Masih tentang santri yang kemarin kita peringati. Orang “Barat” seringkali membuat “kesalahan” dengan mencurigai dan memusuhi ummat Islam. Trauma perang salib yang berkepanjangan bisa jadi merupakan akar dari persoalan ini. Kita mengetahui bahwa Eropa Barat baru tumbuh sebagai pusat peradaban dunia justru setelah mendapatkan “sentuhan” Islam. Hal ini tentu berbeda dengan daerah pusat peradaban kuno lainnya di Mesopotamia, Persia, India dan China yang bahkan sudah mengenal tulisan berabad-abad sebelum Masehi. Sementara Eropa pada masa itu masih sangat “primitif”. Bahkan ketika Islam hadir di Spanyol sebagian penduduk Eropa adalah orang-orang bar-bar. Islamlah yang mengenalkan “peradaban baru” di Eropa yang kemudian melahirkan era “pencerahan”, setelah Eropa terkunkung dalam masa “kegelapan” teologis selama berabad-abad.
Meskipun Islam telah memberikan kontribusi yang besar dalam proses “einligttenment” di Eropa. Tetapi tidak menjamin Islam bisa diterima di Eropa dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kultur “Eropa Barat”. Alih-alih menjadi bagian kultur Barat, Islam justru dihadirkan sebagai “musuh” abadi dari peradaban “Barat”. Maka tidak perlu heran ketika mereka mulai menyebarkan “kolonialisme” di berbagai belahan dunia dan bertemu Islam, maka konflik fisik (peperangan) tak bisa dihindarkan. Inilah yang terjadi ketika Portugis datang ke Nusantara dan berhadapan dengan kerajaan samudera pasai, kemudian dengan kesultanan Demak, dengan Fatahillah, serta dengan kesultanan Tidore dan Ternate yang sudah Islam sebelum mereka datang. Apalagi Potugis juga datang dengan membawa misi penyebaran agama Nasrani. “Konflik ini berlanjut dengan kedatangan Belanda lewat VOC yang masuk lewat jalur “perdagangan” sebelum kemudian secara resmi melakukan penjajahan lewat jalur “kekerasan”. Mereka juga berhadapan dengan perlawanan orang-orang Islam yang saat itu sudah multi etnis. Para pejuang anti penjajahan sejak era Kerajaan Islam Pesisir itu merupakan “nenek moyang” kaum Santri. Mereka dikenal sebagai komunitas madani yang terbuka, “modern” dan sangat cerdas serta memiliki budaya literasi yang sangat tinggi.
Sayang seiring dengan “kekalahan” dalam konflik melawan Portugis dan Belanda, serta gagal menyelesaikan konflik perpecahan politik internal. Kerajaan Islam pesisir ini mulai terdesak ke pedalaman dan berubah menjadi lebih bernuansa “daratan” atau agraris. Ajaran mistisme Islam Jawa berkembang pesat dan mengakibatkan perubahan mindset dari tradisi “rasional” menuju tradisi “spiritual”. Sejak saat itu tradisi literasi dalam masyarakat Islam menjadi “menurun”, dan hanya bisa ditemui di komplek-komplek pesantren tertentu terutama di daerah pesisir. Sementara di daerah pedalaman Jawa dengan dimotori oleh pihak kerajaan, Islam berkembang dengan sistem doktrin “pengajaran” yang bertujuan untuk penguasaan pengetahuan tentang spiritualitas Islam yang digabungkan dengan tradisi mistik Jawa. Kajian literasi soal fiqh dan sejarah sedikit sekali mendapatkan perhatian. Kecuali sedikit yang menceritakan moment mistik yang dialami nabi, sahabat tabi’in dan juga para ulama generasi penerus. Seperti masuknya pengaruh pemikiran “mistik” dari Ibnu Arabi pada ajaran-ajaran “tarekat singkretisme” yang berkembang di pedalaman Jawa. Maka muncullah tradisi “riyadho” yang bernuansa mistis Jawa, seperti poso mutih, ngrowot, dan bahkan “Pati Geni” di kalangan santri. Tradisi ini kemudian menggeser tradisi riyadho melalui jalur literasi, yaitu dengan cara Istiqomah membaca dan menulis kitab. Padahal tradisi inilah yang dahulu dilakukan oleh para ulama Pesisir Jawa. Tradisi literasi ini semakin kabur dengan munculnya tradisi “persilatan” di pesantren. Para santri (di era kolonial sampai awal Orba) banyak yang lebih fokus belajar olah Kanuragan ketimbang olah otak atau intelektual. Bisa jadi hal ini didorong untuk melindungi diri dari ancaman penjajah dan juga mereka yang tidak setuju dengan dakwah para kiai dan Santri. Fenomena mengajarkan ilmu kesaktian ini marak dilakukan di beberapa pesantren di Jawa Timur dan Banten.
