Kalimat di atas merupakan judul kajian pagi ini (20/5/2017) di Islam Nusantara Center (INC) Ciputat. Kajian tersebut disampaikan oleh Ahmad Ginandjar Sya’ban. Berikut ini saya ringkas dan sekiranya ada kekurangan dan kesalahan mohon dikoreksi. Semoga bermanfaat.

Ilmu geografi, ilmu navigasi serta ilmu kartografi merupakan beberapa jenis ilmu yang berkembang pada zaman dahulu dan berperan penting untuk membantu perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain. Dari suatu pulau ke pulau lain serta dari suatu negara ke negara lain. Sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Batuta dan Marcopolo. Ilmu-ilmu tersebut juga membantu dalam menentukan arah kiblat.

Peta Nusantara dalam manuskrip Turki salah satunya terdapat di kitab Cihannuma karangan Katip Celebi (1609-1657 M). Beliau sezaman dengan ulama nusantara yang bernama Abdul Rauf Singkel.

Pada tahun 1450-an Gutenberg menemukan mesin cetak di Jerman. Namun orang-orang muslim pada waktu itu tetap menulis karya-karyanya dengan tangan dan baru menggunakan mesin cetak selang beberapa ratus tahun kemudian. Apakah itu menandakan bahwa umat islam terbelakang? Jawabannya justru pada waktu itu umat muslim sedang berada di puncak kejayaan. Alasan pertama tidak menggunakan mesin cetak karena nilai seni dari mesin cetak terbilang rendah.

Berbeda dengan tulisan tangan yang identik dengan keindahan, artistik, dikombinasikan dengan warna yang variatif. Kedua, terkait dengan fatwa kala itu. Di Venicie ada Al-Quran yang dicetak dengan mesin cetak. Hasilnya banyak kesalahan dalam penulisan huruf yang berimbas pada salah baca dan salah arti. Sehingga pada zaman itu menulis mushaf Al-Quran dengan tangan lebih terjamin dan terhindar dari kesalahan.

Kemudian pada abad ke 12 M, Al-Idrisi mengarang kitab Nuzhatul musytaaq fi ikhtiroqil aafaqq. Kitab ini berisi informasi dan geografi masa-masa di dunia pada zaman itu. Kitab ini dilengkapi dengan kartografi yaitu gambar peta yang dibuat oleh Al-Idrisi. Al-idrisi menulis kitab ini untuk dihadiahkan kepada raja Roger II dari Sicilia yang saat itu beliau menjadi emperor romawi suci. Dan pada zamannya kitab karangan Al-Idrisi menjadi pegangan utama bangsa eropa.

Alasannya karena Eropa pada zaman itu berbahasa latin, sedangkan buku-buku yang dibuat oleh Plato dan lainnya berbahasa Yunani. Eropa zaman pertengahan bisa mengakses buku berbahasa Yunani setelah diterjemahkan dulu ke dalam bahasa Arab, karena mereka tidak bisa bahasa yunani. Layaknya kita yang hidup di zaman sekarang yang tidak bisa membaca secara langsung kitab “Serat Centini”.

Kita baru bisa membacanya setelah “Serat Centini” diterjemahkan dulu ke bahasa Prancis. Ada peneliti Prancis bertahun-tahun belajar bahasa jawa kuno yang sudah punah sampai bisa menerjemahkan bahasa jawa kuno itu ke dalam bahasa Prancis. Begitu juga Peter Carey dengan buku “Babad Diponegoro”. Kita menerjemahkan “Babag Diponegoro” dari bahasa Inggris.

Orang Inggris ini yang mempelajari manuskrip asli yang ditulis oleh Diponegoro dalam bahasa arab pegon. Nah, Eropa pada zaman itu, mereka mengakses karya-karya Aristoteles, Plato, Socrates, Archimides, tidak bisa langsung dari bahasa yunani, tetapi dari bahasa arab terlebih dahulu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin.

Kitab Al-Idrisi yang berbahasa arab, di Sicilia diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan nama bukunya dikenal dengan Tabula Rogeriana atau “The Book of Roger”. Sicilia selama lebih dari 200 tahun merupakan bagian provinsi Daulah Fathimiyah. Sicilia kemudian Malta letaknya berdekatan dengan Tunis.

Peta Nusantara disamping terdapat dalam manuskrip Turki (kitab Cihannuma) dan manuskrip Arab klasik karangan Al-Idrisi, terdapat pula dalam kitab yang dikarang oleh ulama nusantara yang mengajar di mesjidil haram; Syaikh Mukhtar Bogor pada tahun 1330 H (1912 M). Pada tahun itu beliau pernah membuat peta nusantara tetapi untuk akurasinya yang diminta untuk menggambar adalah seorang lithografer dari Suriah bernama Sa’id al-Sholahi asy-Syami yang dibantu muridnya Husain Al-Jawy.

Lithografi merupakan seni menggambar di atas batu kemudian dicetak. Peta ini dicetak oleh percetakan al-maraqi al-majidiyyah, milik seorang juragan percetakan di Mekah yang bernama Majid Al-Kurdi yang mana beliau adalah adik misan syaikh Ahmad Khatib Minangkabau. Peta ini fungsinya sebagai alat peraga astronomi (ilmu falak) untuk mengukur arah kiblat dari negeri-negeri yang ada di nusantara. Peta ini sekarang tersimpan di Leiden Belanda dengan nomor kode manuskrip peta Ohs. Or. 18097.

Oleh : Ahmad Imam Baiili (Mahasiswa S2 UNISIA/ Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia)

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *