Anjuran kembali kepada Al Quran dan Hadist secara tekstual seringkali dikaitkan oleh mereka yang mengaku Salafi Wahabi dengan peniruan terhadap tradisi intelektual ulama salaf yg ada sampai abad ketiga Hijriyah. Tapi sayang para kaum yang mengaku modernis ini tidak mencermati konteks kenapa para ulama salaf saat itu tidak banyak menafsiri ayat dan hadist secara kontekstual. Mereka hanya memakai bahasa pokoknya Al-Quran dan hadist harus ditafsirkan secara tekstual seperti yang dilakukan para ulama salaf itu.

Padahal para ulama salaf saat itu bukan tidak bisa dan tidak mau menafsirkan ayat secara kontekstual dan substansial. Kebanyakan para ulama itu menafsiri ayat dan hadist untuk kepentingan dirinya sendiri, sehingga adab dan rasa takut kepada Allah menjadikan mereka sangat berhati2 untuk tidak melakukan ijtihad demi kepentingan umum. 

Hal ini berbeda dengan generasi ulama sesudahnya, yang sudah mendapati keadaan ummat yang semakin kompleks. Maka para ulama lebih mengedepankan kebijaksanaan dalam menafsirkan ayat secara kontekstual dan substansial. Bukan untuk melakukan bid’ah dan apalagi perilaku liberal. 

Dengan demikian kedua generasi ulama salaf ataupun khalaf sama benarnya, yg pertama karena adab mendahului ilmu dan yang kedua karena kebijaksanaan adalah tujuan dari ilmu itu sendiri. Dari sinilah para ulama NU kemudian menggabungkan keduanya dan tidak lagi melakukan ijtihad langsung, tetapi melakukan pengkajian mendalam melalui ijtima’ para ulama. Ulama NU Istiqomah menyatukan adab, substansi dan kebijaksanaan. Sedangkan kaum salafi modern  semakin jauh dari adab, substansi dan kebijaksanaan. Karena itulah lahir fatwa dari kalangan salafi modern bahwa orang tua nabi masuk neraka, selain kelompoknya sesat dan masuk neraka, binatang adalah ulama dll.  

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *