Antropologi terbagi dalam dua kluster besar, Antropologi Fisik (biologi) dan Antropologi Budaya. Meskipun terlihat sangat bertolak belakang ternyata keduanya justru saling melengkapi. Karena “objek” utamanya adalah manusia. Mahluk berkebudayaan yang kompleks, dimana sisi alamiah (nature) sebagai “organisme biologis” dan sisi sosial (nurture) sebagai “subjek kebudayaan”, memiliki hubungan yang sangat erat. Sebab itulah hampir semua aspek biologis, psikologis dan sosial-budaya manusia menjadi bagian dari kajian antropologi. Ada Antropologi Forensik, Antropologi Psikologi, Antropologi Kesehatan, Antropologi sosial, Antropologi Agama, Antropologi ekonomi, Antropologi Politik, Antropologi Kesenian, Antropologi Linguistik, dan Antropologi hukum. Semua itu menandakan betapa dekatnya keterkaitan antara kajian-kajian keilmuan tersebut dengan Antropologi. Sehingga menjadi satu bagian tak terpisahkan dari hampir semua ilmu yang berkembang selama ini. Termasuk di dalamnya ilmu sejarah, yang sangat dekat dengan arkheologi, Etnografi dan Linguistik yang merupakan “kerja-kerja” keilmuan utama dalam Antropologi Budaya.
Kajian antropologi yang menjadikan manusia sebagai fokus utamanya, menjadikan ilmu ini sangat penting dan strategis kedudukannya di antara ilmu-ilmu yang lain. Bahkan ilmu yang relatif baru ini bisa menjadi “jembatan” yang menghubungkan semua objek kajian keilmuan yang sudah berkembang lebih dahulu dari Antropologi semacam ilmu sejarah dan ilmu-ilmu yang berkembang sesudahnya, seperti kajian forensik. Dalam lingkup “ilmu sosial humaniora”, posisi keilmuan Antropologi sangat “dominan”, karena hampir semua kajian di dalamnya membutuhkan analisis antropologis yang mendalam, detail dan menyeluruh. Sebagai contoh dalam ilmu sejarah, Antropologi menempati posisi penting sebagai alat bantu analisis untuk “mengkonstruksi” ulang sebuah peristiwa penting di masa lalu. Hal itu bisa dilakukan dengan mencermati fakta-fakta arkeologis atau pun fakta-fakta kultural dan sosiologis yang masih bisa dilacak jejaknya lewat kebudayaan manusia pendukungnya. Kalau kita ingin melihat Bagaimana pengaruh budaya Arab atau China di Nusantara. Kita bisa melakukan meminta bantuan para antropolog untuk menyelidiki artefak kuno, yang bisa berupa batu nisan, arsitektur bangunan, jejak bahasa, analisis forensik terhadap fosil manusia zaman dulu, serta ekspresi budaya lainnya yang diperkirakan memiliki hubungan dengan kebudayaan Arab dan China.
Antropologi mendorong para peneliti ilmu lainnya untuk membuka diri terhadap peluang melahirkan terori yang lebih “komprehensif” dan tidak terjebak pada anasir-anasir keilmuan klasik yang kaku dan eksklusif. Metode dan pendekatan Etnografi dengan teknik penulisan “tick description” nya bisa membuat sebuah karaya sejarah jauh lebih hidup dan menarik. Tidak hanya terjebak pada deskripsi yang bersifat kronologis dan monolitik semata. Dengan bantuan Antropologi kajian ilmu politik dan sosiologi yang biasanya hanya fokus pada relasi-relasi struktural dalam sebuah sistem sosial masyarakat yang terbatas dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Akan dibawa ke “ruang kesadaran baru” tentang “kebudayaan” yang lebih luas, detail dan melampaui konteks peristiwanya. Fenomena dinamika sosial politik kontemporer bukan semata fenomena yang terpisah dari masa lalu dan berdiri sendiri terlepas dari fenomena lainnya. Setiap fenomena adalah bagian tak terpisahkan dari sebuah sistem kebudayaan besar yang melingkupi perjalanan hidup seseorang ataupun kelompok komunitas baik yang memiliki peran dominan atau tidak. Karena kajian antropologi harus mencermati semuanya, baik tokoh maupun orang biasa. Dengan demikian analisis politik ataupun sosiologis akan semakin “objektif”.
Di samping itu pendekatan dan metode Antropologi juga bisa dipakai sebagai alternatif bagi ilmuwan sosial di luar Antropologi untuk mendapatkan gambaran data yang lebih utuh dan menyeluruh tentang sebuah masyarakat. Misalkan untuk melengkapi hasil survei yang seringkali sangat dangkal dan hanya meliputi gejala-gejala sosial yang ada di permukaan semata. Wajah kemiskinan misalnya hanya diukur dari tingkat penghasilan dan kepemilikan alat produksi semata. Karena untuk mengetahui bagaimana kemiskinan itu masuk menjadi bagian dari sebuah “budaya” tidak mungkin bisa diungkap melalui “survei” semata. Harus ada penelitian “partisipatori” untuk bisa mengetahui bagaimana fenomena kemiskinan itu muncul dan bertahan lama di masyarakat. Sebuah analisis yang tidak semata -mata bersifat “struktural” tetapi juga “kultural”.
Sehingga kita bisa mendapatkan sebuah penjelasan yang utuh kenapa Korea Selatan misalkan bisa lebih cepat tumbuh menjadi negara “maju” ketimbang negara kita? Kenapa Jepang bisa segera bangkit dari kekalahan yang menghancurkan setelah di bom atom oleh Amerika Serikat, dibandingkan Thailand sebuah negara yang belum pernah “dijajah”. Kenapa China sekarang pertumbuhan ekonominya bisa sangat cepat dibandingkan dengan negara-negara Eropa atau Barat yang jauh lebih dulu mengembangkan industri? Atau dalam lingkup yang lebih kecil kenapa orang yang berlatar etnis Arab dan China di Indonesia pada umumnya memiliki tingkat ekonomi yang lebih “mapan” dibandingkan dengan etnis-etnis lainnya? Disinilah Antropologi memiliki peran strategis dalam memberikan “jawaban” yang lebih komprehensif terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. #SeriPaijo
Tawangsari 12 Oktober 2020
No responses yet