Seorang jama’ah kelompok modern mendatangi Paijo dan bercerita kalau kelompoknya bisa maju dalam mengelola perserikatan karena mereka sudah tidak lagi percaya kepada hal-hal yang berbau ghaib, tahayul, bid’ah dan churafat. Sehingga semua energi positif ummat diarahkan untuk membangun organisasi perserikatan.” Paijo tersenyum dan menimpali : “Lantas apakah kemudian perserikatan kalian yang sudah maju dan makmur itu bisa melayani ummat yang miskin dengan adil sehingga banyak orang masuk menjadi anggota perserikatan kalian?” 

Si jama’ah terdiam sejenak dan kemudian berujar:”Nah itulah Jo yang saya heran, Lembaga yang kami bangun terus “meng-elit” dan tak lagi terjangkau masyarakat klas bawah. Akibatnya justru banyak anggota kami dari klas bawah dan menengah yang sekarang mulai  masuk ke jama’ah salafy. Bahkan beberapa aset kami pun mulai dikuasai secara perlahan dan dimanfaatkan untuk menguatkan doktrin ideologi salafy di masyarakat.”

Paijo kembali tersenyum dan menimpali: “Kang begitulah kalau kita bekerja mengikuti alur akal rasional. Kita akan kecewa begitu terjebak pada logika birokrasi “rasional” yang gerak langkahnya lebih memperhitungkan resiko ketimbang “pelayanan tanpa pamrihnya. Begitu kecewa, kita akan lari ke ekstrim lain, yakni “melarikan diri” ke agama, yakni menjadi formalis. Semua menjadi sangat kaku dan kemudian tidak lagi toleran terhadap perbedaan. Kita akan sangat “bernafsu” dalam beragama, sehingga tampak begitu sangat disiplin dan “Islami”. Padahal Itu terjadi karena kita kecewa selama ini terlalu berharap banyak kepada selain Allah (yakni perserikatan/ormas/pemerintah) untuk bisa menyelesaikan persoalan atau kepentingan pribadi ataupun kelompok kita. Maka tidak perlu heran jika mereka akan mengambil peran Tuhan untuk memutuskan siapa yang benar dan salah, serta siapa yang berhak disebut paling islami dan mendapatkan kapling sorga.”

Paijo meneruskan komentarnya : “Hal Ini berbalik 180 derajat dengan kelompok “tradisional” yang masih saja kesulitan mengembangkan “perserikatannya”. Sehingga tidak  banyak fasilitas perserikatan yang dikelola secara profesional. Kalaupun ada yang maju, itu juga belum sepenuhnya “dikelola” organisasi, tetapi oleh perorangan ataupun yayasan. Karena begitu terbukanya ruang “kreatif” kelompok ini, maka orang-orang bawah dan klas menengah banyak yang bertahan dan susah pindah ke oramas lain. Kecuali sebagian kecil elit yang merasa tidak mendapatkan tempat, tetapi bersyahwat ingin tampil di depan ummat. Mereka inilah yang kemudian bergabung dengan kelompok lain. Nah begitulah kang konsekwensi jika kita berjama’ah. Karena itu kata Yuk Tin, kita tidak boleh terlalu berlebihan dalam ber”wasilah” dengan organisasi dan bahkan dengan agama. Tapi berwasilahlah dengan ahlaq mulia, hati dan pikiran terbuka dalam berorganisasi dan beragama. Sehingga kita siap hidup dalam keragaman iman, keyakinan dan ekspresi keber-agamaan” #SeriPaijo

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *