Mencermati hasil pengamatan para peneliti asing tentang Islam di Indonesia selalu menarik. Sebab seringkali pengamatan mereka menimbulkan “kontroversi” di ruang publik. Bahkan tak jarang membelah pemahaman ummat ketika muncul banyak “penafsiran” baik yang pro atau pun kontra terhadap tesis para pengamat asing tersebut. Sebagai contoh adalah fenomena para pengamat asing di era pasca kemerdekaan yang menggunakan perspektif “modernism”. Mereka begitu “getol” mendorong terjadinya proses modernisasi dengan segala konsekwensi politiknya. Mereka melihat saat itu bangsa Indonesia membutuhkan gerakan modernisasi dalam segala lini kehidupan. Termasuk dalam beragama ummat Islam yang merupakan agama mayoritas. Ekpresi keagamaan yang cenderung tradisional dianggap sebagai “penghambat” kemajuan bagi negara Indonesia yang baru saja merdeka. Maka para pengamat asing lebih memberikan “dukungan” pada tokoh-tokoh modernis-islamis seperti Nastsir untuk menjadi “pemimpin” muslim yang diharapkan bisa membawa perubahan besar. Meskipun sempat “viral” di masa Orde Lama, namun upaya ini gagal karena konflik politik yang memuncak saat itu bisa diatasi oleh Soekarno (yang masih sangat kuat legitimasi politiknya saat itu) dengan membubarkan Masyumi.
Demikian juga dengan pengamat asing di era Orba yang menggunakan perspektif “liberal”. Mereka juga sangat aktif mendorong proses liberasi di semua sektor kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akibatnya terjadi perbedaan yang terlihat sangat mencolok dalam beberapa aspek kehidupan terutama terkait dengan “politik” ummat Islam yang mereka amati. Jika di era “modernism” mereka “sangat mendukung” tampilnya tokoh-tokoh modernis-islamis seperti Nastsir, di era liberal justru mereka “menentang” tampilnya tokoh-tokoh islamis yang mereka anggap mengancam keberlangsungan demokrasi. Maka tidak perlu heran di era liberal itu pemikiran Nurcholis Madjid dan Gus Dur menjadi “sorotan” utama para peneliti asing yang terus berlanjut pada munculnya fenomena kelompok studi dan NGO di kalangan ummat Islam. Seperti JIL, LKiS, JIMM dan lain-lain.
Di era reformasi para pengamat dimanjakan dengan fenomena bangkitnya kembali “politik aliran”. Kemunculan kembali partai berbasis Agama terutama dalam kelompok Islam, memberikan arena baru buat para pengamat asing untuk kembali mengkaji gerakan-gerakan islamisme yang bangkit di arena politik formal dan juga di jalur pergerakan “jalanan” non parlementer. Aktifnya gerakan khilafah HTI, Salafi Wahabi, kelompok formalis yang menumpang di MUI dan FPI dalam “berpolitik” juga dapat perhatian serius. Demikian juga dengan gerakan “terorisme” yang mengatasnamakan “jihad” Islam. Fenomena ini mendapatkan perhatian luar biasa besar dari para pengamat asing. Apalagi gerakan terorisme ini selalu dikaitkan secara sepihak (oleh para teroris) dengan perlakuan tidak adil negara-negara Barat terhadap negara Islam di Timur Tengah. Maka tidak perlu heran jika hasil analisis para pengamat asing seperti Sidney Jones dengan jelas “menyudutkan” kelompok Islamis sebagai sumber persoalan yang mengancam keberlangsungan “demokrasi” dan liberalisasi. Padahal agenda “cita-cita reformasi” inilah yang harusnya diwujudkan. Bukan agenda formalisme Islam dalam bernegara dan bermasyarakat.
Kajian Sidney Jones ini semakin “menguatkan” gerakan anti HTI dan salafi Wahabi yang seringkali secara “awam” diidentikkan dengan partai politik PK yang kemudian berubah jadi PKS. Apalagi ketika para peneliti mulai mengungkap keterkaitan partai Islam yang mendaku sebagai partai “reformis” ini dengan gerakan transnasional Ikhwanul Muslimin (IM). Maka semakin getol pula resistensi kelompok Islam tradisional terhadap gerakan yang mereka sebut sebagai gerakan fundamentalis ini. Puncaknya terjadi ketika regim pemerintahan Jokowi membekukan HTI dan menguatkan agenda deradikalisasi dalam kebijakan politiknya.
Fenomena terakhir inilah yang menjadi latar munculnya “tesis” salah satu pengamat asing (Greg Felay) yang bisa diartikan bahwa Regim yang berkuasa saat ini banyak memproduksi kebijakan yang “represif” terhadap kalangan aktivis islamis (HTI dan FPI). Tesis pengamat dari ANU (Australia National University) yang kemudian menuai “kecaman” dan sekaligus “pujian” dari masing-masing kelompok yang pro dan kontra. Dalam pengakuannya di moment webminar yang diadakan oleh UIN Sunan Ampel Surabaya (Jum’at, 23/10/2020), beliau mengaku banyak mendapatkan kecaman karena tesisnya tersebut. Bahkan konon kecaman ini tidak hanya muncul dari kalangan awam, tetapi juga kalangan “terdidik” yang selama ini getol mengkritisi lemahnya tindakan politik regim terhadap kelompok fundamentalis ini. Apalagi kelompok ini sudah banyak menguasai wacana keagamaan di kalangan elit birokrasi pemerintahan dan juga BUMN di kota-kota besar Indonesia.
Fenomena kontroversi yang ditimbulkan dari hasil pengamatan para peneliti asing di atas, bisa jadi karena selama ini para “peneliti” asing tersebut dalam melihat Islam di Indonesia masih sangat didominasi pada sisi-sisi politik praktis. Hal ini sangat mungkin terjadi karena isu inilah yang masih “layak jual” untuk dijadikan proposal riset. Meskipun dalam beberapa kasus lain para pengamat asing juga sudah memberikan perhatian serius pada fenomena Islam di Indonesia Timur yang menurut mereka belum banyak diungkap secara Antropologis maupun sosiologis. Sayang kajian mereka yang sangat menarik ini belum menjadi perhatian publik yang masih suka dengan isu-isu politik identitas. #SeriPaijo
Tawangsari 25 Oktober 2020
No responses yet