Oleh: KH Mahbub Maafi Ramdlan

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Tahu lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujurat, 13)

Ayat ini secara sosial mengajarkan kita untuk mengubah cara memandang kemuliaan seseorang. Semula masyarakat Arab pada masa itu dan juga masyarakat lainnya hingga kini menggunakan tiga standar utama, yaitu (1) jenis kelamin di mana laki-laki lebih mulia daripada perempuan; (2) bangsa di mana bangsa Arab lebih mulia daripada bangsa lainnya; dan (3) suku atau kabilah di mana suku yang lebih kuat dan terkenal lebih mulia daripada suku yang lemah dan tidak dikenal. Al-Qur’an memberi standar baru dalam melihat kemuliaan seseorang, yaitu ketaqwaan.
Setiap manusia mempunyai status melekat sebagai hamba Allah Swt. sehingga dilarang keras memperlakukan orang atau pihak lain sebagai hamba yang mesti taat mutlak kepadanya. Sebaliknya, setiap orang juga dilarang keras untuk menempatkan diri sebagai hamba orang lain atau sesuatu sehingga menyerahkan ketaatan mutlak laksana hamba. Rasulullah Saw bersabda:
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Di samping status melekat sebagai hanya dan hanya hamba Allah Swt ini, setiap manusia juga mengemban amanah melekat sebagai Khalifah fil Ardl, yakni penerima mandat dari Allah Swt. atas segala makhluk-Nya untuk mewujudkan kemaslahatan di muka bumi. Standar kualitas manusia ditentukan oleh sejauhmana ia mampu mengasah tauhid-nya agar punya punya daya tahan kuat untuk mencegah kemafsadatan sekaligus daya dorong kuat untuk melahirkan kemaslahatan seluas-luasnya di muka bumi.
Inilah yang disebut dengan Taqwa, yaitu Tauhid yang melahirkan kemaslahatan seluas-luasnya di muka bumi, atau iman yang melahirkan prilaku baik (amal shaleh) pada orang lain sebanyak-banyaknya. Rasulullah Saw mengingatkan dalam sabdanya:

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni).
Orang yang paling mulia di sisi Allah Swt. dengan demikian adalah orang yang terasah Tauhid dan Iman-nya sehingga mampu mendorong mewujudkan kemaslahatan dan prilaku baik pada sebanyak-banyak manusia. Allah Swt berkuasa secara mandiri (Qiyamuhu binafsihi), maka manfaat hanya menuhankan Allah Swt tidak kembali pada diri-Nya, melainkan kepada hamba-Nya terutama hamba-hamba-Nya yang lemah (Dlu’afa) atau dilemahkan (Mustadl’afin) karena diperlakukan tidak adil.
Taqwa yang menjadi standar kemuliaan kita di hadapan Allah Swt tidaklah semata-mata ditentukan oleh hubungan baik kita dengan Allah Swt, tidak hanya ditentukan serajin apa kita melakukan ibadah-ibadah mahdlah (ibadah murni), melainkan juga sejauhmana hubungan baik kita dengan Allah berpengaruh pada hubungan baik kita dengan hamba-hamba-Nya. Yakni, oleh sejauhmana ibadah-ibadah kita kepada Allah Swt mampu mendorong kita untuk bermanfaat pada hamba-hamba Allah Swt, terutama hamba-hamba-Nya yang lemah atau dilemahkan.
Allah Swt menyebutkan salah satu ciri taqwa adalah bersikap adil sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Maidah ayat 8:

