Jejajah Nusantara A Ginanjar Syaban di Belitung.
Menjelang sore tadi saya pergi ke Museum Tanjung Pandan, Belitung. Jaraknya tak terlalu jauh dari tempat penginapan saya. Bisa berjalan kaki sambil menikmati angin sore pesisir.
Di museum itu tidak menyimpan koleksi naskah, hanya artefak-artefak, yang kebanyakan berasal dari peninggalan harta bahari, juga peninggalan Kesultanan Balok, Kesultanan Badau, dan Kesultanan Belantu. Selain itu, ada banyak juga artefak-artefak Cina, dan sebagian dari masa kolonial.
Meski demikian, petunjuk akan keberadaan mansuskrip-manuskrip Belitung saya dapati di museum tersebut. Saya sangat yakin, Belitung ini selain menyimpan kekayaan mineral yang tertimbun di bawah tanahnya, juga menyimpan kekayaan khazanah sejarah dan manuskrip-manuskrip yang cemerlang, namun tertimbun oleh tumpukan waktu.
Di Belitung pernah ada tiga kesultanan Islam yang tidak terlalu besar. Saya katakan demikian, karena wilayahnya hanya seluas Keadipatian (Adipati/Duchy/Emirat).
Yang pertama di Badau, berdiri pada abad ke-15 akhir, memiliki genealogi dengan walisongo, tepatnya Sunan Gresik di Jawa Timur. Sultannya bergelar Ki Ageng Manyar. Nama tersebut mengindikasikan jika beliau berasal dari Gresik. “Manyar” adalah nama salah satu kawasan di Gresik.
Kesultanan kedua adalah Kesultanan Balok, yang berafiliasi dengan Kesultanan Palembang Darussalam. Kesultanan Balok didirikan sejak abad 17. Sultan2nya bergelar Cakraningrat, ada sampai gelar ke 8. Artinya kesultanan ini berlangsung sekitar 2 abad, dan menzamani masa Syaikh Abdul Shamad Palembang.
Di antara nama-nama ulama Belitung masa Kesultanan Balok adalah Syaikh Adam, Syaikh Ali, Syaikh Tamjid, Syaikh Zuhair. Semuanya bergelar Kiagus, gelar keulamaan khas Kesultanan Palembang. Sangat besar sekali kemungkinan tradisi intelektual, termasuk di dalamnya adalah penyalinan naskah dan penulisan karya, juga berkembang di wilayah kesultanan ini.
Tahun 1821, Belanda menyerbu Kesultanan Palembang dan menghapuskan negara tersebut dari sejarah. Hal ini juga berdampak pada kesultanan-kesultanan di Belitung yang punya afiliasi budaya dan jaringan intelektual dengan Palembang. Tahun 1852, John F Loudon, pedagang Belanda, mengawali pengerukan tanah Belitung, mengambil besi dan timah darinya. Loudon juga mengusulkan pembangunan pelabuhan bebas tempat kapal-kapal pengangkut hasil bumi Belitung di Teluk Balok, tempat Kesultanan Balok berdiri.
Beriringan dengan itu, sejarah kesultanan2 Islam di Belitung pun kian redup, lalu mati, dan kini terkubur, tertimbun oleh pusaran zaman
Dalam hal inilah, filolog santri harus turun gunung, juga sejarawan santri harus menggali kembali timbunan khazanah Belitung yang kaya ini.
Tanjung Pandan, Februari 2018
Alfaqir A. Ginanjar Sya’ban
Comments are closed