Tangerang Selatan, jaringansantri.com – Seringkali masyarakat memahami bencana sebagai adzab. Misalnya ada gunung meletus, kita akan menyebut peristiwa tersebut sebagai bencana. Padahal peristiwa tersebut tidak semua mengandung unsur bencana.

Menurut filolog manuskrip jawa, Dr. Ishlah Gusmian, orang-orang jawa dahulu ketika terjadi peristiwa alam, mereka tidak mau menyebut dengan istilah bencana alam. “Namun mereka menganggapnya sebagai ibrah rasa syukur kepada Sang Maha Pencipta,” kata Islah saat mengisi kajian turats bertema “Teologi Bencana dalam manuskrip Islam Jawa” di Islam Nusantara Center (INC). Sabtu, (20/03).

Benca alam yang dimaksud adalah bencana yang diakibatkan oleh serangkaian peristiwa alam, misalnya gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir maupun tanah longsor. Kerawanan tersebut terjadi karena Indonesia memiliki struktur geologis berada pada batas pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia, yaitu lempeng eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik. Sehingga mengakibatkan Indonesia tidak terlepas dari sebuah bencana.

“Tdak semua bencana menjadi sebuah malapetaka bagi masyarakat. Seperti contoh di Yogyakarta telah terjadi bencana alam gunung meletus, letupan-letupannya otomatis tidak akan sampai pada di dearah Jakarta. Namun sebagai fotografer, ia akan mengambil kesempatan tersebut untuk menggali sebuah informasi tentang peristiwa alam tersebut, sehingga lahir sebuah koleksi pemandangan luar biasa yang ia dapat, dan dari hasil tersebut, para arkeolog akan berbicara,” jelas Islah.

Islah Gusmian yang juga Kepala Pusat Kajian Khazanah dan Naskah Islam Nusantara IAIN Surakarta ini mengatakan bahwa orang Jawa memiliki sebuah kearifan lokal dalam menghadapi kehidupan dengan segala dinamika dan persoalan yang terjadi. Informasi tersebut bisa kita pelajari dan kita lihat dalam membaca manuskrip Islam Jawa yang sudah tertulis dalam beberapa serat Nusantara, seperti Babad Tanah Jawa, Babas Sengkala, Serat Pararaton. “Maka dari itu, kita perlu belajar dari orang-orang dahulu dalam menghadapi segala sesuatu yang ada,” tuturnya.

“Orang Jawa mempunyai kearifan lokal dalam menyikapi suatu peristiwa, karena ia selalu selalu mempunyai struktur pemikiran yang berbeda dan hasilnya selalu tepat dan benar,” imbuhnya.

Misalnya, seperti dalam membuat struktur pembangunan rumah. Rumah di Yogyakarta lebih sederhana dengan menggunakan kayu, namun ia kokoh dan kuat. Tahan badai apapun. Berbeda dengan rumah yang hanya menggunakan struktur bangunan tembok, semen. Ia akan roboh dan hanyut ketika ada badai ataupun air yang menerjangnya.

Dari manuskrip-manuskrip yang ditemukan, Islah mengkhususkan meneliti daerah Jawa yang mencatat tentang bencana gempa bumi dan tsunami. Ada beberapa kesimpulan yang didapat Islah, antara lain, pertama, bagi orang Jawa peristiwa alam itu tidak bisa dihindari. Kedua, orang Jawa punya kesadaran tinggi dan metode canggih untuk mitigasi bencana alam. Ketiga, orang jawa dahulu punya sikap sambatan atau solidaritas yang tinggi.

Terakhir, Islah Gusmian melemparkan pertanyaannya, kenapa kita tidak kembali pada akar tradisi budaya nenek moyang kita? Jika dibandingkan dengan cara orang-orang sekarang, mana yang lebih canggih dan modern dalam menangani bencana. Ini semua bisa digali dalam khazanah peninggalan manuskrip pendahulu. “Karena memahami manuskrip jawa, itu artinya mendalami alam sadar masyarakat Jawa,” pungkas santri alumni Pesantren Al Amin Kajen Pati ini.(Fitroh Muzayanah)