Penulisan rajah dan azimat identik dengan ritus pertabiban atau perdukunan. Namun di luar itu semua rajah ataupun azimat adalah ejawantah dari doa dalam ragam model simbol. Simbol-simbol yang biasa Nampak berupa angka, huruf hijaiyah, garis-garis, dan simbol-simbol tatasurya. Salah satu contoh kitab kuno yang memuat rajah dan azimat adalah Layang Sĕmbayang lan Tĕtamba. Selain berisi tentang pengobatan, kitab ini berisi tentang penguhan rasa kepada Dzat yang wajib di sebmbah, di samping itu ada beberapa rajah dan azimat yang memiliki guna dan manfaat yang beragam.
Indonesia memiliki ragam warisan yang lekat dengan perkembangan peradabannya. Era kenuswantaraan menyimpan warisan budaya yang berupa azimat di mana ia diyakini memiliki kekuatan magis, mitik yang memberi dampak pada sekitar. Bagi islam benda mungil tersebut rentan pada kemusyrikan. Namun jauh dari pada itu, agaknya kita perlu menelisik lebih dalam mengenai Rajah dan Azimat.
Di satu sisi azimat atau rajah bernilai eksotis, estetik, nyeni, simbolis dan mitik. Sebuah penelitian tentang Azimat menyebutkan bahwa ada kontradiksi antara sikap menghargai sebuah rajah sebagai seni di sisi yang lain, pun manfaat sebagai pelaris dagangan, pertahanan dan lain sebagainya. Azimat diyakini sebagai barang-barang utawa rajah-rajah sing dianggĕp duwe daya ngungkuli kodrat, di mana rajah atau barang yang diyakini memiliki kakuatan yang lebih dari biasanya. (Ghis Nggar Dwiatmojo, 2018: 75-106).
Aspek aksiologis dalam pemahaman tentang azimat atau rajah terdapat pada kemanfaatannya. Meminjam ungkapan James George Frazer, tapi jangan lupa dikembalikan ya, bahwa manusia dapat merasionalkan pemecahan problem hidupnya, namun keterbatasan pengetahuan dapat membuatnya tidak sanggup untuk mengelola masalah dengan baik. Sedangkan peluang untuk menggunakan sesuatu yang mengandung unsur mitik tidak bisa dipungkiri. Walaupun pada dasarnya fetitisme atau fenomena meyakini sebuah benda memiliki jiwa terjadi di berbagai kebudayaan seluruh bangsa dan etnik. Termasuk di Nusantara.
Pesantren adalah lembaga Pendidikan islam tradisional tertua di Nusantara. Pesantren mampu mengakulturasikan budaya jawa dengan nilai-nilai islam. Hal ini diwakili oleh Sunan Kalijaga, dan wali sangan lainnya, sedangkan dalam pesantren tradisional dikenal dengan ilmu hikmah. Azimat atau rajah yang dikenal sebagai magic square di Eropa, adalah tulisan yang terdiri dari angka-angka, huruf-huruf hijaiyah, kemudian simbol-simbol yang – kadang di gambar dengan kotak-kotak menyusun tabel.
Di dunia pesantren kita kenal wifiq, rajah, isim dan hizib. Artinya dalam dunia pesantren sudah sangat erat dengan azimat dan rajah-rajah. Jika wifiq adalah kata yang sesuai baik dengan huruf, angka dan simbol-simbol, begitu juga dengan rajah. Rajah dalam Ghis Nggar Dwiatmojo, (2018: 75-106) adalah gegambaran utawa tulisan ing deluwang utawa welulang kang dianggo jimat, (adalah gambar atau tulisan di kertas atau kulit hewan yang digunakan untuk azimat), hal ini tertuang juga dalam kitab al-aufaq, syamsul ma’arif, primbon, dan Layang Sĕmbayang lan Tĕtamba.
Melihat Azimat dan rajah-rajah dengan sudut pandang produk budaya tentu akan berbeda dengan melihatnya dari sudut pandang hukum syar’i. Karena tidak sedikit yang justur menilai haram dan syirik. Dalam konteks kebudayaan, azimat dan rajah-rajah adalah bentuk kekayaan dan khazanah pengetahuan dalam bentuk tulisan atau gambar-gambar yang memuat angka-angaka, huruf dan simbol-simbol seperti pembahasan di atas.
Dalam konteks kebudayaan, azimat dan rajah adalah dua dimensi yang saling berkaitan satu sama lain. Pertama azimat dan rajah sebagai wujud atas simbol harapan dan hajat manusia, kedua, azimat dan rajah sebagai wujud dari interpretasi atas korelasi daya pikir dengan huruf atau angka, pun simbol yang mewakili atas apa yang menjadi daya pikir dan sikap sadar manusia. Hal ini berakar pada apa yang pernah disampaikan Imam Al-Jurjani Rahimahumullah yang mengatakan bahwa ilmu hikmah adalah ilmu yang disertai amal perbuatan. Artinya ada ketersesuaian antara apa yang diangankan, diucapakan kemudian dikerjakan. Pendek kata mendoakan dan menginterpretasikan apa yang dikerjakan, pun mengerjakan doa dan interpretasi logisnya.
Baik tradisi pesantren, ataupun budaya lokal Nusantara memiliki daya akulturasi yang bertujuan untuk membangun peradaban kemanusiaan. Sehingga azimat atau rajah tidak bisa dipandang sebelah mata di dalam dunia kepesantrenan, pun di dalam budaya bangsa Nusantara. Pada dasarnya, akulturasi atau komunikasi antara budaya lokal dengan nilai-nilai islam yang diramu di pesantren adalah sebuah kekayaan islam baik sebagai budaya pun sebagai ajaran. Sehingga bukan serta merta memandang dangan sangat konservatif, tetapi melihat dengan multidimensional, apalagi pada ruang-ruang akademik.
Karena pesantren bukan hanya menitik beratkan pada ajaran syari’at yang sarat akan hukum. Tetapi pesantren mewakili khazanah keilmuan islam yang selalu menemukan ruang dalam setiap perkembangan dan laju kehidupan.
No responses yet