Dalam struktur bahasa, kita mengenal subjek (fa’il/pelaku) dan kata kerja (fi’il), tetapi ada beberapa pola yang berbeda dalam posisinya (sintak), tetapi semua bahasa memiliki struktur yang sama walau posisi subjeknya berbeda, seperti bahasa Indonesia dan bahasa Arab.
Ada pertanyaan menarik terkait dengan subjek dari beberapa kata kerja berikut, apa subjek dari, pepohonan bergerak (تحرك الشجر), kaca pecah ( انكسر زجاز), kertas robek (تمزقت الورقة), seseorang laki-laki mati (مات الرجل)?
Ternyata menentukan subjek seperti beberapa kalimat di atas ulama Nahwu berbeda pendapat. Ada yang mengatakan subjeknya adalah pohon, kaca, daun, dan laki-laki, dan ada pula yang mengatakan sebagai Naib Fail. Dan perbedaan ini sudah cukup lama, baik ulama nahwu (gramatikal) terdahulu dan ulama modern, bahkan dalam Kitab An-Nahwu al-Arabi Naqd wa Taujihuu karya Syekh Mahdi Makhzumi menempatnya sebagai Naib Fa’il (pengganti fa’il/ subjek) bukan lagi sebagai subjek.
Mengapa? Mari kita perhatikan dengan baik. Misalnya dalam bahasa Indonesia kalimat “Pohon bergerak”, maka dalam struktur bahasa Indonesia “Pohon” sebagai subjek, sedangkan dalam bahasa Arab “Taharaka Syajara”, تحرك الشجر (telah bergerak pohon itu), kata syajara (pohon) sebagai subjek.
Apakah benar pohon itu sebagai subjek (pelaku)? Bukankan pohon tidak bisa bergerak dengan sendirinya?!. Disinilah terjadi perdebatan ulama. Yang bergerak itu bukan pohon, karena pohon tidak pernah bisa bergerak dengan sendirinya, kecuali ia digerakkan. Siapa yang menggerakan,? bisa angin atau lainnya.
Menanggapi hal tersebut, ulama nahwu membedakan antara fa’il haqiqi (subjek, pelaku yang sebenarnya) dan fa’il nahwi (subjek secara gramatikal). Subjek secara gramatikal seperti kalimat “seseorang telah meninggal, مات الرجل” tetapi secara makna tidak demikian, atau contoh lainnya; kaca pecah, pohon bergerak, dan lainnya.
Bagaimana cara membedakan antara fa’il hakiki (subjek yang sebenarnya) dan fa’il secata gramatikal (nahwi)?
قالوا إن منَ يتأثر بالفعل هو الفاعل ما لم يظهر الفاعل الحقيقي، فلو طبقنا هذا الكلام على مثالنا ( مات الرجل ) فإننا نجد أن ( الرجل ) هو منَ تأثر بالفعل ولم يظهر الفاعل الحقيقي الذي هو ( الله ) وبالتالي يصبح ( الرجل ) فاعلاً نحوياً فقط، وليس حقيقياً.
Untuk dapat membedakan antara subjek hakiki dan subjek secara gramatikal, maka ada yang berpendapat, setiap yang dapat mempengaruhi suatu aktifitas atau perbuatan (fi’il) adalah subjek (fa’il), walau subjek yang hakiki tidak tampak (lam yadhhar), seperti beberapa contoh di atas, karena ia dipengaruhi oleh yang lainnya, bukan dari subjek itu sendiri, seperti “pohon bergerak”, pada hakekatnya yang menggerakkan pohon adalah angin, tetapi angin dalam kalimat di atas tidak disebutkan. Bila, subjek yang hakiki dimasukkan dalam kalimat, maka subjek (pohon) menjadi maf’ul bihi (objek). Karena tidak tampaknya fa’il hakiki dalam kalimat, maka ma’ul bihi menempati posisinya, karena ia yang mempengaruhi fi’il (perbuatan) dalam kalimat.
Terkait persoalan di atas, Annuhhat (ahli gramatikal Arab) memasukkan pada teori Isnat/اسناد, karena menurut mereka, subjek adalah orang yang melakukan tindakan atau sesuatu yang sudah ditugaskan padanya.
Berdebatan di atas, bila dikembalikan pada hakekat keberadaan fi’il (perbuatan), tidak ada suatu yang berjalan dengan sendirinya -walau tidak semua- ia digerakkan oleh sesuatu yang lain. Maka, ulama membagi dua, ada subjek yang sebenarnya dan ada subjek yang hanya dalam gramatikal.
Allah ‘alm bishawab.
Dihimpun dari berbagai maraji’, Faidah Lugahwiyah, Alfaseh, Muntada Lughah.
No responses yet