Siapakah sich, Nyai Aisyah Hamid Baidlowi itu? Mendengar namanya jelas tidak asing bagi kaum ibu-ibu Muslimat NU. Karena beliau pernah menjabat sebagai Ketua Umum Muslimat NU(1995-2000). Dilingkungan NU tentunya banyak yang mengetahui jejak dan kiprahnya. Nyai Aisyah juga aktif di banyak yayasan sosial. Kiprahnya juga bersinar didalam dunia politik. Bagi kita anak-anak pesantren baik laki-laki maupun perempuan penting mengetahui sosoknya. Untuk dijadikan tambahan tokoh idola yang mungkin sudah dimiliki.
Dalam buku profilnya, Nyai Aisyah lahir di komplek Pesantren Tebuireng pada hari Kamis Pon, 6 Juni 1940 bertepatan 28 Robiul Akhir 1359 H. Nyai Aisyah putri dari KH. Abd. Wahid Hasyim dan Nyai Solichah. Adik Gus Dur ini masa kecilnya dilalui di Pesantren Tebuireng dan Pesantren Mambaul Maarif, Denanyar Jombang. Selanjutnya pindah ke Jakarta bersama keluarganya.
Nyai Aisyah mendapatkan pendidikan dari KH. Abd. Wahid Hasyim dan Nyai Solichah sekaligus kakeknya KH. Bisri Syansuri. Sekolah dasarnya ditempuh di Sekolah Rakyat, SR di Diwek Jombang. Beliau masuk sekolah saat umur 8 tahun. Beliau mempelajari huruf Jawa Ho No Co Ro Ko dan belajar menulis latin.
Nyai Aisah juga merasa heran kenapa ia dimasukan SR di Diwek, bukan di madrasah pesantren. Keheranan itu sama dirasakan sedulurnya yang bersekolah dasar bukan di madrasah atau pesantren. Hanya Kiai Wahid Hasyim dan Nyai Solichah yang tahu. Meski demikian, pemahaman agamanya jangan diragukan lagi. Jenjang pendidikan tingginya ditempuh di Jurusan Fakultas Sosial Politik di Universitas Ibnu Chaldun Jakarta.
Jika Gus Dur sebagai abangnya dikenang sebagai tokoh pendiri PKB, kemudian ikut adiknya Gus Umar, dan Lili Wahid bergabung PKB. Gus Sholah pernah aktif di PKU. Sedang Gus Im pernah aktif dilingkungan di PDIP. Dari jejak kakeknya, Kiai Bisri dan kerabat lainnya baik yang dari Pesantren Tebuireng dan Pesantren Denanyar memang kemudian banyak yang aktif di partai, entah sebentar maupun lama. Nyai Aisyah memang tampil beda dengan sedulur nya beliau lebih memilih pilihan politiknya di Golkar.
Sama Tapi berbeda itulah potret dari keluarga Kiai Wahid Hasyim dan Nyai Solichah. Itulah keluarga layaknya Pelangi. Indah dipandang mata, dan jarang ada. Namanya pelangi memang jarang-jarang muncul.
Pada 17 Januari 1959 Nyai Aisyah menikah dengan Hamid Baidlowi. KH. Bisri Syansuri Kakeknya yang membacakan khotbah nikahnya. Sebagai Wali, Gus Dur. Pernikahan dilangsungkan di Masjid Denanyar, Jombang. Resepsi diadakan di Komplek Pesantren Denanyar.
Dalam hal ini membaca pandangan sekilas dua sedulur nya menarik. Gus Dur sebagai abang kepada adiknya. Bisa jadi awalnya gemes kepada adiknya, karena Nyai Aisyah menjatuhkan pilihan politiknya di Partai Golkar. Sikap saling menghargai tetap selalu dijunjung tinggi. Menyuruh ke PKB susah, dialami juga orang terdekat Gus Dur yang merayu, tetap saja, gagal. Menurut Gus Dur, saya ngomong PKB didepan Aisyah ya biasa-biasa saja. Sikapnya kepada saya meskipun beda partai sama, tidak pernah berubah. Dia bisa menempatkan diri sebagai adik.
Gus Dur juga mengatakan kepada adiknya, “Saya tidak melihat Aisyah melakukan konfrontasi dengan NU yang telah mendeklarasikan PKB sebagai aspirasi politik Nahdliyyin. Hanya saja banyak orang NU yang di PKB tidak paham. Anak-anak NU yang dibawanya ke Golkar karena pintu PKB terbatas.” Menurut Gus Dur, Aisyah itu orang NU yang berjuang di Golkar. Ia tidak hanya menggeluti peran sebagai wakil rakyat namun memimpin ibu-ibu di Al Hidayah, organisasi yang bernaung di Partai Golkar. Pengabdiannya kepada lembaga sosial kemasyarakatan luar biasa. Karena kami memang dibiasakan oleh orang tua untuk mengabdi kepada masyarakat.
Menurut Gus Sholah, saat menjadi cawapres, Nyai Aisyah memberikan banyak masukan dan informasi. Jelas valid dan terpercaya. Sehingga ia dapat diterima dengan baik di internal Partai Golkar. Dikisahkan juga oleh Gus Sholah, Saat, Nyai Aisyah memimpin di Muslimat NU, lembaga tersebut pernah mendapatkan bantuan dana untuk melaksanakan program dari luar negeri. Tanpa persetujuan rapat, Bendahara keburu mengeluarkan uang insentif untuk panitia yang terlibat di program tersebut. Nyai Aisyah marah, perbuatan tersebut karena tidak melalui rapat dan bukan keputusan rapat, semua dana yang sudah diberikan kepada panitia harus dikembalikan ke kas organisasi. Sosok Nyai Aisyah selain keras, perfeksionis juga sangat profesional orangnya.
Bisa jadi Gus Sholah saat membangun dan mendirikan lembaga Sosial Pesantren Tebuireng karena terinspirasi Nyai Aisyah, mbakyunya. Tapi, sayang belum sempat menanyakan, tapi sudah terungkap jelas latarbelakang berdirinya LSPT. Yang jelas. Soal LSPT dapat dibaca dari banyak kajian atau sumber wawancara Gus Sholah mengenai LSPT.
Pejuang Sosial
Saat ini diri kita dipaksa juga untuk melihat bahkan tergerak terjun berbuat nyata didalam kehidupan sosial kita. Sebagai mahluk sosial kita tak boleh abai dengan masalah sosial. Berkat para pejuang sosial itu kita dapat belajar bahkan tergerak untuk ikut serta. Bentuknya seperti apa? Macam-macam. Menjadi pejuang sosial memang mulia baik dimata Allah maupun manusia.
Nyai Aisah merupakan seorang perempuan pejuang sosial. Banyak tenaga, pikiran dan jejaring untuk lembaga sosial yang beliau ikuti. Misalnya dari sekian lembaga sosial yang mana beliau pernah berkiprah, sebut saja di Yayasan Dana Bantuan(YDB) Jakarta. Beliau melakukan gerakan sosial, Menyantuni Lansia dan Mendukung Pendidikan anak. Lembaga ini juga merambah ke pembinaan lansia se Jakarta. Dari mulai pembinaan pelayanan kesehatan cuma-cuma kepada kepada sekitar 2000 an lansia, Beasiswa untuk siswa SMK, dll. Beliau menjadi Ketua di Lembaga ini pada tahun 2010.
Selanjutnya aktif di Yayasan Sayap Ibu(YSI). Beliau ikut berjuang mewujudkan Hak Anak Terlantar. Anak-anak korban. Anak-anak terlantar entah karena dia lahir dari keluarga miskin yang mengalami cacat secara fisik dan mental, atau anak korban hamil diluar nikah dan tidak diurus. Tidak sedikit yang dibuang. Dan ada pula anak terlantar karena orangtuanya bercerai. Program YSI untuk ikut mewujudkan komitmen negara melindungi anak-anak terlantar agar mereka bisa hidup layak dan berkembang sesuai potensi dan harkatnya sebagai manusia lain pada umumnya.
Khofifah Indar Parawangsa, Ketua Muslimat NU setelahnya mengatakan bahwa Nyai Aisyah juga mendirikan dan membina sebanyak 14 Yayasan Sosial. Nyai Aisyah memang sosok perempuan luar biasa, hidupnya memang menonjol, didarmabaktikan di lembaga sosial. Ini menjadi penanda dengan tokoh-tokoh dari keluarga Kiai Wahid Hasyim.
Nyai Aisyah juga tergolong sebagai salah satu tokoh yang memiliki perhatian terhadap kaum perempuan di Indonesia. Beliau terkenang juga sebagai sosok perempuan yang disiplin, progresif, inovatif, maju, peduli, dan lainnya.
Setelah beliau wafat pada Kamis (8/3/2018) di Rumah Sakit Mayapada Lebak Bulus, Jakarta Selatan, sekitar pukul 12.50 WIB jenazahnya dimakamkan di Komplek Pesantren Madrasatul Qur’an Tebuireng.
*Semoga kita dapat meneladani jejak perjuangan sosial beliau, dan mungkin lainnya.*Al Fatihah.
No responses yet