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak kebenaran dengan menjadi saksi yang adil karena Allah. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak bersikap adil. Berbuat adillah karena ia lebih mendekati ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ayat di atas menegaskan bahwa taqwa mensyaratkan bersikap adil. Hal ini berarti bahwa meskipun kita rajin beribadah, semua rukun Islam ditunaikan namun belum atau tidak bersikap adil, walau pada orang-orang yang kita benci, ayat tadi mengingatkan bahwa kita belum bertakwa.
Sementara itu, bersikap adil perlu untuk memberikan perhatian khusus pada kelompok-kelompok masyarakat yang lemah atau dilemahkan. Mengapa? Karena merekalah yang cenderung tidak diperlakukan secara manusiawi. Dua di antara kelompok masyarakat yang perlu perhatian khsusus adalah perempuan dan anak, khususnya dalam keluarga.
Al-Qur’an memberi perhatian khusus dalam hal ini. Misalnya perintah agar suami memperlakukan istri secara bermartabat atau Muasyarah bil Ma’ruf. Rasulullah Saw dalam hadis riwayat Imam Muslim juga mengingatkan bahwa prilaku suami pada istri dalam perkawinan terhubung langsung dengan ketakwaan mereka:
Bertakwalah kepada Allah wahai laki-laki dalam memperlakukan istri. Karena sesungguhnya kalian meminang mereka dengan amanah Allah dan meminta kehalalan vagina mereka dengan kalimat Allah….(HR. Muslim)
Demikian pula Rasulullah Saw mengingatkan bahwa bersikap adil pada anak-anak adalah bagian dari persyaratan takwa.
Dari Amir ra, berkata: Aku mendengar Nu’man bin Basyir diatas mimbar berkata: Ayahku memberikan sesuatu kepadaku. Lalu ‘Amrah binti Rawahah (ibuku) berkata: Aku tidak ridha hingga dipersaksikan kepada Rasulullah saw. Lalu ia (ayahku) mendatangi Rasulullah saw dan berkata: Sesungguhnya aku telah memberikan sesuatu kepada putraku ini yang berasal dari ‘Amrah binti Rawahah. Lalu istriku menyuruhku agar aku persaksikan kepadamu ya Rasulallah. Lalu Rasulullah saw bertanya: Apakah engkau berikan juga sesuatu yang sama kepada anakmu yang lain?. Ia menjawab: Tidak. Rasulullah saw bersabda: “Bertakwalah kalian kepada Allah dan berlaku adillah kalian di antara anakmu” Ia berkata: “Kemudian ia pulang lalu mengembalikan pemberiannya.” (HR. Bukhari).
Perempuan dan anak mempunyai problem-problem yang memerlukan kerjasama kita semua agar bisa dicegah dan diatasi. Dalam keluarga, perempuan dan anak sangat rentan mengalami KDRT atau kekerasan dalam rumah tangga. Menurut Pasal 5 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), tindakan kekerasan ini dapat berbentuk kekerasan fisik, psikhis, seksual, dan penelantaran rumah tangga.
Dalam rangka melindungi perempuan dan anak dari menjadi korban KDRT dan melindungi warga kita dari dihukum akibat melakukan KDRT, pendidikan masyrakat tentang KDRT dan sanksi hukum bagi pelakunya dengan melibatkan tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat lainnya, membentuk atau bekerjasama dengan lembaga penyedia layanan yang sudah ada, mendirikan rumah aman bagi korban.
Perempuan dan Anak juga rentan menjadi korban perdagangan manusia yang dilakukan dengan berbagai modus sehingga mereka dan keluarganya tidak sadar sedang dijerat sebagai korban. Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTP2O), perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Kita pasti tidak ingin keluarga kita menjadi korban perdagangan orang. Sayangnya perdagangan orang selalu menggunakan cara yang tidak disadari oleh masyarakat sebagai perdagangan. Misalnya lowongan pekerjaan, perkawinan, beasiswa, dan lain-lain. Karena itu penting sekali bagi kita semua untuk mewaspadai perdagangan manusia, khususnya perdagangan perempuan dan anak. Pendidikan tentang modus operansi, sanksi hukuman, dan bagaimana menyelamatkan jika sudah terjerat menjadi penting untuk dilakukan bersama.
Semoga Allah membukakan pintu hati dan pikiran kita semua, khususnya para pengambil kebijakan, agar perempuan dan anak bisa mendapat perhatian yang semestinya. Menguatkan masyarakatnya untuk peduli pada kelompok sosial yang sering diabaikan kebutuhan khususnya dan kurang terlindungi dari aneka ancaman kejahatan yang merusak masa depan mereka. Padahal masa depan mereka adalah masa depan kita semua.[]
KH Mahbub Maafi Ramdlan, pengurus MUI Pusat.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *