Oleh : Suma Wijaya (Alumni Pesantren Tebuireng Jombang)

Pangersa Abah Anom adalah sebuah fenomena jagat tarekat di Nusantara. Terlahir pada tanggal 01 September 1915 M, di kampung godebag, kabupaten tasikmalaya, jawa barat.

Abah anom muda sejak kecil sudah dikenal sebagai anak yang cerdas, warak, zuhud dan menunjukkan semangat besar untuk menuntut ilmu. Tercatat ada sekitar 7 (tujuh) pesantren yang tersebar di tataran sunda, jawa & madura sudah disinggahi oleh abah anom. Bahkan sempat tujuh bulan bermukim di Makkah al Mukarromah untuk memperdalam ilmu agamanya.

KarenanyaAbah Anom muda sudah mahir dalam berbagai cabang keilmuan keislaman (fikih, tasawuf, ilmu alat, ilmu hikmah bahkan ilmu silat). Menurut keterangan Juhaya S Praja, Abah Anom selama tinggal di Mekah sering menghabiskan waktu untuk berzikir di Masjidil Haram. Pagi harinya ia rutin mengunjungi ribath naqsyabandi yang digelar syekh Romli (wakil talqin ayahnya Abah Sepuh) untuk muzakarah kitab sirr al asrar dan gunyah al thalibin dua kitab tasawuf karya syekh Abdul Qadir al Jailani. (Praja, h. 177).

Tidak banyak karya yang ditulis oleh abah Anom, Dr. Asep Salahuddin (wakil rektor IAILM) menyebutkan sedikitnya ada enam karya: 1) Azaz dan Tujuan Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah; 2) Ibadah sebagai Metode Pembinaan Korban Penyalahgunaan Narkotika dan Kenakalan Remaja; 3) Miftah al Shudur; 4) Uqud al Juman; 5) Tanbih, Tawasul, Manaqib Bahasa Indonesia; 6) Akhlakul Karimah, Akhlakul Mahmudah, berdasarkan Mudawamatu Dzikrillah (Salahuddin, hal. 28).

Kemursyidan Abah Anom

kepemimpinan dari Abah Sepuh kepada Abah Anom sesungguhnya bukan sekadar perpindahan dari seorang ayah biologis kepada putranya. Namun dalam tradisi tarekat yang lebih penting adalah pelimpahan tongkat kemursyidan. Abah Anom bukan sekadar putra biologis melainkan juga putra ideologis paling militan dalam tirakat (riyadhah). Kematangan nalar, emosional, dan spiritual abah anom sudah teruji.

Salahuddin mencatat, sejak usia 19 tahun telah diberi kepercayaan penuh oleh abah sepuh untuk membantu mengasuh Pesantren Suryalaya sampai ayahandanya wafat pada 1956 M dalam usia 120 tahun. Dua tahun sebelum wafat, abah sepuh mengangkat sang putra menjadi wakil talqinnya, dan kemudian menjadi mursyid penuh Tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah (TQN) sekaligus menjadi pengasuh Pesantren Suryalaya. (hal. 61).
Tanggung jawab yang sangat berat ini tertumpu di pundaknya, saat usianya menginjak 41 tahun. Tugas dan tanggung jawab itulah yang akhirnya “menenggelamkannya” dalam samudera tirakat dan riyadhah yang ketat.

Visi dan Strategi Dakwah Abah Anom

Perkembangan yang pesat Pesantren Suryalaya tidak terlepas dari visi dan strategi dakwahnya sang mursyid. Karakter tarekatnya yang terbuka, inklusif, dan moderat serta ajarannya bisa diakses oleh siapa pun, membuat orang-orang berduyun-duyun mendatangi pesantren suryalaya, mulai dari kalangan masyarakat biasa, pengusaha, selebritis, akademisi, ilmuwan bahkan penguasa negeri. Mereka ada yang datang untuk mengadukan permasalahan yang dihadapinya, meminta didoakan agar segala yang menjadi urusannya lancar dan bahkan tak jarang datang hanya sekadar “ngalap berkah” dari sang mursyid. Inklusivitas ajarannya dapat kita lihat dari proses talqin -ritual yang meresmikan seseorang menjadi bagian komunitas TQN- dilakukan secara terbuka, tidak ada yang disembunyikan. Sering kali talqin pun dilakukan secara berjamaah.

JuhayaS Praja -wakil talqin abah anom yang juga seorang guru besar di UIN Sunan Gunung Djati- menyatakan, seseorang di talqin karena ia dengan penuh kesadaran menghendakinya. Jika tidak ada yang meminta, tak ada talqin. Dan jika seseorang meminta talqin maka mursyid atau wakil talqin tidak boleh menolaknya dalam kondisi dan dengan alasan apapun. “Bahkan, seandainya kita sedang berada di pematang sawah sekalipun, kemudian ada yang meminta ditalqin, kita tidak boleh menolaknya, demikian pesan abah anom kepada saya” (Juhaya S Praja: TQN Suryalaya dan Perkembangannya pada Masa Abah Anom, h. 117).

Prof. Dr. Nasaruddin Umar -ikhwan TQN Suryalaya yang saat ini menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal- menjelaskan bahwa, tarekat ini tidak hanya membangun hubungan antara manusia dengan Tuhan, tetapi juga antara manusia dengan manusia tanpa melihat perbedaan keyakinan, suku dan negara. Bahkan juga hubungan antara manusia dengan alam dan binatang.

Politik Nilai Abah Anom

Dikenal sebagai pemimpin yang visioner, abah anom merupakan sosok khadimul ummah sejati. Pengabdiannya terhadap masyarakat dan alam sekitar mengantarkannya dianugerahi berbagai penghargaan dari pemerintah. Pada tahun 1961 Gubernur Jawa Barat saat itu Masyhudi menganugerahinya piagam penghargaan atas jasa dan kepeloporannya dalam mewujudkan swasembada pangan dan puncaknya pada tahun 1980 Presiden Soeharto memberi penghargaan kalpataru kepada abah anom. Penghargaan yang tersemat itu tidak lain karena besarnya perhatian sang mursyid agung terhadap masyarakat dan kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya.

Pangersa abah anom menjadi pelayan masyarakat tanpa terlintas sedikitpun hasrat untuk menjadi penguasa atau wakil rakyat sebagaimana kecenderungan banyak orang saat ini yang terjun dalam kancah politik. Politik yang dipraktekkannya tidak dimaknai sebagai upaya meraih kekuasaan dengan menjual rakyat. Tetapi, politik sebagai katup kebudayaan untuk meraih hidup yang beradab yang biasa kita sebut sebagai politik nilai.

Salahuddin pun menjelaskan, politik abah anom melampaui sekat-sekat kepentingan material yang dangkal dan hanya bertahan sesaat. Bahkan ujarnya, dulu ketika abah anom sangat akrab dengan penguasa Orde Baru dan pernah menjadi anggota MPR, Presiden Soeharto dan para menterinya sering datang berkunjung ke Suryalaya. (Lihat juga disertasi Sri Mulyati “peran edukasi TQN dengan referensi utama Suryalaya”, saat studi di Mc Gill University Montreal Kanada). Lanjutnya, sebenarnya dari sisi materi, tidak banyak bantuan yang diberikan negara untuk pengembangan lembaga pendidikan yang diasuh abah. Namun, abah tetap melayani dan memperlakukan penguasa dengan ramah, santun, dan penuh penghormatan. Baginya, laku seperti itu telah menjadi kewajiban moral. Bantuan material sama sekali tidak menjadi tujuan Pangersa Abah Anom.

Abah Anom dan Soeharto

Litbang Kompas (14 oktober 1996), keputusan politik abah anom untuk mendukung sekber Golkar sejak awal berdirinya pada 1963, bukanlah keputusan yang lahir tanpa pemahaman mendalam akan dinamika kehidupan politik yang ada. Kelanjutan dari keputusan tersebut adalah terjalinnya ‘kedekatan’ pribadi antara abah anom dan presiden Soeharto sampai akhir hayatnya. Ijtihad politik abah anom dilatarbelakangi diantaranya memberi ruang bagi berkembangnya hubungan harmonis antara Islam dan pemerintah. Dengan begitu, kecurigaan-kecurigaan terhadap Islam (sebagai kelompok masyarakat) pun sedikit demi sedikit mulai menipis.

Martin Van Bruinessen mengatakan, abah anom adalah kiai tinggi yang memiliki kedudukan khusus di mata Soeharto dibandingkan kiai-kiai lainnya. Menurutnya, abah anom adalah sosok yang mampu “mengislamkan” Soeharto yang sebelumnya banyak didominasi penghayatan kejawen. Tak jarang Soeharto kerap kali berkonsultasi kepada abah anom tentang ajaran dan dinamika keagamaan, termasuk ketika berada di senjakala kekuasaannya. (Bruinessen “Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat”)
Pangersa Abah Anom sebagai guru ruhani, yang tidak pernah berhenti melayani tanpa batas, telah menjadi tempat bersandar bagi setiap keluh kesah dan tidak akan berhenti mengabdi. Abah anom dengan setia mendengarkan semua persoalan yang menghimpit umatnya tanpa melihat afiliasi ormas, latar belakang keagamaan, apalagi jabatan. Semua diterima dengan tangan terbuka tanpa dibeda-bedakan dan tanpa tanya asal usulnya.

Allahu Yarham Syekh Ahmad Sohibul Wafa’ Tajul Arifin (Abah Anom) lahul Fatihah…