Suku Tengger merupakan salah satu suku besar di bumi Nusantara ini. Suku Tengger banyak hidup di pegunungan Tengger yang terdiri dari 3 gunung (Semeru, Bromo, Penanjakan) yang membelah 4 kabupaten (Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang). Suku Tengger dalam sejarahnya merupakan pelarian orang Hindu setelah kerajaan Majapahit runtuh akibat Perang Paregreg dan serangan dari Kerajaan Demak, dimana saat itu mereka banyak yang tidak memeluk agama islam, berpindah ke tiga lokasi yakni Tengger, Blambangan (Banyuwangi) dan ke pulau Bali. 

Desa Ngadiwono, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan ini merupakan salah satu kampung suku tengger yang berada di kaki gunung Bromo. Letaknya sekitar 45 KM dari pusat kota Pasuruan atau 57 KM dari Kota Malang. Panorama di desa ini cukup menyenangkan, dimana pepohonan menjulang, rerumputan yang menghijau, ladang-ladang perkebunan yang indah tertata, air yang begitu jernih ditambah udara dingin yang begitu menyegarkan sungguh memanjakan mata siapa yang memandang, terlebih kami yang banyak berkutat di perkotaan. Mengunjungi desa untuk kedua kalinya setelah sebelumnya bertandang kesini pada 5 Desember 2016 silam menjadi sebuah nostalgia akan keindahan alam serta keharmonisan hubungan umat beragama di desa yang dihimpit perbukitan ini.

Di dusun Krajan, Desa Ngadiwono yang berada di ketinggian sekitar 1600 dpl (diatas permukaan laut) ini saja hidup sekitar lebih dari 700 keluarga yang mayoritas bermata pencahariaan di ladang dengan menanam kubis, kentang atau palawija. Dari data yang disampaikan Pak Slamet Mulyo, Kepala dusun setempat mayoritas agama yang dianut warga desa ini adalah hindu dengan prosentase mencapai 80%, sementara islam 17% dan selebihnya beragama kristen. Seperti di sederet rumah tempat kami menginap hanya rumah bapak Mulyono, Kepala dusun ini yang islam, selebihnya Hindu. 

Bahkan di desa sebelah, Wonokitri dengan populasi terpadat se-kecamatan tosari dengan jumlah  penduduk mendekati 1000 KK (kepala keluarga), umat islam tak lebih dari 28 KK saja. Di sekitar dusun ini tidak akan ditemukan masjid ataupun musholla, untuk melaksanakan sholat jum’at masyarakat muslim harus turun ke pusat desa yang cukupjauh jaraknya.

Meski begitu keharmonisan hubungan umat beragama terjalin erat disini, dengan budaya toleransi yang cukup tinggi. Dibuktikan tidak adanya gesekan antar masyarakat, mereka bertetangga bergaul tanpa dipisahkan sekat agama, dan saling berbagi satu sama lain seperti saat perayaan ibadah agama mereka. 

Terdapat fakta menarik, bahwa warga setempat banyak yang muallaf (masuk islam) karena perkawinan atau perkawanan, seperti yang dialami Pak Slamet yang sebelumnya beragama Hindu kemudian saat menikah dengan gadis muslim dia memeluk islam sampai 2 putra putrinya dikirim ke Pondok Pesantren Al-Yasini Pasuruan, tetapi juga sebaliknya banyak juga umat muslim yang keluar dari islam disebabkan minimnya sentuhan islam di desa ini atau karena pengaruh pergaulan. Di dalam islam sendiri memang telah dijelaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama, sebagaimana Allah SWT telah berfirman

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ 

Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam)(QS. Al-Baqarah: 256)

Di Desa Ngadiwono ini setiap tahunnya menyelenggarakan berbagai perayaan dan upacara keagamaan. Menurut Pak Tono, warga setempat terdapat berbagai ritual baik sifatnya keagaaman dan adat, seperti yang hari ini masyarakat lakukan yakni ritual tamping. Tamping adalah ritual menebar sesajen di patmasana perempatan atau pertigaan jalan. Patmasana sendiri adalah arca dari bebatuan yang diletakkan di pinggir jalan atau depan rumah umat Hindu untuk tempat sesajen. Hal ini juga banyak penulis jumpai di Bali dan Kota Mataram, Lombok.

Pak Satui, warga lain juga menyebutkan bahwa ritual ini sudah ada sejak jaman nenek moyang mereka yang dilakukan setiap jumat legi. Hal ini agar Danyang Banyu Baurekso tidak menganggu warga desa. Siangnya diadakan bari’an yakni menghantarkan makanan ke pura untuk kemudian disantap bersama.

Saat perayaan Hari Raya Nyepi atau perayaan tahun baru saka, sebelum menjalani pertapaan dalam kesunyian masyarakat di rumah, pura, kamar atau gubuk di tegal, mereka akan membuat dan mengarak ogoh- ogoh atau boneka besar dari bambu, kertas gabus yang dibentuk semacam makhluk mengerikan, yang di siang harinya diarak sebelum membakarnya di malamnya. 

Pada hari Rabu esok, 30 Mei 2018 Umat Hindu akan menyelenggarakan upacara Galungan, dan Kuningan seminggu setelahnya. Saat itu mereka akan mengantarkan sesajen ke pura di berupa makanan pokok seperti ketupat dan lauknya sambil berdoa di sana. Selain itu setiap tahunnya tepatnya selama 15 hari pada Bulan Besar atau kita kenal dengan Dzulhijjah, Masyarakat Tengger memiliki budaya khas yakni Karo, saat itulah seluruh suku tengger berkumpul bersilaturrahmi ke rumah-rumah keliling dusun dan makan bersama.

Kasada atau sedekah bumi juga bagian adat dari Masyarakat Tengger  dimana mereka akan membawa palawija, atau apapun hasil jerih payah mereka untuk kemudian dilabuh ke kawah gunung bromo. Tradisi ini dilakukan setiap bulan purnama bulan syawal atau tanggal 15 kalender qomariyah. 

Meski berbeda keyakinan, masyarakat desa ini saling rukun dan menghormati satu sama lain. Harmoni antar umat beragama inilah yang harus selalu dijaga agar bhinneka tunggal ika ini bisa tetap   agar negeri ini dapat rukun damai dan sejahtera. Hal ini juga disitir dalam Al-Qur’an 

 يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚإِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚإِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 11)

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *