Wahai kau…

Yang selalu merasa paling terdidik, yang selalu merasa paling layak dan pantas, yang selalu merasa paling mulia dan harus diutamakan, yang merasa manusia terpilih dan hamba terdekat-Nya, yang senantiasa meraih kuasa dan kewenangan dalam kesenangan dan kesewenang-wenangan ; INGATLAH !!!

  1. Yang kau dapatkan dan miliki sekarang adalah nikmat yang Allah berikan kepadamu, dan keutamaan yang Allah sandangkan untukmu.
  2. Kau berhutang janji pada-Nya ; mengesakan Allah, mematuhi-Nya. Berhutang janji pada sesama dan semesta ; menebar kebenaran dan kesejahteraan.
  3. Kau seharusnya menjadi pemegang teguh kebenaran-Nya, segala yang telah dijelaskan dalam kitab suci-Nya ; dan tidak sekali pun tergoda untuk menjualnya dengan murah demi kepentinganmu atau kepentingan kelompokmu.
  4. Kau tidak boleh mencampur adukan kebenaran kitab suci dengan pendapat pribadimu. Kau tak patut mencampur adukan keadilan dengan kezaliman, jabatan dengan korupsi, cinta dengan perselingkuhan dan lain sebagainya. Jangan diam atas kebenaran, apalagi menyembunyikannya.
  5. Kau harus menjadi orang yang bersegera tunduk pada kebenaran. Sepenuh jiwa dan raga mematuhi semua perintah dan larangan-Nya. Menjadi yang terdahulu meninggalkan masa lalu.
  6. Jangan menjadi penganjur kebaikan, tapi kau sendiri meninggalkannya. Jangan berpura-pura mengakui kebenaran ; mendukungnya, tapi kau enggan menjalankannya.
  7. Selalu hanya kepada-Nya sajalah kau sandarkan sabarmu dan ibadahmu. Jadikan sabar dan salatmu, ruang penyandaran diri akan pertolongan dan bantuan-Nya.
  8. Yakini bahwa kau akan berjumpa dengan-Nya, karena kita semua pasti kembali kepada-Nya.

Sungguh… Allah Maha Benar !

(Jejak QS. 2 : 40 – 46)

Lantas?

Begini saja…

Coba kalian ingat semua kenikmatan yang sudah Allah anugerahkan pada bangsa kalian. Termasuk kemuliaan, macam dan jenis kemuliaan apa yang disematkan Tuhan kepada bangsa kalian.

Agar kalian bisa menghargai sejarah kehidupan kalian sendiri.

Jangan cuma bisa menggugat. Jangan hanya minta dihormati dan banggakan kalian keturunan siapa. Jangan selalu menyebut nenek moyang dan tradisi risalah dan keilmuan yang sudah kalian miliki. Agar kalian bisa menghargai kemungkinan hadirnya “para pencerah” dan “para pendakwah” yang bukan dari kalangan kalian. Bukan sebab hebatnya nasab, tapi karena hebatnya sebab ; ilmu, akhlak, dan amal.

Peliharalah kenyataan sejarah itu…

Jangan tunggu hari kehancuran. Hari dimana di antara kalian tidak ada lagi kesanggupan membela diri, apalagi membela orang lain. Bahkan pertolongan dan tebusan tidak akan ada artinya. Baik pertolongan dalam bentuk pembelaan, atau tebusan sebagai bentuk upaya penangguhan. Kalian akan sibuk dengan kasus dan perkara hidup kalian masing-masing.

Satu hal…

Ini sangat mungkin bisa terjadi di dunia ini ; pembelaan, tebusan, jaminan menjadi tidak ada artinya bagi pembebasanmu dari kesalahanmu. Meski bisa jadi berubah. Tapi yang pasti, di akhirat tidak akan ada banding, kecuali syafaat yang diberikan oleh mereka yang diizinkan oleh Allah ; Rasulullaah, para nabi, dan orang salih.

Jadi, sudahlah!

Hancurkan saja keangkuhanmu itu sekarang. Benamkan kesombonganmu. Berhentilah dari membanggakan diri dan kelompok (bangsa).

Sungguh… Maha Benar Allah!

(Jejak QS. 2 : 47 – 48)

Jejak yang terbajak

Para arifin mengajarkan kepada kita jalan pertengahan. Segala permasalah kehidupan yang membebat dan menyiksa manusia, sebenarnya adalah imbas dari ‘wujud’nya diri manusia itu sendiri. Imbas dari persepsi bahwa manusia ‘punya andil’ dalam drama kehidupan ini.

Nanti di belakang saya akan cerita bahwa semua ini bukanlah berarti manusia tidak harus bekerja dan berusaha, melainkan sebaliknya. Tetapi singkatnya adalah, saat manusia merasa bahwa dirinya sudah punya kemampuan untuk mengatur, maka saat itulah ego-nya muncul. Atau kalau bahasa sufistiknya adalah saat itulah manusia itu merasa ‘wujud’, mengaku ada. Dan bersama pengakuan akan keberadaan diri itulah, segala hal yang menyakitkan menjelma.

Para guru yang arif mengatakan, bahwa segala hal yang terjadi ini sebenarnya bukanlah perkara tentang kita.

Tengoklah awan berarak. Tengok pula dedaun yang melambai dan gugur disapu angin. Tengok pula debu-debu beterbangan. Matahari yang pijar. Ibu menggendong anaknya. Ayah bekerja. Binatang-binatang mencari makan. Segala kesibukan yang ada di alam raya ini sebenarnya adalah urusan Allah, untuk menyatakan diriNya.

Allah memiliki sifat-sifat, setiap sifat terangkum dalam nama-namanya yang baik. Setiap sifat itu tergulirkan dan mengejawantah lewat kejadian-kejadian hidup. Jadi sebenarnya semua tentang Dia, tak pernah tentang kita.

Menyadari hal tersebutlah, seorang arif pernah mengatakan bahwa kita mesti melepaskan diri kita dari keinginan untuk ikut mengatur. Keinginan untuk ikut mengatur itulah yang pada gilirannya membuat kita merasa bahwa sesuatu yang kita lakukan dalam hidup ini; adalah tentang diri kita. Seakan-akan kita adalah tema sentralnya. Maka bersamaan dengan pengakuan diri itulah segala rasa sakit akan datang. Rasa sakit karna tak dihargai, rasa sakit karna tak berhasil, rasa sakit karna diacuhkan, rasa sakit karna iri, dan segala bentuk penyakit hati yang bisa kita sebutkan.

Mencermati ego

Kalimat tauhid adalah kalimat pembebasan dari belenggu ketundukkan kepada siapapun termasuk kepada hawa nafsu dan ego kita sendiri.

Orang yang bodoh berusaha melindungi egonya, ia tak ingin dan tak mampu melihat keadaan sebagaimana adanya. Orang yang tidak tahu dan tahu bahwa ia tidak tahu jauh lebih baik daripada orang yang sok tahu, karena orang yang pertama lebih terbuka terhadap pengetahuan. Orang yang egois dan mementingkan diri sendiri lebih suka menyembunyikan ketidaktahuannya daripada mengakui bahwa dirinya tidak tahu.

Kebenaran berarti bahwa kita datang dari hal yang tak diketahui dan kita akan kembali kepada hal yang tak diketahui itu; sepanjang perjalanan ini, tugas kita adalah mencari tahu.

Imam Ali as mengatakan, “Iblis telah menyembah Allah selama enam ribu tahun, yang kita tidak tahu apakah itu merupakan tahun dunia ini atau tahun akhirat”

Iblis telah menyembah Allah selama enam ribu tahun, tetapi hakikat sujud dan penyembahannya tidaklah kepada Allah. Pada lahirnya Iblis bersujud kepada Allah, tetapi batinnya bersujud dan menyembah dirinya sendiri. Hal ini terbukti ketika ia diuji untuk bersujud kepada Adam as, Iblis menolak dan enggan untuk bersujud kepada Adam as, karena sombong dan congkak. Perintah Allah yang merupakan ujian ini membuktikan bahwa sujud dan penyembahan Iblis selama ini adalah palsu.

