Beliau ada diatas panggung megah itu, bersama para ulama, Habaib, dan tamu-tamu agung lainnya. Aku hanya duduk dibawah, menatap dari kejauhan, air mataku tak bisa terbendung lagi, dengan penuh harap aku berdoa semoga Allah menyegerakan sebuah impian yang paling aku dambakan di waktu itu : pergi ke Tarim Hadhramaut untuk berguru kepada beliau..

Sebelum itu aku tak banyak tau tentang Tarim, Hadhramaut, dan Habib Umar. semua tak lepas dari peran Mbah Yai Maimun, beliau – dengan dawuh dan prilakunya – adalah sosok yang mengajarkanku bagaimana mencintai keturunan Kanjeng Nabi, menghormati mereka, dan meniti jejak-jejak mulia mereka. Beliau pernah berpesan – waktu itu beliau sedang mulang kitab Is’adur rofiq -. : 

” di akhir zaman ini mengajilah kitab-kitab karangan Habaib, atau paling tidak kitab murid-murid mereka ( Is’adur rofiq yang dibaca Mbah Yai waktu itu adalah karya murid Al Habib Abdullah Bin Husain Bin Thohir ) . Karena mereka – Habaib – itu bagaikan Perahu Nabi Nuh. Siapa yang masuk ke dalamnya ia akan selamat, dan siapa yang tidak mau masuk ia akan celaka.. ” 

Beliau lantas menyitir bait-bait  Imam Al Haddad yang begitu masyhur itu :

و سفين للنجاة إذا * خفت من طوفان كل أذى * فانج فيها لا تكون كذا *

Karena barokah pesan beliau itu aku sekarang bisa berada disini, bukan hanya mengaji kitab poro Habaib, tapi memungut mutiara-mutiara ilmu langsung dari lisan-lisan mulia mereka, mengaji akhlak dan adab langsung dari budi pekerti dan prilaku sehari-hari  mereka, dan bertemu langsung dengan salah satu ‘perahu penyelamat’ terbaik di zaman ini : Al Habib Umar Bin Hafidz.

aku tak pernah menyangka sosok agung yang dulu hanya aku bisa lihat dari kejauhan itu kini benar-benar ada di dekatku. tak pernah terlintas dalam benakku bahwa kelak aku bisa duduk di sisi beliau untuk menanyakan dan menyampaikan banyak hal.. 

Beliau, semoga Allah memberi beliau kesehatan dan afiyah, menjaga dan menolong beliau dalam setiap gerak dan langkahnya, hingga tetap menjadi penyejuk bagi jiwa-jiwa kita yang kering kerontang, dan menjadi penunjuk bagi hati-hati kita yang kian buram oleh coretan-coretan keduniawian. 

Inat, 16 July.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *