Ini adalah naskah manuskrip yang berupa pertanyaan dan fatwa berjudul Hadzihi Sittah Umur I’taqadaha Ba’dh al-Jawah (enam hal yang diyakini sebagian masyarakat di Nusantara) yang ditulis dalam kertas Eropa. Naskah ini sangat penting sebab mengabadikan tulisan langsung Sayyid Abdullah al-Zawawi beserta stempelnya dan Syaikh Muhammad Mukhtar Bogor. Keseluruhan naskah berjumlah sebelas halaman yang terdiri dari fatwa dan jawaban keduanya: Sayyid Abdullah dua halaman dan Syaikh Muhammad Mukhtar Bogor sembilan halaman.
Saya menemukan naskah ini dalam koleksi yang tersimpan di lemari kitab Syaikh Muhammad Zain Batubara, dimana salah satu nama ulama Nusantara yang berasal dari daerah Bogor di atas adalah termasuk gurunya ketika belajar di Mekkah pada awal abad 20 masehi.
Hubungan antara Nusantara dan Mekkah sudah terjalin sejak lama. Sebab, Mekkah merupakan destinasi tempat santri asal Nusantara belajar. Oleh karenanya, secara genealogi keilmuan yaitu berupa sanad-sanad yang tertulis bagi banyak ulama Nusantara memuat nama-nama ulama besar di Mekkah. Sebagai contoh, nama Sayyid Ahmad Zaini Dahlan termasuk nama yang paling banyak menjadi poros dalam setiap genealogi keilmuan.
Sebagai contoh, keilmuan ulama Batubara di bidang fikih Syafi’i dari Syaikh Muhammad Zain Batubara – Syaikh Muhammad Mukhtar Bogor – Syaikh Abubakar Syatha – Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, ulama Medan di bidang talqin zikir Khalwatiyah, dari Syaikh Hasan Maksum – Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau – Syaikh Abubakar Syatha – Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, ulama Jombang Jawa Timur di bidang Hadis Sahih al-Bukhari, dari Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari – Syaikh Muhammad Mahfuzh Termas – Syaikh Abubakar Syatha – Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, dan banyak ulama Nusantara lainnya. Selain sanad, juga korespondensi dan permintaan fatwa atas persoalan-persoalan sulit di Nusantara yang dimohonkan fatwa dan jawaban dari ulama di Mekkah.
Terkait dengan konten naskah di atas, yaitu berisi enam hal yang mesti dijawab oleh ulama Mekkah. Dalam naskah ini tidak disebutkan siapa sosok yang mengirim naskah tersebut dan dimana asal persoalan itu di wilayah Nusantara. Enam pertanyaan tersebut adalah:
Pertama, Bersuci yang sebenarnya (thaharah haqiqiyah), dimana tempatnya di dalam otak yang berubah menjadi air. Pada gilirannya, air tersebut yang menyucikan sesuatu yang batin. Sementara nama otak tersebut adalah Muhammadiyah dan bagian batin Muhammadiyah adalah Ahmadiyah. Oleh karenanya, Ahmadiyah yang menerangi semua anggota badan. Apabila kalian mau bersuci, maka selayaknya menurunkan cahaya tersebut ke seluruh badan. Ia (cahaya) akan turun ke benih yang berada di dalam rusuk. Sementara tempat cahaya berada di pembuluh di tulang belakang yang tersebar antara bagian otak sampai ke rusuk. Hal tersebut yang dimaksud dengan thaharah haqiqiyah.
Kedua, Maksud dari dua kalimat syahadat adalah bahwa saya mengakui tiada yang sebenarnya layak disembah selain Allah swt dan nabi Muhammad saw utusan Allah swt. Pengakuan ini terkait dengan sosok seorang hambanya, yaitu seorang arif, cahaya, Muhammadiyah dan Ahmadiyah.
Ketiga, Kalimat “Tidak ada Tuhan selain Allah swt”. Maksudnya, bahwa yang dinafikan adalah badan yang zahir dan yang ditetapkan adalah badan yang batin. Badan batin tersebut yang dimaksud dengan cahaya, Muhammadiyah, Ahmadiyah yang terletak di bagian pembuluh di tulang belakang.
Keempat, Ketika mengucapkan kalimat Allah Akbar ketika takbir pertama, cahaya akan mendominasi semua anggota badan. Oleh karenanya, seharusnya melakukan muqaranah (mengiringi) cahaya tersebut dengan kalimat takbir
Kelima, Ketika menjelang kematian, datang cahaya dalam bentuk wajah orang tersebut yang tidak utuh seluruhnya –hanya dari kepala sampai leher. Cahaya tersebut yang dimaksud dengan Ahmadiyah. Apabila wajah tersebut terlihat, maka ia sesuatu keluar dari dalam tenggorokan sampai ke langit-langit mulut. Apabila dikatakan “haq”, ruh kemudian keluar dari badan.
Keenam, Maksud kata “haq” adalah perluasan al-shirath al-mustaqim (jalan yang lurus)
Bagaimana pendapat empat mufti, apakah yang disebutkan di atas benar atau sesat. Apabila sesat, apakah orang yang meyakininya menjadi kafir, fasiq dan pelaku bidah. Mohon memberikan jawaban kepada kami. Sebab, masyarakat awam di daerah kami sebagian besar meyakini hal tersebut dan mengajarkannya kepada yang lain. Mereka mengatakan bahwa orang yang tidak meyakininya, meskipun seorang ulama besar sekalipun, tetap menjadi seorang awam. Apabila dihukumi sebagai seorang kafir, apakah pernikahannya dibatalkan. Namun, setelah bertaubat apabila ingin kembali, apakah dengan akad baru. Mohon memberikan penjelasan. Semoga Allah swt memberikan balasan.
Sekilas yang terlihat dari naskah di atas, pertanyaan yang bersumber dari wilayah di Nusantara dilontarkan kepada mufti mazhab yang empat. Tetapi, naskah ini hanya menampilkan satu diantaranya, yaitu mufti mazhab Syafi’i. Barangkali naskah ini berupa naskah awal sebelum dimasukkan ke dalam percetakan yang kemudian disebarkan dalam bentuk sebuah kitab lengkap yang memuat fatwa empat mazhab.
Sayyid Abdullah al-Zawawi memberikan jawaban satu halaman penuh. Ia membuka jawaban dengan ucapan mahasuci Allah dari orang-orang yang bodoh yang sesat dan menyesatkan. Ia membacakan sebuah ayat yang artinya sesungguhnya usahamu sangat banyak, dimana salah satunya yang disebutkan dalam pertanyaan di atas adalah usaha yang menyesatkan. Keyakinan yang termaktub dalam naskah adalah sebuah bentuk khurafat dan khayalan yang tidak bersumber dari seorang yang dianugerahi akal sehat. Maksud-maksud yang terkandung dalam setiap ungkapan tidak mengandung makna penting.
Oleh karenanya, pelakunya berhak untuk diasingkan dan dipenjara. Terkait apakah pelakunya menjadi kafir, harus terlebih dahulu dipertanyakan maksud ucapannya. Apabila mengandung penakwilan dan maksud yang lain, tidak menjadi kafir. Namun, apabila sebaliknya, menjadi kafir yang berimplikasi kepada batalnya pernikahan dan memulai akad baru ketika hendak kembali ke isterinya. Ia mengatakan pertanyaan tersebut selayaknya tidak memerlukan jawaban.
Syaikh Muhammad Mukhtar Bogor dalam memberikan jawaban fatwa lebih terperinci dan sistematis. Rincian dan sistematika tersebut terlihat dalam setiap poin tulisan merupakan jawaban setiap pertanyaan. Jawaban-jawabannya adalah sebagai berikut:
- Semua yang disebutkan adalah sesat, bidah tercela, dan dusta. Pelakunya dapat disebut seorang pelaku bidah, fasiq, dan dapat menjadi kafir.
- Sesat, terlihat dalam hal mengajak orang-orang awam mempelajarinya dan mempengaruhi mereka bahwa orang yang telah mempelajarinya termasuk wali, meskipun tidak mengetahui ilmu-ilmu syariat. Sementara sebaliknya, seorang ulama masih tergolong orang awam dan bodoh, apabila tidak mempelajarinya. Dalam batas ini, mereka sesat dan menyesatkan, dan mengajak masyarakat awam dengan membatasi ilmu-ilmu tersebut.
- Bidah, sebab bertentangan dengan konten ajaran Al-Quran dan Hadis. Pertentangan ini terlihat ketika bersuci yang disebutkan dalam naskah bertentangan dengan maksud bersuci dalam kedua sumber Islam tersebut, yaitu bersuci secara zahir dari dua hadas dan najis, dan batin dari dosa dan syirik.
- Dusta, ketika memberikan istilah-istilah seperti Muhammadiyah, Ahmadiyah, cahaya dan lainnya yang tidak diketahui kandungan maksudnya. Kecuali yang dimaksud dengan Muhammadiyah dalam istilah ulama hakekat dengan hakekat Muhammadiyah yang termasuk dalam bagian martabat tujuh karya Syaikh Muhammad Fadhlullah al-Hindi yang berjudul Al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi dan syarahnya oleh Syaikh Abdul Gani al-Nabulsi. Pembahasan ini merupakan martabat kedua yang disebut dengan ta’ayyun al-awwal li al-haq yang mempunyai definisi sebagai “Ilmu Allah swt atas Dzat dan Segala Sifat-Nya dan juga atas segala yang wujud baik secara hissiyah maupun aqliyah tanpa pembedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Tetapi, dalam konsep ini, mereka dapat menjadi kafir, sebab menjadikan batinnya seorang hamba dengan haqiqah muhammadiyah yang bermaksud ilmu Allah swt.
- Kafir, sebab mereka meyakini bahwa ketika menjelang kematian sebuah wajah dalam bentuk manusia yang akan meninggal mendatanginya. Dihukumi sebagai kafir karena yang datang tersebut adalah Muhammadiyah atau Haq yang sebenarnya Allah swt. Dalam ajaran tauhid, seseorang yang akan meninggal dianjurkan agar dihadirkan kalimat tauhid dan keesaan Allah swt
- Dusta, mereka menafsirkan Haq dengan perluasan al-shirat al-mustaqim
- Termasuk bidah, dengan mengiringi cahaya dalam takbir. Penulis berbicara tatacara dana dab salat yang dibahas oleh Imam Ghazali dalam Bidayah al-Hidayah. Perbuatan ini juga dapat menyebabkan salat menjadi batal
- Kepercayaan yang diyakini oleh sebagian masyarakat di Nusantara sebagian besar banyak tersebar di daerah ini
Siapakah sosok Sayyid Abdullah al-Zawawi. Namanya sangat akrab bagi ulama Nusantara di akhir abad 19-20 masehi. Sebab, di samping sebagai mufti mazhab Syafi’i di Mekkah yang menggantikan posisi Syaikh Muhammad Husain al-Habsyi setelah meninggalnya tahun 1330 H, ia juga menjadi guru bagi ulama Nusantara.
Syaikh Muhammad Mukhtar Bogor yang memberikan fatwa di atas adalah termasuk dalam daftar para muridnya. Ia juga pernah menjadi mufti di Kerajaan Pontianak. Ia lahir pada tahun 1266 H dan meninggal 1343 H. Sebagai mufti Syafi’i, namanya sering disebutkan dalam beberapa kitab fatwa yang memuat empat mazhab. Sebuat saja, Muhimmat al-Wasa’il fi Jam’i al-Masa’il karya Syaikh Muhammad Mukhtar Bogor tentang polemik keagamaan Kaum Tua-Kaum Muda, Iqd al-Lali al-Matlubah fi az-Zikr ala al-Thariqah al-Mardiyah al-Margubah karya Syaikh Abdullah bin Abdul Rahman Fathani tentang zikir dengan bernyanyi dan menari, Nail al-Ma’arib ila Ajwibah al-Mafati li al-Arba’ah al-Mazahib terjemahan Syaikh Hasan Maksum tentang perdebatan antara Kaum Tua-Kaum Muda di Mekkah, dan beberapa taqrizhat (kata pengantar) bagi setiap tulisan kitab, termasuk kata pengantarnya atas karya Sayyid Usman Betawi yang berjudul Taftih al-Muqlatain wa Tabyin al-Mafsadatain al-Mukhba’atain fi ar-Risalah al-Mu’ammah bi Shulh al-Jama’atain tentang polemik salat Jumat berbilang di sebuah kampung di Palembang. Dalam kitab terakhir, ia membela Sayyid Usman dan menggunakan beberapa Bahasa yang keras kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau.
Sedangkan Syaikh Muhammad Mukhtar Bogor adalah ulama terkemuka Nusantara di Mekkah penghujung abad 19-20 masehi yang berasal dari Bogor. Selanjutnya menjadi mahaguru bagi banyak ulama Nusantara. Ia lahir tanggal 14 Sya’ban 1278 H/ 1862 M dan meninggal 17 Shafar 1349 H/ 1930 M di Mekkah. Saya menilai ulama Bogor ini merupakan salah satu benteng penjaga ajarah Aswaja dari serangan kelompok-kelompok Wahabi dan Kaum Muda. Ia lebih dikenal melalui karyanya tentang hukum ikan Belut dan praktek membayar fidiyah bagi orang yang meninggal
Medan, Semoga bermanfaat
No responses yet