Kenapa Orang Tionghoa Susah diterima sebagai bagian dari jati diri sejarah bangsa Indonesia? Inilah pertanyaan yang terus menerus “menghantui” pikiran saya sejak keluar dari SMA. Saya dibesarkan dalam tradisi “santri” yang kosmopolit, bapak saya seorang guru ngaji tanpa “pesantren”. Beliau hanya seorang “santri” miskin yang tidak punya bekal untuk mondok di pesantren Meskipun hanya di dalam kota Lumajang. Kakek saya, Moestajdab (keturunan prajurit Diponegoro yang lari ke Lumajang dan “menyembunyikan identitasnya” untuk menghindari kejaran Belanda) dikenal sebagai tukang atau teknisi “serabutan” yang serba bisa. Beliau punya keahlian mendesain sebuah rancang bangun, atau bahasa kerennya seorang “disainer”. Kakek saya juga seorang ahli mesin yang cukup banyak memiliki “pelanggan” di masa kolonial Belanda dan Jepang. Bahkan sempat “dirayu” orang Jepang agar anaknya (bapak saya) yang punya bakat sama dengan kakek, bisa belajar di Jepang. Tetapi karena sejak kecil bapak hanya pingin mondok di pesantren Tebuireng, maka bapak menolak dan kakek pun senang karena akhirnya punya alasan untuk tidak mengabulkan permintaan “pelanggan” Jepangnya dengan halus.
Meskipun di sisi lain, sebagai “tukang serabutan”, kakek dan keluarganya hanya bisa hidup secara sederhana kalau tidak bisa dikatakan pas-pasan. Karena itulah kakek juga tidak bisa menuruti keinginan bapak untuk mondok karena ketiadaan biaya. Untuk menghibur bapak, kakek berpesan “Kamu tidak perlu ke Tebuireng untuk bisa alim, cukup “habiskan” saja ilmunya KH. Anas Mahfudz, kamu sudah bisa jadi ‘orang’. (KH. Anas Mahfudz, adalah satu diantara murid senior Mbah Hasyim Asy’ari yang sangat alim dan berpikiran modern. Beliau lebih suka berdakwah di pusat kota dengan mendirikan sekolah madrasah. Konon menurut bapak meskipun beberapa kali ditawari untuk mendirikan pesantren beliau lebih memilih mengembangkan madrasah. Prinsip ini pula yang kemudian dilanjutkan oleh bapak yang meskipun sempat ditawari oleh mertuanya untuk mendirikan pesantren, tetapi bapak lebih memilih untuk meneruskan perjuangan gurunya memelopori berdirinya madrasah di daerah pinggiran kota Lumajang). Akhirnya setiap hari bapak mengaji ke KH. Anas Mahfudz sambil membantu pekerjaan kakek sebagai montir.
Kepatuhan pada orang tua (kakek) dan juga kesungguhan niat untuk belajar ilmu agama, membuat bapak cepat menerima pelajaran. Hampir semua ilmu KH. Anas Mahfudz diserap oleh bapak. Sehingga dia menjadi salah satu santri kesayangan beliau. Bapak pun diminta mengajar di madrasah yang dirintis gurunya tersebut. Bahkan sang guru pulalah yang “menjodohkan” bapak dengan umi yang sebenarnya juga murid bapak sendiri di madrasah. Kebetulan sang murid berasal dari keluarga “saudagar” yang cukup mapan, yang juga menjadi “donatur” Madrasah. Sejak saat itu pula mulai banyak “santri” yang belajar di rumah kakek, untuk belajar qiro’ah kepada bapak. Bukan hanya mengurusi madrasah, bapak yang tidak pernah mengenal pendidikan formal juga diberi amanah sebagai dosen ilmu balagho ketika cabang IAIN sunan Ampel berdiri di kota Lumajang. Ketika saya (anak ke 14 nya) masih sekolah di madrasah (bapak sudah cukup berumur), masih ada santri senior yang datang mengaji kepada bapak hanya untuk menguatkan “sanad” qiro’ah nya kepada KH. Anas Mahfudz dan Mbah KH. Hasyim Asy’ari. Sebuah tradisi “khas” kaum pesantren yang terus berlanjut sampai sekarang.
Sebagai “santri” perkotaan yang ber-aliran modern, bapak terus melanjutkan perjuangan gurunya untuk membangun sekolah-sekolah Islam, mulai tingkat madrasah sampai SMA bersama dengan santri lainnya. Di antaranya bahkan bekerjasama dengan tokoh nasionalis dan juga Muhammadiyah untuk mendirikan sekolah menengah pertama Islam yang bisa menampung siswa dari semua golongan. Sekolah itu sampai sekarang masih ada dan bisa bertahan meskipun sudah sangat banyak sekolah negeri dan swasta yang lebih baik. Sejak awal sekolah ini dikhususkan untuk kalangan bawah dengan SPP yang sangat murah bahkan bisa dikatakan gratis.
Disamping sibuk merintis sekolah atau madrasah di berbagai daerah di Lumajang, bapak juga aktif dalam membangun jaringan dengan para habib dan juga kalangan Tionghoa Muslim. Meskipun patut disayangkan jejaring ini tidak bisa berkembang maksimal, komunitas orang Arab di Lumajang makin berkurang dan demikian juga dengan para Tionghoa Muslim semakin tidak eksis. Saya masih ingat, dulu bapak sering bersilaturahmi kepada Habib Muhsin di kampung Arab. Bapak juga mempunyai seorang “santri”, yang juga seorang pengusaha Muslim Tionghoa. Bapak biasa memanggil santrinya ini dengan panggilan “Kaji Sing” dan kadang juga dipanggil “Kaji Dullah”. Saya beberapa kali ikut “menemui” (karena penasaran ingin lihat) jika keluarga kaji sing ini datang bersilaturahmi ke rumah. Beliau juga dikenal sebagai pengusaha yang dermawan dalam membantu pengembangan madrasah yang ada di kota Lumajang.
Ketika menjabat sebagai pengurus Syuriah dan juga mustasyar PCNU Lumajang seringkali bapak melibatkan para Habib dan juga pengusaha muslim termasuk “Kaji Sing” untuk turut serta dalam berbagai aktivitas dakwah. Sayang aktivitas yang menguatkan silaturahmi dengan kalangan muslim Tionghoa ini kurang “berkembang” dan bahkan mulai menghilang terutama yang terkait dengan proses “penerimaan” mereka sebagai bagian utuh masyarakat bangsa. Padahal potensi muslim Tionghoa sebagai “jembatan kultural” membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap komunitas Tionghoa sebagai bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia sangat besar. Sebagaimana yang bisa terjadi pada komunitas Arab. (Bersambung) #SeriPaijo
Tawangsari 16 Oktober 2020
No responses yet