Saya cukup bersyukur masuk ke suatu grup yang fokus membahas akidah Asya’irah. Disana terkumpul orang-orang alim dari berbagai ormas di seluruh Nusantara. Saya ulangi lagi, dari berbagai ormas. Bukan hanya NU dan MU, tapi juga Perti, NW, RA, dsb. Dari beragam daerah di seluruh Nusantara pula.
Disana kita fokus membahas dan memperdalam akidah Asy’ariyah. Karena serangan sering dilancarkan orang salafi, kita pun membahas kritik atas kaum salafi dan bagaimana mengakarnya paham tajsim Syekh Ibn Taimiah di kepala orang-orang salafi sekarang.
Intinya, kita tahu mana perkara pokok akidah, mana yang murni furu’iyyah yang dzanni sekali.
Karena beragam ormas, apa pandangan politik kita sama? Sama sekali berbeda. Bahkan beberapa kali saling berdiskusi dan berdebat soal politik. Di forum luar grup. Perdebatan panas soal politik yang dzanni sekali, sama sekali tak mempengaruhi suasana ketika membahas akidah asy’ariyyah yang memang qath’i.
Kita semua disana paham, mana yang qath’i dan mana yang dzanni. Mana yang perlu menyatukan persepsi menghalau kesesatan tajsim, mana yang bisa berbeda pendapat, berdebat bahkan saling menyalahkan di persoalan furu’ atau bahkan politik.
Kita semua paham, bahkan para sahabat didikan asli Rasulullah SAW pun, saat terjadi fitnah politik di zaman Sayyidina Ali KMW, mereka berselisih pendapat. Itu semuanya sahabat. Bahkan persoalannya menyangkut nyawa orang. Tapi berhubung persoalan politik yang dzanni sekali, sama sekali tidak qath’i, maka para sahabat pun berselisih pendapat.
Artinya, sesama pakar asy’ariyah yang satu frame akidah, sangat mungkin sekali berbeda pendapat dalam persoalan lain. Dan itu tak mempengaruhi kesatuan ketika membahas dan mengkritik musuh akidah, seperti tajsim misalnya. Sehingga, walaupun orang salafi sama pandangan politiknya dengan beberapa masyayekh, namun ketika dia ngawur soal akidah atau menyerang asy’ariyah, kita semua serempak mengkritiknya. Sama sekali tak membahas motif politik apapun.
Bahkan jika kesalahan soal akidah yang qath’i ini dilakukan oleh tokoh ormas manapun, kita juga membahasnya secara terang benderang disana. Tidak hanya pakai analisa teks dan naqli, tapi juga aqli dan logika. Bahkan terkadang pakai sosiologi ala Ibnu Khaldun. Kesemuanya kita bahas secara ilmiah, tanpa baper ormas apapun. Juga tanpa melepas keanggotaan ormas masing-masing. Karena semuanya paham, itu semua penting di saat tertentu. Dan ormas, tak bisa mengekang teologi dan manhaj berpikir.
Alhamdulillah, kita tak seperti orang-orang salafi yanh hanya karena beda radio, bisa saling tahdzir. Hanya karena beda pandangan politik, antara mendukung pemerintah dengan mengkritik pemerintah, bisa saling menegasikan kesalafiahan masing-masing. Bahkan, beda rujukan guru, bisa saling tak mengakui. Mirip sekali dengan Syiah yang semuanya tergantung ikut marja’ mana. Kita sangat bersyukur, tak diberi kedangkalan sikap seperti itu.
Dari pengalaman ini, kita bisa memetik banyak pelajaran. Diantaranya:
- Pembahasan ilmiah akan selalu menyatukan. Walaupun dengan berdebat sekalipun. Asal yang membahas memang pakar.
- Mengetahui mana persoalan qath’i akidah, mana persoalan dzanni fikih, politik, ormas, daerah, dsb, sangat membantu dalam upaya penyatuan visi.
- Mustahil menyatukan persepsi dalam masalah yang memang dzanni, terutama politik. Jika para sahabat saja tak bisa bersatu soal politik, siapakah kita?
- Allah memang menghargai akal budi seluruh manusia. Mustahil Allah menyatukan manusia dalam persoalan dzanniyyat. Itu malah mencederai nalar kemanusiaan.
- Persoalan apapun, bisa didekati secara ilmiah. Politik tak bisa mengangkangi ilmu yang transenden, qath’i dan lintas ruang-waktu. Politik sangat spekulatif.
Demikian semoga bermanfaat.
Owh ya, jangan tanya saya grup apa atau minta dimasukkan. Itu bukan kuasa saya sama sekali.
No responses yet