Sejak sebelum Masehi sudah banyak sekali catatan “pengamat asing” yang menarasikan “keadaan dan kehidupan” Nusantara. Sebagian dari mereka adalah para pengelana dunia, seperti Itsing, Ibnu Batuta, Colombus, yang punya misi “budaya” dan “ekonomi”. Dari merekalah kemudian gambaran sebagian wajah sejarah Nusantara yang subur, kaya dengan sumber daya alam mineral dan rempah-rempah ditulis. Termasuk tentang wajah sosial budaya yang sebagian dikenalkan masih sangat primitif dan bahkan masih ada praktik kanibalisme. Terutama di daerah pedalaman Sumatera dan Sulawesi.

Setelah era kolonialisme narasi tentang wajah Nusantara dari versi asing didominasi oleh para administrator dan pejabat kolonial. Mereka merampas naskah-naskah kuno Nusantara dan mencatat aspek-aspek kehidupan sosial politik, budaya dan keagamaan. Laporan inilah yang kemudian menjadi bahan pertimbangan para elit kerajaan Belanda untuk membuat kebijakan di daerah koloninya. Catatan para pegawai kolonial ini kebanyakan berupa catatan lapangan yang bersifat Etnografis dan Antropologis tentang Islam dan penganutnya. Catatan mereka inilah yang digunakan untuk kepentingan praktis kaum penjajah. Seperti hasil “karya” Snouck Hurgronje.

Di era pasca kemerdekaan Indonesia, para pengamat asing dari kalangan “intelejen” juga mulai memberikan perhatian khusus dengan membuat catatan perkembangan politik Indonesia. Sebagian dari mereka adalah para akademisi yang mencoba melihat arah politik negara baru Indonesia dalam dinamika politik internasional pasca perang dunia kedua. Catatan para diplomat yang bekerja sebagai staf kedutaan besar banyak mewarnai proses “pendokumentasian” negara muda Indonesia saat itu. Hal ini terus berlangsung sampai perang dingin berakhir. Di sisi lain, pengamat “profesional” asing yang datang dari “Barat” untuk “meneliti” Indonesia mulai berdatangan. Mereka meneliti dengan pendekatan akademik “modern”, yang melihat Indonesia sebagai negara yang membutuhkan spirit modernism dan pemikiran baru yang rasional agar bisa berubah menjadi negara maju. Maka fokus kajian dari para pengamat asing itu banyak diarahkan ke kelompok dan komunitas intelektual Islam ataupun kalangan nasionalis yang dianggap modern dan berpotensi menjadi “pemimpin” Indonesia.

Dinamika politik Orde Lama yang penuh konflik antar kelompok politik nasionalis dan Islamis, menjadi akar penyebab “kegagalan” kaum modernis Islam menguasai panggung politik. Apalagi saat itu “islamisme” kalau kuat dengan kaum nasionalis. Akibatnya para elit politik dan intelektual kaum Islam modernis “disingkirkan” beserta parpol dan atau lembaga politiknya. Ekspektasi pengmat asing tentang hadirnya wajah “keberagamaan Islam” yang lebih modern pun pupus. Alih-alih tumbuh dan berkembang, masyumi justru dibubarkan dan tidak mampu kembali sebagai kekuatan politik hingga saat ini. Inilah yang menurut Greg Fealy dikenal sebagai era pengamatan Indonesia dengan perspektif “modern”.

Memasuki era Orde Baru, model pengamatan peneliti asing terhadap kehidupan sosial budaya di Indonesia mulai bergeser ke arah yang lebih liberal. Jika diera sebelumnya yang banyak diteliti adalah kaum modernis “Islam”. Di era Orde Baru hampir semua kelompok mendapatkan perhatian yang sama. Bahkan kelompok-kelompok konservatif-tradisional juga mendapat perhatian besar. Para pengamat juga mulai menarasikan “spirit” anti Islam formalis. Nampaknya kebangkitan dan revolusi Islam Iran cukup mempunyai pengaruh terhadap “pandangan” para peneliti terhadap gerakan “modernisme” Islam di Indonesia. Jika dahulu para pengamat asing begitu “kagum” pada tokoh Islam modernis seperti Nastsir. Di era ini justru pemikiran dan sosok “modernis” yang ingin menjadikan Islam sebagai aturan formal dalam kehidupan berbangsa, bernegara serta bermasyarakat, dianggap sebagai “musuh”. (Bersambung). #SeriPaijo


Tawangsari 24 Oktober 2020

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *