Berikut adalah manuskrip Syarah Matan al-Sanusi dalam ilmu Tauhid peninggalan Syaikhul Islam Syaikh Burhanuddin Ulakan Pariaman. Ini merupakan salah satu bukti bahwa ulama-ulama Minangkabau sedari awal ialah berpegang teguh di atas akidah Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah dan Maturidiyah). Kitab Syarah Matan al-Sanusi ialah kitab populer dalam ilmu Tauhid Asy’ariyah/ Maturidiyah yang dikaji di surau-surau Minangkabau, sejak Islam mulai terkembang hingga hari ini di pesantren-pesantren terkemuka.

Kandungan kitab Imam Sanusi ini, yang lebih dikenal dengan Ummul Barahin kemudian disadur dalam bentuk lokal, lalu dikenal dengan “Kaji Akidah Limapuluh” atau “Sifat Dua Puluh” yang didendangkan secara nalam di pedalaman Minangkabau. Saduran ini dan tradisi lokal “Pengajian Sifat Duo Puluah” merupakan petanda bahwa ilmu ini sudah menyatu dengan masyarakat pemangkunya. 

Inilah yang menjadi akidah ulama Minangkabau, bahkan Kaum Pembaharu awal Abad 20. Dua pionir pembaharu Minangkabau yaitu Haji Rasul dan H. Abdullah Ahmad, masing-masing menulis risalah tentang akidah Asy’ariyah, yaitu Umdatul Anam dan Ilmu Sejati. Pernah ada yang mengkritik kaji Sifat Dua Puluh, yaitu Haji Sumpur dari pinggiran Singkarak, namun kemudian bantahan yang berjudul “Nazham Sifat Dua Puluh” itu dibantah lagi oleh ulama Minang yang ‘alim, orang Minang yang pertama kali mendapat ijazah ‘alim dari al-Azhar, yaitu Syaikh Janan Thaib Bukittinggi, yang waktu itu masih bermukim di Mesir, dengan menulis risalah yang berjudul “al-Muqmatut Dhikham”, dicetak di Mesir dan tersebar luas di Minangkabau. Dalam risalah tersebut, Syaikh Janan Thaib menegaskan bahwa Kaji Sifat Dua Puluh itu ialah akidah Ahlussunnah wal Jama’ah.

Akidah ini yang kemudian dipertegas dalam “Sumpah Satia Bukik Marapalam”. Sesuai riwayat dari Maulana Syaikh Sulaiman Arrasuli al-Khalidi Canduang, seperti yang diabadikan oleh Abuya H. Baharuddin Arrasuli dalam “Ayah Kita” (1978).

********

Manuskrip/ Naskah Syarah al-Sanusi ini telah berusia lebih dari 3 abad. Dan tersimpan baik dengan sekitar 40 nuskhah peninggalan Syaikh Burhanuddin dan para khalifahnya di Ulakan.

Saya, Apria Putra “Ongku Mudo Khalis” mendokumentasikan teks ini pada tahun 2012, atas izin dari Buya Tuangku Khalifah Surau Pondok Ketek, Ulakan.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *