Tangerang, jaringansantri.com – Warisan keilmuan ulama nusantara yang terekam dalam naskah-naskah dan manuskrip menyimpan banyak manfaat akademis. Lebih lagi akan sangat berharga dan bernilai tinggi jika dikaji dan dipublikasikan.
Hal ini disampaikan oleh Zainul Milal Bizawie dalam diskusi buku “Mahakarya Islam Nusantara” terbitan Pustaka Compass karya A. Ginanjar Sya’ban. Diskusi ini dilaksanakan di aula kampus STISNU (Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Nahdlatul Ulama) Nusantara Tangerang. Kamis, 21 Desember 2017.
Sejarawan yang akrab disapa Gus Milal ini mengatakan “peninggalan naskah-naskah itu tidak akan berharga jiga tidak diteliti. Tidak memiliki nilai apa apa.”
“Pentingnya mengkaji adalah agar naskah-naskah karya Ulama Nusantara memiliki nilai dan bermakna, terlebih bermanfaat bagi masyarakat,” katanya.
Lebih penting dari manfaat akademis adalah manfaat bagi masyarakat. “Manfaat penelitian sebuah naskah atau manuskrip seharusnya tidak berhenti pada kepuasan intelektual, tapi juga dampak untuk masyarakat luas,” terang Gus Milal.
Islam Nusantara, tambah Gus Milal, memiliki fiqih kebangsaan yang perlu diangkat. Dari sini akan bisa dipahami mengapa para ulama terhadahulu mengajarkan cinta tanah air dan kebangsaan yang kuat.
“Inilah salah satu nilai penting bagi masyarakat luas,” pungkas penulis buku Masterpiece Islam Nusantara ini.
Sementara A. Ginanjar Sya’ban kembali menjelaskan bahwa buku karyanya tersebut adalah wujud upayanya dalam mengajak para santri khususnya yang menekuni bidang filologi untuk bersama-sama menggali warisan keilmuan Ulama Nusantara.
“Buku ini adalah juru bicara dari sedikit karya-karya ulama Nusantara,” ujarnya.
Ginanjar juga mengingatkan jangan terjebak dengan istilah Islam Nusantara yang digunakan bukunya. Perbebatan istilah tersebut sudah selesai. Itu adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sejarah peradaban Islam di Nusantara. Termasuk semua unsur di dalamnya.
“Bagaimana sejarah kebesaran Islam di Nusantara, siapa saja ulamanya, apa saja karya-karya ulamanya, bagaimana sejarah politik kesultanan-kesultanan di Nusantara,” terang direktur Islam Nusantara Center (INC) ini.
Diskusi ini juga dihadiri oleh pembanding dari STISNU Nusantara, yaitu Fahmi Irfani, MA, Hum. (Akademisi STISNU Nusantara) dan Ecep Ishak Fariduddin, MA sebagai moderator.
Diskusi ini adalag titik pertama road show di wilayah Jabodetabek. Informasi dari Penerbit Pustaka Compass, ada banyak kampus, madrasah dan pesantren yang akan dikunjungi. Ini adalah bagian dari upaya kecil dalam mengenalkan kekayaan warisan Ulama Nusantara. (Ridho).
Comments are closed