapa jangkah dari gubuk saya). Setelah beliau menikah dengan putri Mbah Usman (Nyai Halimah/Nyai Winih) dan melahirkan Kiai Hasyim, lalu  pindah ke Keras hingga wafat.

Kepada para sesepuh yang disebut di atas, lahumul Fatihah.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *