Tangerang Selatan, jaringansantri.com – Dalam kajian bertema “Apa Kabar Agama Lokal ?”, Anick Hamim Tohari menyajikan data yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah negera ketiga yang menganggap agama sebagai sesuatu yang paling penting dalam kehidupannya.
Indonesia, menurut data Anick, menempati posisi yang ketiga setelah Ethiopia dan Senegal. Data ini terkait konteks mengapa kolom agama di KTP dikosongkan. “Mengosongkan kolom agama atau menyebutkan semua agama,” tandasnya di Islam Nusantara Center (INC). Sabtu, (17/03).
Hal tersebut, menurut Anick adalah salah satu alasan mengapa tema agama lokal itu penting untuk diangkat dan dikaji dalam forum-forum seperti kajian Islam Nusantara ini.
Pertanyaannya pertama adalah, Jika anda semua ditanya ada berapa agama di Indonesia? Mayoritas akan menjawab secara spontan ada 5 atau 6, yang lain tidak resmi atau tidak diakui. “Jawaban ini menunjukkan diskriminasi negara terhadap agama lokal. Kalau ada cek, tidak ada logika pengakuan negara terhadap agama,” terang pria yang akrab diaapa Anick HT ini.
Apa yang dilakukan Gus Dur itu melepas TAP MPR yang mengekang budaya Kong Hu Chu. Tidak ada itu yang namanya pengakuan terhadap Kong hu Chu sebagai agama. “Tapi mengijinkan praktik budaya confusianis. Jadi tidak disebut mengakui Konghucu sebagai agama,” ujar mantan direktur ICRP ini.
Kepedulian kita terhadap isu ini juga minim sekali. Padahal ketika kita membahas tokoh-tokoh seperti Syaikh Mutamakkin, Sunan Kudus, dll pasti ada persinggungan dengan tradisi da budaya. “Jadi tidak ada alasan untuk tidak peduli terhadap hal ini,” tandasnya.
Alasan selanjutnya adalah definisi agama kita yang bias. Kita telah terdoktrin bahwa agama itu sebuah komunitas yang punya kitab suci, nabi, dll. Tambah bias karena semuanya “agama impor”. Anick mengatakan “Tidak ada agama lokal Nusantara yang mewarnai pengaturan relasi antara agama dan negara di negeri ini. Sejak zaman Belanda penduduk kita sudah diklasifikasi.”
Alasan lainnya, UU menyebutkan istilah agama dan kepercayaan. Sebenarnya istilah agama semit itu tidak ada. Ini menyebabkan agama-agama lokal tidak diakui dan cenderung mendapat diskriminasi dari negara.
Mengapa penting, karena kita sedang ada di Islam Nusantara Center (INC), Islam yang berbasis tradisi atau friendly terhadap tradisi. Walisongo mencontohkan pada kita bahwa tradisi buka sesuatu yang harus dijauhi. Tradisi bisa berinteraksi pada kita dan bisa saling mempengaruhi. “Karena Islam datang ketika tradisi sudah ada,” terangnya.
“Islam Nusantara menurut saya harus menjadikan tema ini sebagai salah satu konsen. Karena itu justru bisa menjadi legitimasi yang sangat kuat bagi klaim Nusantara nya,” imbuhnya.
Terakhir, adalah soal prinsip kewarganegaraan. “Spirit konstitusi kita adalah spirit kesamarataan warga negara apapun agama dan sukunya,” pungkasnya.
Anick HT merupakan alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta lulusan tahun 2001. Kemudian aktif mengadvokasi orang-orang minoritas, termasuk orang-orang penganut agama lokal Nusantara.(Zainal Abidin/Damar).
Comments are closed