Kisah ini menjadi pelajaran yang besar buat diri kita, bahwa hakikat ibadah itu adalah ketaatan dan ketundukkan. Siapapun dengan mudah meletakkan keningnya untuk bersujud di atas tanah, tetapi apakah hati, ego dan hawa nafsu kita juga bersujud dan tunduk kepada Allah, Tuhan Alam Semesta?

Itulah sebabnya dikatakan bahwa berhala yang paling besar yang ada di dunia ini adalah ego dan hawa nafsu kita sendiri. Ego dan hawa nafsu inilah yang kerap membuat kita enggan untuk tunduk sepenuhnya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Perkasa dan Maha Agung. 

Taklukan diri sendiri aja dulu.

Menaklukan kemalasan sendiri aja belum bisa, gimana mau berhasil dalam usaha?

Menaklukan rasa takut sendiri aja belum bisa, gimana mau menjadi pemimpin keluarga? 

Menaklukan ego sendiri aja belum bisa, gimana mau menjadi pemimpin berwibawa?

Menaklukan amarah sendiri aja belum bisa, gimana mau menjadi penyelesai sengketa?

Apa masih perlu kita bahas penaklukan dunia?

Taklukanlah diri sendiri terlebih dahulu, perihal penaklukan dunia niscaya akan menyusul dengan sendirinya. 

Kalaupun nanti bukan menaklukan dunia pada arti umumnya,

setidaknya kita menaklukan dunia kita sendiri dan memberikan dampak untuk sekitarnya. 

Bersikaplah hurmat dan khidmat !!!

Siapapun anda wahai saudaraku, apakah kita satu Guru atau berbeda Guru, saya memberikan nasehat kepada anda, siapapun Guru anda, hormati Beliau sayangi Beliau dan teruslah melanjutkan Berguru karena sesungguhnya bersama Kekasih Allah itu adalah sebesar-besarnya rahmat dan karunia dan sesungguhnya Guru Mursyid itu adalah pintu yang langsung menuju kehadirat Allah SWT.

Walaupun pandangan orang negatif terhadap anda, digolongkan anda kapada pengikut aliran sesat, dituduh sebagai pembuat bid’ah bahkan orang mengatakan anda kafir jangan membuat pribadi anda berubah menjadi pribadi pendendam, pribadi yang putus asa dan kemudian malah bertingkah laku aneh sesuka hati. “ah saya sudah terlanjur dianggap sesat, mendingan buat yang aneh-aneh sekalian”. Kemulyaan dan ketinggian derajat seseorang tidak tergantung dari penilaian orang, manusia itu bersifat baharu dan penilaiannya pun akan berubah termasuk penilaiaan terhadap anda. Jadilah pribadi yang mulia karena anda mengemban amanah yang mulia, dalam diri anda telah tertanam Nur Allah dan kemanapun anda melangkah Allah dan seluruh alam ini akan ridho kepada anda. Jadilah pribadi yang ketika orang melihat dan menilai anda maka orang akan mengatakan, “orang ini benar dan Gurunya juga benar”.

Bersyukurlah karena masih ada orang yang menghina anda, karena yang paling berbahaya justru ketika anda dipuji karena pujian sering kali membuat orang lalai dan lupa dan kemudian tanpa sadar menjadi sombong dan angkuh sementara dua sikap itu yang paling tidak disenangi oleh Tuhan dan sikap itu membuat anda jauh dari Tuhan. Hinaan manusia akan membuat cinta anda kepada Tuhan semakin menggelora dan hati anda selalu terjaga untuk selalu mengingat dan membesarkan nama-Nya. Ketika semua orang mencaci dan menghina orang maka anda hanya memikirkan satu saja, semain fokus pada satu tujuan yaitu Allah. Yakinlah bahwa Orang-orang yang menghina anda itu sengaja diciptakan oleh Tuhan sebagai lawan tanding agar anda bersungguh-sungguh.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *