Tangerang Selatan, Jaringansantri.com – Pada abad ke-19 dan awal abad 20, adalah periode sejarah perkembangan Islam di Nusantara yang paling produktif karena cukup banyak perdebatan ulama yang terjadi dan melahirkan karya kitab.
Hal ini dikatakan oleh peneliti manuskrip asal Medan Ust. Ahmad Fauzi Ilyas dalam Kajian Turats Ulama Nusantara di INC, (19/9). Ia mengatakan dalam bukunya “Catatan Ringkas Pergulatan Keagamaan” bahwa perdebatan diskusi ilmiah saat itu cukup berkembang hampir terjadi di seluruh Nusantara.
Menurut peneliti dari Lembaga Pusnun (Pusat Studi Naskah Ulama Nusantara) Medan ini, Perdebatan ini juga terjadi di Haramain Mekah Madinah sebagai pusat belajar. Ada beberapa naskah yang lahir dari perdebatan-perdebatan tersebut, tapi naskah itu salah satunya karya Syekh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki yang berjudul “Intishorul I’tishom bi Mu’tamat kulli madzhab min al-mazahib al-aimmah al-arbaah.”
Naskah lainnya berjudul “nailul ma’arif al-fatawa al-mafati al-arbaah”. Ini naskah hasil fatwa mufti empat mazhab yang kemudian diterjemahkan oleh Syekh Muhammad Mukhtar Bogor ke dalam Bahasa Arab melayu atau jawi.
Ada juga naskah “al-fatawa al-aliyah”, lebih mengerucut membicarakan polemik yang terjadi saat itu. Langsung ada tanda tangan ulama-ulamanya. Sekitar 72 ulama disebutkan, diantaranya Syekh Mukhtar, Syekh Abdul Qadir al-Mandili, Syekh Mahmud Zuhdi Alfathoni. Dan ada juga karya tulis dari Syekh Mukhtar Bogor sendiri yang berjudul “Muhimmad al-wasail fi jam’i al-masail.”
“Jadi Naskah-naskah ini sebagai data kita bahwa polemik yang terjadi di Nusantara itu juga dibawa, didiskusikan secara resmi di bawah keputusan Raja Mekah saat itu,”
Perdebatan tentang Shalat Jum’at
Yang kedua, masalah lain yang dibahas adalah jumlah rakaat shalat jum’at yang kurang dari 20. Banyak karya tulis yang membahas soal ini. Bahkan Sayyid Abu Bakar Satho’ mempunyai risalah khusus untuk membahas masalah ini.
Terkait masalah ini, nyambung dengan masalah terkini yaitu shalat jum’at di tengah pandemi virus corona. Pemerintah menghimbau untuk shalat zuhur di rumah, sementara itu ada yang masih melaksanakan shalat jum’at dan jumlah jama’ahnya kurang dari 40. “Ini bagaimana statusnya dalam mazhab Syafi’i,” terangnya.
Fauzi mengatakan “Ini saya tampilkan karya tulis ulama kita. Dan menarik bahwa saya menemukan dalam sebuh kitab berjudul “Qurratul ain bi fatawa Ulama al-Haramain” karya Sholeh Ar-Raisy, seorang Mufti Mazhab Syafi’i di Mekah.”
Mufti tersebut mengatakan bahwa telah terjadi tradisi, melakukan shalat kurang dari 40 itu sudah dilakukan oleh orang-orang di Nusantara pada sekitar abad ke-17 M. “Saya juga menemukan dalam sebuah karya tulis dari Syekh Husain Pontianak berjudul “Tuhfatur Roghibin fi taqlidil qauli bi dunil arbaain.” Tandasnya.
Di sini, Syekh Husain memberikan informasi bahwa ada sebuah kampung di Nusantara selama kurang lebib 20 tahun itu tidak pernah dilaksanakan Shalat Jum’at dengan alasan tidak terpenuhinya syarat 40 jama’ah.
Jadi dengan karya ini, ditakan bahwa di dalam mazhab Syafi’i qaul qadim itu juga kekuatannya sama dengan qaul jadid. Khusus terkait ini, qaul jadidnya 40 orang, sedangkan qaul qadimnya ada yang mengatakan 3, 4 dan ada yang mengatakan 12 orang. Jadi manapun jumlahnya itu adalah pendapat yang kuat juga dalam mazhan Imam Syafi’i.
Sejarah Perdebatan Terpanjang Antara Sayyid Usman Batavia dan Syekh Ahmad Khotib Minangkabau
Masalah lain yang dibahas dalam buku ini sangat banyak. Penting untuk dijelaskan lagi tentang perdebatan ta’addud shalat Jum’at di Palembang. Fauzi Ilyas menilai, ini adalah perdebatan yang cukup Panjang dalam sejarah Islam yang ada di Nusantara. Kurang lebih 11-12 tahun perdebatan ini masih berjalan.
Sayyid Usman serius dalam hal ini, sehingga menghasilkan 10 karya tulis. Kemudian yang bersebrangan adalah Syekh Ahmad Khotib Minangkabau dengan dua karya tulisnya. Polemiknya cukup Panjang, bahwa di Palembang itu sekitar tahun 19 seorang ulama, hartawan yang bernama Masagus mendirikan sebuah masjid.
Awalnya masjid tersebut digunakan untuk shalat 5 waktu. Kemudian ia meminta penghulu saat itu agar dijadikan masjid untuk dilaksanakan shalat jum’at. Dengan permintaan yang kedua ini, penghulu tidak bisa memberikan jawaban. Tapi beliau bertanya pada ulama-ulama Palembang saat itu. Ulama menjawab tidak boleh karena tidak adanya alasan yang bisa membolehkan ta’addud shalat jum’at saat itu.
Kemudian Masagus ini melontarkan pertanyaan kepada mufti Batavia saat itu, yaitu Sayyid Usman Betawi. Pada awalnya Sayyid Usman tidak langsung menjawab secara jelas. Tapi menjawab secara umum. Kemudian buku jawaban tersebut sampai di Palembang. Lalu Masagus ini melayangkan pertanyaan kepada ulama-ulama Mekah, Madinah dan Al Azhar. Tapi jawabannya sama, tidak membolehkan.
Kemudian Masagus bertanya lagi kepada Sayyid Usman, dan lahirlah karya kitab “muzilul auham fi amril jumu’ah bit ta’addud”. “Kitab inilah saya kira yang menjadi awal perdebatan antara Sayyd Usman dengan Syekh Ahmad Khotib Minangkabau yang nantinya Sayyid Usman melahirkan 10 karya tulis,” lanjut Fauzi.
Syekh Ahmad Khotib mengarang kitab “Sufhul Jama’atain” yang ditulis untuk merespon “muzilul auham” Kemudian direspon lagi oleh Sayyid Usman dengan menulis “Taftih al-Mukhlatain”, lalu dijawab oleh Syekh Ahmad Khotib lagi dengan kitab “Ishbatul Zain”.
Artinya perdebatan ini tidak selesai dengan karya Syekh Ahmad Khotib yang kedua. Tetapi Sayyid Usman menulis beberapa tahun setelah itu dengan jumlah halaman yang tidak begitu banyak. Ini adalah sejarah polemik terpanjang dalam sejarah khazanah Islam Nusantara.
Perdebatan tentang Hilal, Photografi, dan Sifat 20
Perdebatan ulama Nusantara lainnya yang ditulis oleh Ahmad Fauzi Ilyas adalah tentang “standart ketinggian hilal di Batavia”. Hal ini melibatakan perdebatan Sayyid Usman dengan muridnya yaitu Syekh Ahmad Marzuki.
Pendapat Sayyid Usman yang mengatakan bahwa tradisi hilal yang boleh dilihat, yang boleh dilakukan rukyat khusus di Batavia adalah 7 derajat ke atas. Ini dibantah oleh Syekh Marzuki dalam kitabnya “Mizanul I’tidal”.
Perdebatan-perdebatan lain adalah maslah photografi. Ini polemik di daerah Tapanuli Selatan Sumatera Utara yang mayoritas muslim. Terjadi sekitar awal mendekati pertengahan masehi abad ke-20. Pedebatannya adalah “apa status hukum foto pada awal halaman kitab.“
Apakah sama dengan status menggambar dengan tangan. Lahir beberap karya tulis dari Ulama Mandailing seperti kitab karya Syekh Muhammad Ja’far bin Abdul Qadir Al-Mandaili. Kemudian karya dari Syekh Abdul Qadir yaitu Syekh Abdul Halim Al-Khotib. “Jadi khusus masalah photografi yang saya lihat hanya terjadi di daerang Mandailing Tapanuli Selatan,” kata Fauzi.
Polemik lain lagi adalah masalah “mengaji sifat 20”, termasuk diperdebatkan di Medan. Syekh Maksum itu menulis sebuah kitab yang berjudul “Tankihu Zunun an-Masailil Maimun.” Isi kurang lebih tentang masalah keagamaan yang diperdebatkan di Istana Maimun. Masalah ini pada tahun sekitar 1340-41 H/1622-23 M dipertanyakan oleh sebuah kelompok di Mandailing murid dari Syekh Mahmud al-Khayyat yang ada di tanah Rampah. Perdebatannya lebih serius lagi.
Intinya, perdebatan yang dimaksud adalah bukan berarti satu sisi ulama ini menang atau benar, atau sisi lain kalah atau salah. Melainkan ingin menyampaikan bahwa tradisi perdebatan dan cara menyikapi perbedaan itu yang bisa kita ambil dari tradisi yang diwariskan ulama Nusantara. Sehingga kita tidak gampang memvonis salah apabila ada pandangan yang berbeda. Alangkah eloknya perbedaan bisa didiskusikan dan melahirkan sebuah karya tulis. (Anwar Muidov).
No responses yet