Berbagai dampak positif yang dibawa teknologi dewasa kini secara tidak langsung mempengaruhi cara pandang sebagian kalangan. Pergeseran budaya bertanya pada ahlinya seolah telah dinormalisasikan oleh kemudahan setiap individu dalam menggali informasi. Diantaranya ialah eksistensi mbah google sebagai sarana pembelajaran mudah dan murah dengan hanya bermodalkan sinyal kuat juga handphone yang memiliki fitur mumpuni. Pembelajaran tidak lagi ‘seribet, ‘semahal’, dan ‘seketat’ dahulu; ketika pada alim ulama mendalami sebuah ilmu kepada seorang ustaz.
Kedudukan ustaz seakan telah digeser; diganti (secara kebiasaan) oleh mbah google. Eksistensi ustaz tidak lagi dipentingkan oleh beberapa orang. Sebab, segala informasi dapat dengan mudah diakses melalui media. Pun persoalan agama, tidak lagi serumit dahulu. Sekarang dapat diakses melalui berbagai alamat; link, tergantung apa yang hendak dicari. Dari problem A hingga Z, kemungkinan dapat ditemukan di media sosial. Sehingga, tidak perlu bersusah payah untuk mendalaminya dengan belajar pada ustaz karena zaman telah dimudahkan
Bergesernya posisi ustaz yang seharusnya menjadi modal penting memahami sesuatu, terkhusus keagamaan menjadi fakta dewasa kini. Pemahaman agama tidak lagi (dikonstruk) sesulit dahulu. Kini, individu dapat menjelajahi berbagai persoalan apapun, termasuk agama; hanya dengan bermodalkan keinginan dan rasa penasaran yang kuat terhadap persoalan yang terjadi diberbagai belahan dunia, termasuk wilayah domisili tinggal. Alhasil, semua informasi yang digali dapat dengan mudah dicari dan didalami.
Namun, ada ruangan penting yang (sengaja atau tidak sengaja) ditinggal begitu saja oleh individu. Ruangan itu seharusnya menjadi ruangan penting bagi pola ketajaman individu dalam mendalami suatu hal. Kekosongan ruang yang seharusnya diisi oleh para ahli dibiarkan kosong tanpa pengendalian. Akhirnya, proses filterisasi informasi tidak dapat diuji ketajaman logikanya bahkan tidak ada lagi pembimbing yang mengarahkan individu.
Problem seperti demikian tentunya sangat berbahaya dalam mempengaruhi sekaligus membentuk cara berpikir dengan segala informasi yang di dapat. Hal ini disebabkan tidak adanya seorang ahli yang berkompeten dalam suatu bidang yang menjadi tujuan filterisasi atas segala wawasan baru yang di dapat individu atau bahkan sudah diyakini individu dan mendaging.
Kekosongan kedudukan ustaz sebagai seorang ahli yang teruji kelogisan berfikirnya dan mumpuni literasinya menjadi salah satu sebab terjadinya kegagalpahaman dalam beragama bagi individu. Segala bentuk wawasan yang diterima dari segala arah dapat dipercaya jika yang digunakan hanya kekaguman dan keterbatasan pengetahuannya yang tentunya tidak melewati penalaran kritis objektif. Dialektika objektif dalam menguji pengetahuan yang didapat tidak lagi teraplikasikan. Sehingga, terciptalah individu yang tidak dapat menerima kesamaan dan justeru menghindari yang berbeda dengan pengetahuannya.
Bergesernya budaya merasa bodoh kemudian bertanya pada ahlinya menurut hemat saya telah dinormalisasikan dan dilanggengkan. Sedangkan, kekosongan esensi tersebut sangatlah berbahaya. Boleh jadi menjadi sebab dari berbagai polemik yang mendunia dalam beragama. Bagaimana tidak? Ruang filterisasi untuk menguji kebenaran pengetahuan tidak dianggap penting hingga terabaikan. Sebab, setiap orang merasa dirinya pintar dan cerdas dalam segala bidang.
Kehadiran pembimbing dikonstruk tidak lagi dibutuhkan bagi yang pintar dan cerdas. Sedangkan, dalam beragama eksistensi guru sangatlah penting dan dianjurkan. Sebab, setiap permasalahan ‘baru’ (disuatu zaman), tentunya membutuhkan penyelesaian yang bijak. Untuk mencapai kepada keputusan yang bijak tidak hanya sebatas keluasan informasi, tapi juga membutuhkan seorang ahli. Tidak cukup hanya dengan modal cerdas dan pintar, melainkan yang teruji keputusannya. Artinya, subjektifitas minim dilontarkan kecuali jika perlu, layaknya akidah. Bahkan bisa juga dikatakan antara objektifitas dan subjektifitas saling bersinergi.
Peran media sosial dalam manifestasinya membentuk ruangan baru yang menyelinap dalam bilik epistemologi sangat berpengaruh bagi konsumen. Setiap individu yang menjadi konsumen aktif dari perbincangan media memiliki peluang besar terpengaruh dan mempengaruhi.
Hal demikian juga yang dikenalkan oleh Emile Durkheim dan Max Weber. Dimana manusia memiliki peluang sebagai subjek juga sebagai objek. Artinya, media yang hadir sebagai sarana jarak jauh dapat menjadi alat bagi siapapun untuk membentuk individu maupun membentuk kelompok. Media juga bisa jadi menjadi alat konflik yang luar biasa pengaruhnya bagi wawasan konsumennya. Sehingga, perlu adanya penyaringan dalam bentuk uji kelogisan dalam berfikir; yang terntunya berisi berbagai pengetahuan yang selama hidup di dapat.
Menurut Emile Durkheim bahwa fakta sosial lebih prioritas dibanding fakta individu, artinya untuk mengamati individu secara komprehensif pengamat harus memperhatikan fakta sosial yang melingkupi individu yang hendak di amati. Hal ini dilandasi oleh argumen bahwa individu hidup dalam masyarakat dan kemajuan teknologi yang semakin canggih, sehingga fakta-fakta tersebut membentuk individu bukan sebaliknya individu yang membentuk masyarakat. Dengan kata lain, Durkheim mengungkap bahwa individu itu hasil bentukan fakat sosial yang melingkupi individu itu. Dalam hal ini, fakta sosial ditempatkan dalam media sosial sebagai salah satu bukti kemajuan teknologi dewasa kini, artinya individu dibentuk oleh kemajuan teknologi berupa media sosial yang di dalamnya berisi berbagai berita juga dokrin.
Media sosial dalam pemikiran Durkheim tegolong dalam jenis fakta sosial material. Fakta sosial material dalam hal ini bisa diamati secara langsung dengan indera. Adapun dalam hal ini, jenis fakta sosial ini seperti berita yang tertulis dan memiliki jejak juga media sosial sebagai bentuk kemajuan teknologi dengan berbagai dampak yang dibawanya yakni negatif dan positif.
Selain itu, adapun fakta sosial non-material yang dibawa oleh media sosial yakni berupa pemahaman yang ditangkap oleh individu dari pikiran-pikiran yang diucapkan oleh seorang tokoh (youtube), sehingga ia membenarkannya. Fakta nonmaterial tidak dapat diamati oleh indera, artinya tulisan-tulisan yang ada di media sosial berpengaruh terhadap individu. Bukan itu saja, film-film yang ditayangkan di media sosial juga memiliki daya memikat bagi individu sehingga individu termotivasi bahwan sampai pada taraf meniru apa yang diperankan aktor dalam film tersebut. Pikiran-pikiran seorang tokoh yang diungkapkan melalui rekaman kemudian di unggah di media sosial juga memiliki kekuatan untuk membentuk individu, terutama dalam pemikiran kemudian beranjak pada tindakan.
Individu yang dibentuk oleh media sosial dengan berbagai isi dan ragam corak beritanya, baik positif maupun negatif sebagai fakta sosial akan berdampak pada konsep pemahaman humanis individu. Hal demikian merupakan konsekuensi dari berbagai macam doktrin yang tersebar di media sosial, baik berupa tulisan, video, maupun ungkapan-ungkapan seorang tokoh memiliki pengaruh kuat terhadap individu, artinya individu tercipta dari pengaruh di luar dirinya. Sehingga, daya nalar individu menjadi lemah dalam menguasai dirinya disebabkan intervensi eksternal. Berangkat dari hal inilah, individu tidak memiliki pilihan untuk berkuasa atas dirinya sebagai makhluk yang berakal dan memiliki potensi memilah apa saja dalam kebebasannya, melainkan ia terkurung oleh sesuatu yang dalam pikirannya (doktrin) yang ia anggap sesuai dengan apa yang ia dapat dari media sosial.
Sedangkan bagi Max Weber mengamati bahwa sosiologi serat dengan kajian tentang tindakan sosial (individu) dalam relasi sosial. Konstruk yang dibangun oleh Max Weber ialah bahwa manusia dianggap sebagai individu yang melahirkan tindakan sosial dan tindakan itu memiliki orientasi pada orang lain, artinya manusia sebagai individu memiliki peluang untuk menciptakan masyarakat melalui tindakan sosial. Dengan demikian, keberadaan media sosial sangat membantu individu untuk menciptakan masyarakat yang sesuai konstruk dalam pengalaman dan pengetahuan, artinya individu sebagai aktor kreatif dan real dalam masyarakat melalui tindakannya.
Perlu digaris bawahi bahwa tindakan sosial yang dimaksud oleh Max Weber merupakan tindakan sosial yang orientasinya bukan benda mati, melainkan orientasinya kepada orang lain. Selain itu, tindakan sosial yang dimaksud Max Weber memiliki makna untuk dirinya, artinya ia sebagai individu yang bertindak memiliki tujuan untuk dirinya sekaligus orang lain sebagai objek tujuan tindakan itu, sehingga tindakan itu bisa berkontribusi pada orang lain baik melalui ungkapan atau pengajaran langsung maupun tidak langsung seperti tulisan.
Jika menggunakan refleksi kritis, maka tindakan sosial yang dimaksudkan oleh Max Weber dapat diterapkan atau disebarkan dengan sarana teknologi yang telah berkembang pesat seperti saat ini, terkhusus media sosial yang saat ini menjadi barang penting bagi setiap individu untuk mencari informasi. Bukan itu saja, media sosial juga difungsikan sebagai alat untuk belajar bagi siapapun dan dimanapun. Hal ini tidak terlepas dari isinya yang bisa beruoa tulisan, ceramah ataupun dakwah. Sehingga, siapa saja dapat mengisinya. Hal tersebutlah yang dinamakan tindakan sosial dengan mendayakan media sosial sebagai alat bantu.
Pengaruh individu dengan tingkat kecerdasan dan kepekaan yang sensitif dapat memberikan suntikan mutual kepada siapapun. Untuk itu, media sosial dengan kecanggihan dan eksistensinya di kehidupan manusia era millenial menjadi suatu hal yang penting dan memiliki esensi yang dipentingkan oleh manusia, salah satunya dapat menjadikan diri manusia lebih eksis (pede dan merasa lengkap). Sehingga, siapapun dapat menjadi pembentuk pandangan lingkungan dengan tindakannya terlepas dari nilai atau dampak yang dibawa yakni kontribusi positif atau bahkan sebaliknya suntikan persepsi negatif.
No responses yet