Sampai sekarang kita juga masih bisa melihat “jejak” kultural yang berbeda antara ekspresi tradisi Akademik pesantren pesisir dan pesantren pedalaman. Para kiai di pesisir Utara Jawa jauh lebih “merakyat” ketimbang para kiai daerah “Mataraman” terutama di Jawa Timur yang masih mempraktekkan simbol-simbol “kebangsawanan” keraton. Bahkan ada semacam “kebanggaan” dengan menegaskan jalur sanad biologis mereka yang tersambung dengan tokoh-tokoh kerajaan yang pernah ada di tanah Jawa. Terutama dengan trah “Majapahit”. Sementara di pesisir pantai Jawa Tengah, para kiai yang umumnya (dahulu) memiliki profesi sebagai pedagang, jarang ada yang menunjukkan status sanad biologisnya. Bahkan dahulu mereka tidak mengenal sebutan “Gus dan Ning” untuk putra-putri Kiai. Sebutan itu mulai populer di tahun 1970-an, serta semakin meluas sejak kemunculan “Gus Dur” yang mulai terkenal diawal 1980-an. Kal itulah istilah dan tradisi pesantren “pedalaman” mulai mempengaruhi daerah pesisir. Maka “penghormatan” yang sedikit berlebihan kepada kiai dan keluarganya mulai dipraktekkan di daerah pesisir Jawa. Tradisi ini semakin menguat dan meluas di masyarakat hingga sekarang ini.
Pertemuan “tradisi” Jawa dan Islam pesisir juga menguat pada ekspresi perlakuan terhadap “makam” orang penting dan “suci”, seperti makam raja atau ulama. Para santri mulai lebih sibuk “bertapa” di kuburan-kuburan untuk mencari berkah, ketimbang melakukan pembacaan “tarikh” dari para raja dan ulama tersebut. Tradisi memulyakan “makam” adalah tradisi orang-orang Persia. Dimana sekarang dilanjutkan oleh orang-orang Syi’ah. Hanya saja bedanya, orang Syi’ah yang sangat rajin ke makam ulama bukan semata cari berkah, tetapi juga mencari inspirasi atau pencerahan dengan memahami tarikh perjuangan literasi para ulama tersebut. Sedangkan kita lebih banyak untuk mencari pengalaman “mistik” yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan pengembangan tradisi literasi. Karena itulah di momentum hari Santri ini mari kita bangkitkan lagi tradisi literasi pesantren dan santri untuk menghadapi dinamika perkembangan zaman yang semakin canggih di era 5.0 ini. Karena keberkahan itu tidak hanya bisa diikhtiarkan dengan do’a-do’a yang diwasilahkan kepada nabi dan para wali semata, tetapi juga harus diusahakan dengan sungguh-sungguh lewat perjuangan literasi dari karya akademik para santri dan kiai. Bukankah kitab suci Alquran adalah simbol dari puncak tradisi literasi dalam Islam? Lantas kenapa kita harus menempatkannya dibelakang ? Sudah saatnya kita kembalikan semangat literasi “Al Qur’an-mukjizat” nabi ini di kalangan santri. Karena tanpa literasi, pesantren dan santri berpotensi “mati” dilindas kejamnya industri dan kapitalisasi tradisi serta informasi. #SeriPaijo
Tawangsari 23 Oktober 2020
No responses yet