Lebih dari seminggu yang lalu, saya menziarahi H. Hadis Latif (lahir 1938), di kediamannya, rumah gadang bergonjong empat, di Piobang. Meski dalam kondisi kurang sehat, beliau menerima kami dengan ramah tamah; dipersilahkan naik ke rumah gadang, disambut dengan adat kesopanan yang sempurna.
H. Hadis Latief ialah salah seorang yang menjadi nara sumber penting terkait sejarah dan sosok Maulana Syaikh Mudo Abdul Qadim Belubus (w. 1957). Ada beberapa alasan mengapa beliau adalah informan penting mengenai sosok wali besar di Pedalaman Minangkabau ini, di antaranya:
1. Beliau ialah cucu lansung, dari anak pertama Syaikh Mudo Abdul Qadim. Ibunya, Fatimah yang ketika naik haji ke Mekkah berganti nama menjadi Djawahir (Hajjah Djawahir) ialah anak Syaikh Mudo pertama.
2. Ayah beliau, Darimin, yang saat di Mekkah berganti nama menjadi Abdullatif (Syaikh Haji Abdullatif) ialah salah seorang murid kesayangan Syaikh Mudo. Buktinya, ia dinikahkan dengan anak pertama beliau.
3. Masa kecil H. Hadis Latif dihabiskan bersama datuknya itu. Dengan demikian ia mengetahui betul, dan sangat dekat, dengan Syaikh Mudo, datuknya.
Siang itu, kami berbicara banyak hal. Tentu saya lebih banyak menyimak, bertanya sesekali. Menariknya, ketika beliau mulai bercerita, fisik beliau terlihat kembali bugar, seolah-olah sehat betul, padahal tengah kurang enak badan.
Beliau bercerita bahwa Syaikh Mudo Abdul Qadim Belubus ialah sosok yang lembut. Pernah satu ketika, karena sudah dalam keadaan sepuh, beliau dibawa dengan becak, oleh H. Hadis Latif yang saat itu masih remaja. Maklum, karena kondisi jalan belum baik, ditambah Hadis remaja belum begitu terbiasa membawa becak, becak itu jatuh, termasuk beliau yang sudah sepuh. Tapi, meski akibat kecerobohan Hadis remaja, Syaikh Mudo tidak marah dan memaafkan.
Menurut H. Hadis, meskipun Syaikh Mudo Abdul Qadim dikenal masyhur kiramat, namun datuknya itu tidak pernah bercerita tentang hal-hal ajaib padanya. Cuma pernah satu ketika, datuknya bercerita tentang seorang wali (antara Syaikh Batuhampar dengan Syaikh Kumango). Ceritanya begini. Satu waktu salah seorang masyarakat di situ dikabarkan wafat. Syaikh yang disebutkan tapi datang ke lokasi, dan menanyakan si-fulan. Orang-orang menjawab, ia sudah wafat. Lalu syaikh ini kemudian mengatakan: “Olun mati inyo lai, gali kubua liak.” Sesudah digali, jenazah dikeluarkan, syaikh membangunkan. Jenazah tadi bangun, mengucek mata, lalu berkata: “Eh… buya!”. Ink kisah Syaikh Mudo langsung.
Juga Syaikh Mudo bercerita kepada H. Hadis. Dulu ada orang yang hendak menguji-nguji kepandaian, dengan datang ke surau gadang Belubus. Tampilannya seperti hendak belajar, sejatinya menguji. Pas mau menguji, tanpa disadari, Syaikh Mudo sudah langsung menjepit kepala orang tersebut dirusuknya.
Ketika tinggal di Piobang, dalam keadaan sepuh juga, Syaikh Mudo masih menerima tamu yang banyak. Di antaranya meminta amal wirid, di antaranya amalan ayat ” La tudrikuhul abshar… dst”. Tukang catat ayat itu ialah H. Hadis Latif sendiri. Setelah dicatat, ditasih oleh Syaikh Mudo, lalu diserahkan pada yang meminta.
Menurut H. Hadis Latif, Syaikh Mudo ada merokok. Rokoknya ialah cerutu yang dibawa oleh murid-muridnya. Biasanya ketika beliau menghisap cerutu, dibakarkan oleh murid-muridnya, termasuk H. Hadis Latif ini. Tapi tidak sering. Mungkin faktor usia.
Syaikh Mudo adalah sosok dermawan yang tidak mementingkan harta benda. Begitu tutur H. Hadis. Ketika ayahnya, Darimin (Syaikh H. Abdullatif) ke Mekkah, mukim 6 bulan di sana, dan pulang. Sebelum pulang banyak murid-murid Syaikh Mudo yang mukim di Mekkah mengirim uang untuak Syaikh Mudo, uang yang banyak. Pekirim itu dibawa pulang. Sampai dihadapan Syaikh Mudo, uang yang banyak itu disuruh ambil saja.
Inilah diantara kisah-kisah Syaikh Mudo Abdul Qadim yang ditututkan oleh H. Hadis Latif bin Syaikh Abdullatif, minggu lalu.
Perlu juga saya kabarkan tentang sosok H. Hadis Latif ini:
1. Beliau lama menjadi petugas haji di Mekkah, tahun 1980-an, sehingga kenal dengan Syaikh Yasin al-Fadani. Tutur H. Hadis, Syaikh Yasin, dalam komunikasi masih dapat berbahasa Minang, meski agak terbata-bata.
2. H. Hadis ialah sosok pelukis ulama Minang. Beliau mempunyai kemampuan melukis yang baik, yang kecakapannya itu digunakan untuk mengabadikan wajah ulama. Salah satu ulama yang beliau abadikan ialah wajah Syaikh Kumango (bukan lukisan wajah yang tersebar diinternet sekarang).
3. H. Hadis Latif mengambil langkah Silek Kumango pada Malin Marajo bin Syaikh Kumango sebelum tahun 1959. Waktu itu Malin Marajo berkunjung ke Belubus, menemui Syaikh Mudo. Beberapa orang kemudian memanfaatkan kesempatan belajar langkah silek Kumango pada beliau, termasuk H. Hadis Latif.
*********
Suatu waktu, saat H. Hadis Latif menulis ayat “La tudrikuhul abshar…” dan memperoleh ijazahnya dari datuknya, kemudian datuknya (Syaikh Mudo) berpesan, usahakan nanti untuk Suluk. H. Hadis belum begitu memahami waktu itu apa yang i’tibar datuknya.
Saat beliau beranjak dewasa, dan suluk, salah satunya di Suayan, barulah beliau mengetahui makna perkataan Syaikh Mudo, termasuk soal ijazah wirid tadi, bahwa kesimpulannya: “Ketika sudah mufakat pengamalan syari’at dan hakikat, baru lah di situ bersuanya ilmu laduni.”
*******
Kemudian, malam ini saya berandai-andai (sebenarnya dalam agama tidak boleh berangan-angan, tapi ini sebagai kaca pengukur badan saja): “Andaikan Tuak Inyiak (Maulana Syaikh Mudo Abdul Qadim Belubus) hidup hingga hari ini, entah bagaimana beliau menilai kita-kita hari ini, yang gemar ilmu maslak tapi kosong dalam spritual. Sedangkan saat ini ujian makin berat, faham dan ajaran berupa macam, thariqat-thariqat pun beragam.”
Maka, selain “bergantung ke tali yang tidak akan putus”, madad dan rabithah, ialah buhul berpegang.
Wahai Maulana….
Saya, al-Faqir Apria Putra “Angku Mudo Khalis”
No responses yet